Sukses

Berkaca pada Kasus Oknum Polisi Lecehkan Anak, Sosialisasi UU SPPA Dianggap Penting

Kekerasan seksual pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk oknum anggota kepolisian.

Liputan6.com, Jakarta Kekerasan seksual pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk oknum anggota kepolisian.

Seperti yang terjadi di Halmahera Barat, Maluku Utara dan dilaporkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Menurut pihak KemenPPPA tindakan pemerkosaan dilakukan seorang oknum anggota kepolisian di Halmahera Barat terhadap seorang anak berusia 16. Seorang Aparat Penegak Hukum (APH) yang seharusnya menjadi pengayom bagi masyarakat, terutama perempuan dan anak yang merupakan kelompok rentan dan terlindungi, malah kemudian menjadi pelaku utama yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

“Pemberatan pidana terhadap pelaku yang merupakan aparatur negara harus diaplikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengingat peran sentral pelaku yang seharusnya memberikan rasa aman kepada korban,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar dalam keterangan pers, dikutip Kamis (1/7/2021).

Nahar menambahkan, pihaknya mengapresiasi tindakan tegas yang dilakukan Polda Maluku Utara dengan menetapkan tersangka oknum tersebut dan meminta agar APH dapat memberikan hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hukuman bagi Pelaku

Jika memenuhi unsur pidana, lanjut Nahar, maka pelaku dapat dikenakan Pasal 81 Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena tersangka adalah aparat yang menangani perlindungan anak, sehingga pidananya dapat diperberat.

KemenPPPA telah berkoordinasi dengan Dinas PPPA Provinsi Maluku Utara, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Maluku Utara yang telah bersama LSM pendamping perempuan dan anak serta Unit PPA, untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan psikologis termasuk kebutuhan pemeriksaan kandungan di dokter spesialis.

“KemenPPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, mulai dari proses hukum pelaku, hingga pendampingan korban agar tidak menyisakan trauma di kemudian hari,” jelas Nahar.

3 dari 4 halaman

Berkaca dari Kasus Ini

Berkaca dari kasus ini, peningkatan upaya pencegahan dan pengawasan perlindungan menjadi sangat penting dilakukan oleh semua pihak, tambah Nahar.

Tidak hanya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, tapi juga Sosialisasi tentang Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) penting untuk dilakukan.

Jika ditemukan fakta bahwa pelaku memperkosa korban dengan dalih melakukan pemeriksaan di ruang tertutup, tentunya ini pun tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, di mana anak dalam menjalani pemeriksaan wajib didampingi oleh orangtua, orang dewasa, atau pendamping lain.

“Anak, orangtua, dan masyarakat pada umumnya harus dipahamkan terkait hal ini untuk menutup peluang oknum-oknum melakukan perlakuan salah terhadap anak.”

Peran pengawasan dari orangtua juga menjadi penting, mengingat korban bepergian tanpa pendampingan orangtua sama saja menempatkan anak dalam situasi rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya, tutup Nahar.

 

4 dari 4 halaman

Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.