Sukses

[Kolom Pakar] dr. Amira Anwar: Dampak COVID-19 pada Sistem Pernapasan

Apabila seseorang sudah terinfeksi penyakit ini, bagaimana dampaknya pada sistem pernapasan? Dapatkah kondisi paru kembali seperti sedia kala?

Liputan6.com, Jakarta COVID-19 merupakan penyakit yang utamanya menyerang saluran pernapasan. Untuk menghindarinya, protokol kesehatan seperti mengenakan masker dan melakukan vaksinasi harus diterapkan.

Yang kerap menjadi pertanyaan, apabila seseorang sudah terinfeksi penyakit ini, bagaimana dampaknya pada sistem pernapasan? Dapatkah kondisi paru kembali seperti sedia kala? Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang, atau berat.

Gejala klinis utama pada COVID-19 di antaranya adalah demam, sesak, lemas, nyeri otot, serta diare.

Setiap pasien dapat mempunyai gejala yang berbeda. Pada kasus yang berat, dapat juga terjadi perburukan yang cepat sehingga menyebabkan kegagalan pernapasan, kelainan metabolik lainnya, gangguan sistem koagulasi (pembekuan darah), hingga terjadinya badai sitokin yang dapat merusak organ dalam tubuh.

Terapi penanganan yang dilakukan pada pasien COVID-19 disesuaikan dengan gejala dan hasil pemeriksaan dari pasien itu sendiri. Pada gejala ringan, pasien dapat diberikan vitamin dan obat-obatan sesuai gejala. Sedangkan pada gejala sedang dan berat, pasienakan diberikan obat antivirus dan obat lain sesuai dari hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lain oleh dokter.

Virus SARS-COV2 penyebab COVID-19 dapat menyerang dua belah paru, saat saturasi oksigen menurun drastis yang disebabkan oleh inflamasi yang parah. Pada kondisi ini, paru-paru akan terisi banyak cairan, dahak, dan sel.

Hal inilah yang mengakibatkan kerusakan pada dinding kantung udara paru-paru sehingga membuat pasien sesak napas dan mengalami pneumonia parah atau acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Pasien dengan kondisi ini membutuhkan alat bantu napas menggunakanventilator akibat terjadinya gagal pernapasan. Pada kasus pneumonia biasa, kebanyakan orang dapat sembuh tanpa adanya kerusakan paru-paru yang bertahan lama. Hal ini berbeda dengan pneumonia yang disebabkan oleh COVID-19, yang bisa berkembang menjadi pneumonia parah. Bahkan setelah penyakit berlalu, cedera paru-paru akibat COVID-19 dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk membaik.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kesehatan paru pada pasien post COVID-19

Karena utamanya menyerang paru, COVID-19 kerap mengakibatkan jaringan parut atau kerusakan pada paru. Cedera pada paru inilah yang kemudian menyebabkan pasien post COVID-19 dapat mengalami gejala atau gangguan pernapasan (pneumonia) yang menetap selama 4-12 minggu setelah terinfeksi COVID-19. Bahkan pada beberapapasien, dapat pula terjadi gejala post Covid-19 kronis sampai lebih dari 12 minggu.

Selain mengobati orang yang tengah terinfeksi, saat ini tenaga kesehatan juga menghadapi gejala-gejala post COVID-19. Tak hanya pada seseorang yang sebelumnya bergejala berat saja, gejala-gejala post COVID-19 ini juga banyak dialami oleh seseorang yang pada saat terinfeksi hanya bergejala ringan, bahkan tanpa gejala apapun.

Gejala post COVID-19 yang dimaksud antara lain batuk berdahak/kering, sesak napas,keterbatasan aktivitas, lekas lelah, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, perubahan rasa dan penciuman, perubahan mood, nyeri dada, tenggorokan sakit, serta adanya kelainan pada hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi.

Gejala yang paling banyak dikeluhkan adalah batuk serta hilangnya indra perasa dan penciuman sekitar 32 persen.

Untuk menegakkan diagnosis gejala post Covid-19 atau long covid, penyintas COVID-19 disarankan untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan beberapa pemeriksaan sepertites PCR ulang, pemeriksaan darah, radiologi, rekam jantung, dan pemeriksaan uji fungsi paru.

Pemeriksaan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, guna menangani gejala-gejala post-COVID-19 yang masih dirasakan.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi risiko kerusakan paru pada pasien post COVID-19, yakni:

- Tingkat keparahan penyakit. Apakah pasien mengalami gejala ringan, sedang,atau berat ketika terinfeksi COVID-19. Pasien dengan gejala ringan cenderunglebih jarang memiliki cedera/parut yang bertahan lama di jaringan paru

- Kondisi kesehatan. Apakah pasien memiliki penyakit komorbid seperti penyakitparu obstruktif kronis (PPOK) atau penyakit jantung yang dapat meningkatkanrisiko penyakit bertambah parah. Orang yang berusia lanjut juga lebih rentanmengalami kasus COVID-19 yang parah. Hal ini terkait dengan jaringan paru yangsudah mengalami penuaan (degeneratif) sehingga kondisinya lebih tidak fleksibeljika dibandingkan dengan jaringan paru pada seseorang yang berusia lebihmuda.

- Tindakan pengobatan. Pemulihan pasien dan kesehatan paru-paru jangkapanjang akan bergantung pada jenis perawatan apa yang mereka dapatkan, danseberapa cepat pengobatan dilakukan. Pada pasien dengan gejala berat,perawatan yang tepat selama di rumah sakit dapat meminimalkan kerusakanparu-paru.Selain itu, ada 6 kelompok yang rentan terhadap post COVID-19 syndrome, yaitu jeniskelamin perempuan, usia di atas 50 tahun, memiliki lebih dari lima gejala ketikaterinfeksi, etnis kulit putih, mempunyai komorbid, dan obesitas.

 

3 dari 3 halaman

Terapi untuk pasien dengan sindrom pernapasan Post COVID-19

Pasien dengan sindrom pernapasan post COVID-19 ini biasanya akan diberikan dua jenis terapi, yakni:

- Terapi farmakologis (obat-obatan). Pasien diobati sesuai gejala untukmengurangi batuk dan sesak, serta diberikan vitamin.

- Terapi non-farmakologis, seperti rehabilitasi paru (fisioterapi), terapi oksigen, psikoterapi, olahraga sesuai kemampuan, dan nutrisi. Karenanya, pasien sangat disarankan untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan evaluasi pada satu, tiga, dan enam bulan selepas dinyatakan sembuh dari COVID-19.

Tips meminimalisir kerusakan paru

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kerusakan paru-paru. Pertama, hindari kemungkinan terpapar virus dengan menerapkan 5M, yakni menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, danmengurangi mobilitas. Apalagi jika Anda memiliki penyakit komorbid.

Seseorang dengan komorbid sebaiknya sebisa mungkin mengelola dengan baik masalah kesehatannya. Jaga kadar gula darah agar tetap terkontrol, rutin meminum obat apabila ada masalahjantung, dan lain sebagainya.

Kedua, jalani gaya hidup sehat dengan pola makan tepat dan konsumsi air yang cukup. Tetap konsumsi makanan bergizi seimbang untuk menjaga kesehatan tubuh danimunitas secara keseluruhan. Hidrasi yang tepat dapat mempertahankan volume darahdan selaput lendir yang sehat dalam sistem pernapasan. Hal ini dapat membantu tubuhmelawan infeksi dan kerusakan jaringan dengan lebih baik.

Selain itu, hindari merokok, rokok elektrik, atau paparan terhadap asap rokok dan polusiudara. Jangan lupa, lakukan vaksinasi COVID-19 dan lengkapi hingga booster-nya, untuk semakin memperkuat imunitas.

COVID-19 lebih banyak menyebabkan kelainan di paru. Bahkan, gejala yang dirasakan dapat menetap pada masa post COVID-19. Virus penyebab COVID-19 juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ lain yaitu jantung, ginjal, sistem saraf, dan kelainan pada darah.

Pemulihannya bisa jadi tidak sebentar. Oleh karena itu, konsultasi setelah terinfeksi COVID-19 sangat diperlukan, terutama pada pasien-pasien yang memiliki komorbid, agar para penyintas COVID-19 dapat kembali pulih sepenuhnya dan melakukan aktivitasnya kembali seperti semula.

 

**Penulis adalah Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan RS Pondok Indah – Pondok Indah, dr. Amira Anwar Sp.P, FAPSR

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini