Sukses

MA Kabulkan Uji Materi YKMI, Pemerintah Wajib Sediakan Vaksin COVID-19 Halal

MA mengabulkan uji materi Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) soal vaksin COVID-19 halal.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) mengenai vaksin COVID-19 halal. Dengan kata lain pemerintah wajib menyediakan vaksin COVID-19, khususnya bagi umat Muslim.

Putusan MA tersebut merupakan hasil judicial review yang dilakukan YKMI terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan vaksin. Hasil ini tertuang melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 31 P/HUM/2022 dalam status 'Kabul Permohonan Hak Uji Materiil.'

Penetapan hak uji materiil YKMI dibacakan pada 14 April 2022 dalam tingkat proses 'Peninjauan Kembali.' Pengajukan permohonan YKMI untuk menguji materiil vaksin halal tercatat teregistrasi di MA tertanggal 7 Februari 2022.

Sesuai salinan putusan MA yang diperoleh Health Liputan6.com pada Senin, 25 April 2022, ada sejumlah alasan YKMI mengajukan permohonan pengujian Formil Perpres 99/2020 untuk penyediaan vaksin COVID-19 halal, sebagai berikut:

1. Bahwa dengan tidak dilibatkannya Kementerian Agama yang bertanggung jawab langsung terhadap urusan agama dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden a quo terkait penetapan vaksin sebagai produk biologi yang dikonsumsi oleh penduduk lndonesia yang mayoritas adalah beragama lslam, membuktikan bahwa pembuatan Peraturan Presiden dimaksud "tidak melalui harmonisasi", sebagaimana diatur datam peraturan perundang-undangan dan menyalahi ketentuan hukum formilnya".

2. Bahwa pembentukan Peraturan Presiden yang menjadi objek permohonan a quo nyata-nyata tidak didasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas Keterbukaan, yaitu asas yang menekankan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Uji Materi Ketentuan Perpres Soal Pengadaan Vaksin

YKMI pada pokoknya memohon untuk menguji materiilatas ketentuan Pasal 2 Perpres 99/2020, yang menyatakan:

Pasal 2

1. Pemerintah menetapkan jenis dan jumlah Vaksin COVID-19 yang diperlukan untuk pelaksanaan Vaksinasi COVID-19.

2. Pelaksanaan penetapan jenis dan jumlah Vaksin COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Kesehatan dengan memperhatikan pertimbangan Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

3. Dalam rangka penetapan jenis Vaksin COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan persetujuan penggunaan pada masa darurat (emergency use authorization) atau lzin Edar

4. Pengadaan untuk Vaksin COVID-19 dan pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Tahun 2020, Tahun 2021, dan Tahun 2022.

5. Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional berdasarkan usulan Menteri Kesehatan dapat memperpanjang waktu pengadaan Vaksin COVID-19 dan pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 sebagaimanadimaksud pada ayat (4).

6. Dalam hal Vaksin COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dapat diproduksi dan tersedia di dalam negeri, Pemerintah mengutamakan pengadaan Vaksin COVID-19 dari dalam negeri.

3 dari 4 halaman

Aturan Perpres Bertentangan dengan Dasar Hukum Lain

Menurut YKMI, aturan Perpres tentang pengadan vaksin sekarang bertentangan dengan dasar hukum lain, di antaranya:

1. Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan:

Pasal 28E

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya

Pasal 29

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut UU 33/2014), yang menyatakan:

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pasal 4

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Pasal 18

(1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:

  1. bangkai
  2. darah
  3. babi; dan/atau
  4. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat

(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI

3. Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut PP 31/2019), yang menyatakan:

Pasal 68

(1) Produk yang wajib bersertifikat halal terdiri atas:

  1. barang; dan/atau
  2. jasa

(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

  1. makanan
  2. minuman
  3. obat
  4. kosmetik
  5. produk kimiawi
  6. produk biologi
  7. produk rekayasa genetik
  8. barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan
4 dari 4 halaman

Perpres Tidak Berikan Kepastian Hukum

Alasan-alasan ketetapan Perpres tentang pengadaan vaksin bertentangan dengan dasar hukum lain, yakni:

1. Bahwa ketentuan Pasal 2 Perpres 99/2020 tidak memberikan kepastian hukum karena dalam pelaksanaannya mengakibatkan terbitnya Permenkes 10/2021 dan SE Direktur Jenderal Pencegahan dan Pencegahan Kemenkes Nomor: HK.02.02/II/252/2002 tentang Vaksinasi COVID-19 Dosis Lanjutan (Booster) yang tidak mengikuti norma hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 UUD 1945, Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 18 UU 33/2014 jo Pasal 68 PP 31/2019 jo Pasal 8 ayat (1) UU 8/1999 karena jenis vaksin yang digunakan seperti vaksin produk Moderna, Vaksin produk Pfizer, dan Vaksin Produk Lainnya sama sekali tidak memiliki sertifikat halal dan vaksin covid 19 produk Astrazeneca dinyatakan haram sesuai Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2021 tentang penggunaan Vaksin COVID-19 produk Astrazeneca, yang tentu saja merugikan hak-hak umat Islam untuk mendapatkan produk (vaksin) yang bersertifikat halal dan terbebas dari bahan yang haram sebagaimana perintah Al Quran dan Sunnah.

2. Bahwa perlu adanya tafsir yang tegas atas pemaknaan Pasal 2 PP 99/2020 yang mana tetap mendukung program vaksinasi sebagaimana dimaksud dalam aturan dimaksud namun tidak merugikan hak-hak konstitusional umat Islam yang dijamin oleh UUD 1945.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.