Sukses

Lebih dari 350 Dokter Laporkan COVID-19 Dapat Memicu Diabetes

Sebuah studi pendahuluan terhadap 47.000 pasien Inggris yang menemukan 4,9% pasien COVID-19 mengembangkan diabetes.

Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan di seluruh dunia saat ini tengah mengamati tren peningkatan kasus diabetes baru sejak pandemi COVID-19. Dari data Scientific American disebutkan bahwa beberapa pasien COVID-19 tanpa riwayat diabetes tiba-tiba mengembangkan kondisi lonjakan gula darah.

Dilansir dari Livescience, tren tersebut mendorong banyak kelompok penelitian untuk meluncurkan studi tentang fenomena tersebut. Misalnya, para peneliti di King's College London di Inggris dan Monash University di Australia yang mendirikan CoviDiab Registry, sumber daya tempat dokter dapat mengirimkan laporan tentang pasien dengan riwayat COVID-19 yang dikonfirmasi dan diabetes yang baru didiagnosis.

Hingga kini, ada lebih dari 350 dokter telah mendaftarkan laporannya. Ada yang melaporkan diabetes tipe 1 (tubuh menyerang sel-sel di pankreas yang memproduksi insulin) dan diabetes tipe 2 (tubuh masih memproduksi beberapa insulin, meskipun seringkali tidak cukup, dan sel-selnya tidak merespons ke hormon dengan baik).

"Selama beberapa bulan terakhir, kami telah melihat lebih banyak kasus pasien yang menderita diabetes selama mengidap COVID-19 atau tidak lama setelah itu," kata seorang profesor dan ketua bedah metabolik dan bariatrik di King's College London, Dr. Francesco Rubino, dikutip dari The Guardian.

"Kami sekarang mulai berpikir bahwa kaitannya mungkin benar, ada kemampuan virus untuk menyebabkan metabolisme gula tidak berfungsi," lanjutnya.

Penelitian lain juga menyebutkan hubungan antara COVID-19 dan diabetes. Misalnya, tinjauan terhadap delapan penelitian, yang mencakup lebih dari 3.700 pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan Scientific American, sekitar 14 persen dari pasien ini mengembangkan diabetes. Ditambah dengan laporan The Guardian tentang sebuah studi pendahuluan terhadap 47.000 pasien Inggris yang menemukan 4,9 persen pasien COVID-19 mengembangkan diabetes.

"Kami dengan jelas melihat orang-orang yang sebelumnya tanpa diabetes jadi mengembangkan diabetes (setelah COVID-19). Sehingga sangat mungkin COVID-19 memicu penyakit," kata seorang dokter dan peneliti penyakit metabolik dari Montreal Clinical Research Institute, Dr. Remi Rabasa-Lhoret, dikutip dari CTV News.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Apa sebabnya?

Para ilmuwan memiliki beberapa teori untuk mengetahui alasannya. Pertama, sebagaimana laporan Scientific American, bisa jadi SARS-CoV-2 (virus yang menyebabkan COVID-19) secara langsung menyerang sel penghasil insulin di pankreas. Virus dapat merusak sel-sel ini secara tidak langsung dengan menginfeksi bagian lain dari pankreas atau pembuluh darah yang memasok organ dengan oksigen dan nutrisi.

Teori lain menyatakan bahwa virus menginfeksi organ lain yang memiliki masalah dengan regulasi gula darah, seperti usus, dan entah bagaimana secara lebih umum merusak kemampuan tubuh untuk memecah glukosa.

Sebelumnya, laman The Guardian juga pernah melaporkan jenis virus lain, seperti enterovirus tertentu (yang menyebabkan berbagai kondisi, termasuk penyakit tangan, kaki, dan mulut) telah dikaitkan dengan diabetes di masa lalu.

Selain itu, sebagian pasien yang terjangkit virus corona SARS-CoV, yang menyebabkan wabah sindrom pernapasan akut yang parah di awal tahun 2000-an, juga mengembangkan diabetes setelahnya, kata seorang ahli endokrinologi dan profesor di Johns Hopkins School of Medicine, Dr. Mihail Zilbermint, dikutip dari CTV News.

Scientific American menjelaskan infeksi virus akut dapat memicu peradangan parah pada tubuh. Untuk meresponnya, tubuh memproduksi hormon yang berhubungan dengan stres, seperti kortisol, untuk meredakan peradangan tersebut. Hormon stres dapat menyebabkan kadar gula darah melonjak, dan kenaikan itu tidak selalu mereda meskipun infeksi telah sembuh.

Selain itu, pasien COVID-19 sering kali dirawat dengan obat steroid, seperti deksametason, yang juga dapat menaikkan kadar gula darah. Oleh karena itu, ada kemungkinan steroid ini juga berkontribusi pada timbulnya diabetes pada pasien COVID-19, kata Zilbermint.

Sedangkan seperti dilansir dari Diabetes.co.uk, diabetes yang diinduksi steroid memang dapat mereda setelah pasien berhenti minum obat, tetapi terkadang, ada yang kondisinya justru menjadi kronis.

Keterkaitan COVID-19 dengan diabetes juga masih belum ada kepastian, karena selain faktor yang telah disebutkan di atas, tidak ada kejelasan jumlah pasien yang sudah menderita pradiabetes (pasien yang memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dari rata-rata) ketika mereka terjangkit COVID-19.

"Ada kemungkinan bahwa [seorang] pasien hidup dengan pradiabetes selama bertahun-tahun dan tidak mengetahuinya. Sekarang mereka memiliki infeksi COVID-19 dan infeksi tersebut mendorong mereka untuk mengembangkan diabetes," kata Zilbermint.

Para ilmuwan juga tidak yakin kondisi diabetes setelah terkena COVID-19 akan bersifat permanen atau tidak, kata Rabasa-Lhoret. Namun menurut laporan 2010 di jurnal Acta Diabetologica, ada beberapa pasien yang mengembangkan diabetes setelah infeksi SARS. Namun gejala diabetes mereka akhirnya mereda dan gula darah mereka kembali ke tingkat normal setelah infeksi sembuh.

Pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 mungkin mengalami gejala diabetes yang serupa dan mungkin tidak bersifat permanen, tetapi hal ini perlu dikonfirmasi dengan penelitian lebih lanjut.

3 dari 3 halaman

Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Diabetes (diabetes melitus) adalah suatu penyakit metabolik yang diakibatkan oleh meningkatnya kadar glukosa atau gula darah.

    Diabetes

  • Penyebaran Covid-19 ke seluruh penjuru dunia diawali dengan dilaporkannya virus itu pada 31 Desember 2019 di Wuhan, China

    COVID-19