Sukses

Berkaca dari Kasus Perundungan di Malang, Kenali Tipe Orang yang Rentan Kena Bully

Berikut tipe-tipe orang yang rentan kena bully

Liputan6.com, Jakarta Kasus perundungan anak kelas 6 SD di Malang, Jawa Timur, mendapat tanggapan dari kriminolog Haniva Hasna, M. Krim.

Dari informasi yang disampaikan kuasa hukum korban, Leo A Permana, korban adalah anak yang tinggal di panti asuhan karena ibunya bekerja di luar kota sebagai pembantu rumah tangga. Sedang, ayahnya adalah penyandang gangguan jiwa.

Terkait latar belakang orangtua korban, kriminolog yang akrab disapa Iva menyampaikan bahwa hal tersebut dapat memengaruhi tingkat keberanian pelaku dalam melakukan tindak kekerasan terhadap korban.

“Sangat bisa (berpengaruh), karena sasaran utamanya sebetulnya adalah pribadi yang dianggap lemah. Korban dalam hal ini dilihat sebagai seseorang yang memiliki rasa minder akibat kondisi kedua orangtuanya,” kata Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks belum lama ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Orang yang Lebih Rentan

Iva menambahkan, pada dasarnya semua orang bisa menjadi korban bullying atau perundungan. Akan tetapi, beberapa faktor risiko dapat membuat seseorang lebih rentan.

Orang-orang yang dianggap lebih rentan jadi korban perundungan salah satunya adalah seseorang yang terlihat berbeda. Misal dari segi berat badan, penampilan, ras, etnis, atau agama yang berbeda.

“Berbeda yang dimaksud bukan berarti selalu ‘buruk rupa’. Terkadang, seseorang yang terlampau cantik atau tampan juga dapat menjadi sasaran bully.”

Selain itu, orang yang menyandang gangguan perkembangan maupun gangguan mental juga dapat menjadi sasaran perundungan yang risikonya tinggi.

3 dari 4 halaman

Dari Sisi Usia

Iva menambahkan, bila dilihat dari sisi usia yang masih di bawah umur, para pelaku termasuk dalam kelompok rentan terhadap pengaruh sosial. Hal ini menyebabkan mudahnya mereka tersulut emosi.

“Ada beberapa faktor dalam aksi ini, antara lain konformitas teman sebaya, agresivitas, serta kontrol diri,” katanya.

Konformitas teman sebaya biasanya dilakukan untuk mendapatkan penerimaan sosial, bisa dilakukan dengan adanya tekanan atau sukarela.

Ini yang mengharuskan seseorang dalam hal ini remaja untuk bertindak dan berpikiran dengan cara tertentu. Perilakunya bisa baik, bisa pula menyimpang tergantung dengan kelompok yang diikuti.

“Mengapa suka keroyokan? Karena pada dasarnya remaja ini sedang mencari jati diri, masa peralihan, belum berani tampil sendiri tapi sedang ingin dianggap berani, makanya mereka mencari kelompok geng yang membuat mereka bisa mengaktualisasikan diri, tampil keren, tampil berani.”

Sedang, agresivitas terkait dengan remaja yang memiliki masalah hidup sehingga berkeinginan untuk menyakiti individu lain.

Ini dilakukan sebagai upaya mengekspresikan perasaan negatifnya seperti melakukan permusuhan. Komponen agresivitas itu terdiri dari agresi fisik atau agresi verbal dalam bentuk kemarahan dan permusuhan.

Poin ketiga yakni kontrol diri merupakan kemampuan remaja untuk menentukan perilakunya berdasarkan standar tertentu seperti moral, nilai, dan aturan di masyarakat agar mengarah pada perilaku positif.

Kurangnya kontrol diri dapat menimbulkan aksi ketika terjadi gesekan. Selain itu, pada dasarnya proses bersikap remaja terhadap sebuah masalah adalah emosi-aksi-pikir, kondisi ini bisa berubah menjadi emosi-pikir-aksi ketika mereka dewasa.

“Namun bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Hanya butuh belajar dan pembiasaan saja agar remaja bisa menjadi pribadi yang mampu menahan diri,” tutup Iva.

 

4 dari 4 halaman

Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.