Sukses

Swasta Patok Biaya Tes Omicron COVID-19 Rp450 Ribu

PCR O+ adalah metode tes usap yang dapat mendeteksi COVID-19 Varian Omicron.

Liputan6.com, Jakarta - Veronica Tan belum lama ini mengunggah sebuah flyer di akun Instagram pribadinya, @veronicatan_official, mengenai layanan PCR O+. Tes usap atau swab test PCR yang bisa mendeteksi COVID-19 Omicron.

"Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata PCR biasa tidak dapat membedakan varian Omicron dengan Non Omicron," tulis Veronica sebagai keterangan foto.

"Maka, bekerja sama dengan @kalgeninnolab, @lovecareindonesia menyediakan layanan baru PCR O+ yang mampu mendeteksi varian probable Omicron & Non Omicron," lanjutnya.

Dari unggahan tersebut diketahui juga bahwa layanan PCR O+ sudah beroperasi. Lokasi tes berada di Jalan Cut Nyak Dien, Menteng, Jakarta Pusat.

Corporate Communication PT Kalbe Farma Tbk, Hari Nugroho pun menjelaskan terkait hal tersebut.

"Pemeriksaan PCR O+ dilakukan oleh KalGen Innolab. KalGen Innolab bekerjasama dengan Lovecare untuk melayani masyarakat," kata Hari kepada Health Liputan6.com melalui layanan pesan singkat, Senin, 24 Januari 2022.

"Tesnya dilakukan oleh KalGen Innolab," dia menekankan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Apa sebenarnya PCR O+?

Lantas, apa sebenarnya PCR O+? Dan, apa bedanya dengan metode whole genome sequencing (WGS) dan PCR SGTF (S-gene Target Failure) --- sebuah teknologi RNS untuk melakukan pemeriksaan probable (kemungkinan) COVID-19 Omicron ?

Laboratory Director KalGen-Innolab lulusan Biotechnology Gifu University, Jepang, Andi Utama PhD, menjelaskan, gen SARS-CoV-2 atau virus Corona penyebab COVID-19 ibarat tubuh manusia, yang terdiri dari dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Swab test PCR, kata Andi, mendeteksi bagian-bagian kecil yang spesifik. Sedangkan WGS, mengindetifikasi semua genome virus, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Namun, proses pengerjaan WGS relatif lama dan butuh cost yang besar.

"Cuma dia memiliki gold standar. 100 persen yakin bahwa ini ada varian ini, termasuk model virusnya seperti apa, karena bagian tubuh itu semuanya diperiksa," katanya.

"Sedangkan PCR, hanya menargetkan di bagian tertentu saja," Andi menambahkan.

Bagaimana dengan PCR O+ ?

"Tesnya sudah menyasar, lebih spesifik, dan kita tetap pakai sebagai tambahan gen target original itu ada 3, jadi, ada 4 target. Itu untuk memerkecil kemungkinan kita missed," kata Andi.

"Seandainya bukan Omicron, nih, tapi satu gen lain berubah, kita masih ada dua back up-nya gitu. Virus ini kan dinamis. Semakin banyak target gen yang dipakai, semakin kecil kemungkinan untuk missed," Andi menambahkan.

Namun, kata Andi, perlu dipahami bahwa gold standard tetap hanya ada di WGS.

 

 

3 dari 3 halaman

Akurasi PCR O+

Di flayer unggahan Veronica Tan, tertulis bahwa PCR O+ menggunakan kit IVD yang sudah teregistrasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dan, bagi siapa saja yang tertarik untuk melakukan tes tersebut, harus menyediakan uang setidaknya Rp450 ribu sekali tes.

Memang seberapa besar akurasi dari PCR O+ ini?

"Kita sudah pelajari dulu sebelum membeli kit ini. Kita memutuskan kit A, B, C, D, lalu kita pelajari kosistensi data dari semuanya. Kebetulan kit yang kita pakai punya data yang sudah dibandingkan dengan WGS tadi," katanya.

"Efektivitasnya terlihat 100 persen. Sekarang kita pakai, kita temukan lagi ternyata cukup konsisten datanya. Orang menduga kena Omicron, kita temukan hasilnya bahwa itu positif Omicron," Andi menambahkan.

Prosesnya?

Andi, menjelaskan, terkait proses atau cara kerjanya yang membedakan hanya dari sisi platform.

Menurut Andi, selama platform-nya adalah PCR, mau itu SGTF, O+, atau apapun yang basisnya PCR, sampel dan prosesnya sama.

"Jadi, bagaimana masing-masing lab me-manage bisa tiap sampel datang langsung diproses atau dikumpulin dulu," katanya.

"PCR itu 3 jam. Ditambah ekstraksi RNA-nya tidak lama, itu sekarang setengah jam bisa selesai," ujar Andi.

Untuk menjalankan tes, lanjut Andi, harus ada kontrol positif dan kontrol negatif. Tidak gampang lantaran harus diperiksa betul.

"Berbeda dengan WGS. Platform-nya beda, satuannya hari, bisa tiga hari, karena setelah di-sequence datanya itu besar sekali. Big data. Kalau tidak di-support dengan information system itu butuh analisa lama," katanya.

"Selain lama di pengerjaan, lama juga di analisa data dan waktu," Andi menekankan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.