Sukses

Pemerintah Tak Larang Mudik Lebaran 2021, Epidemiolog Ingatkan Positivity Rate Masih Tinggi

Melihat positivity rate COVID-19 di Indonesia masih tinggi, mudik Lebaran 2021 sehrusnya tidak direkomendasikan

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono menanggapi soal pemerintah yang memutuskan untuk tidak melarang masyarakat melakukan mudik pada Lebaran 2021.

Menurut Miko, Indonesia tidak memiliki hukum yang melarang seseorang untuk bepergian. Akan tetapi seharusnya pemerintah menganjurkan untuk tidak berkumpul. Termasuk mudik bareng atau mudik bersama pada Lebaran 2021, itu tidak direkomendasikan.

"Yang benar bukan tidak boleh atau melarang, tapi tidak merekomendasikan untuk mudik. Dengan kondisi COVID-19 sekarang, pemerintah seharusnya tidak merekomendasikan untuk mudik," kata Miko saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Rabu, 17 Maret 2021.

Miko menjelaskan bahwa secara angka memang kasus baru atau kasus harian COVID-19 di Indonesia menurun, di kisaran 4.000. Namun, angka itu diperoleh dari pemeriksaan sekitar 40 ribu per hari.

"Waktu (kasus harian) 10 ribu, itu pemeriksaannya mencapai 70 ribu. Ketika diturunkan menjadi 40 ribu, kasus barunya menjadi 4.000," kata Miko.

"Nah, kalau melihat positivity rate, rata-rata di atas 10 ribu. Itu menunjukkan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia masih tinggi," Miko menambahkan.

 

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kasus COVID-19 Dikatakan Turun Jika Positivity Rate Kurang Dari 5 Persen

Kasus COVID-19 bisa dikatakan menurun jika positivity rate kurang dari lima persen. Indonesia bisa mencapai positivity rate di angka serendah itu jika cakupan vaksinasi COVID-19 mencapai 50 juta atau 100 juta, kasus baru Corona di Tanah Air pun akan turun per tiganya.

"Pada saat itu, menurut saya, mungkin pemerintah membolehkan (untuk mudik) tapi dengan hati-hati. Boleh dengan hati-hati ini maksudnya kalau pergi harus dengan swab test PCR atau minimal dengan rapid test antigen," katanya.

"Tapi lihat sekarang, kereta api saja pakai GeNose," Miko menambahkan.

 

3 dari 3 halaman

Lebih Baik PCR atau Rapid Test Antigen Ketimbang GeNose C-19

GeNose C-19, lanjut Miko, alatnya secara teori belum 'hacep' atau mantap, "Jadi, penciptanya, menurut saya, tidak bisa menjelaskan terkait VOC atau votalite organic compound yang terdeteksi di dalam alat GeNose.".

Menurut dia, alat dan metode yang dipakai dalam GeNose C-19 tidak secara langsung mendeteksi material virus Corona, melainkan mendeteksi senyawa yang disebut VOC.

"Itu diproduksi dari sel apa, itu hari keberapa terbentuknya secara teori harus dijelaskan. Kalau tidak bisa dijelaskan, itu bahaya betul. VOC itu bisa dipengaruhi oleh makanan soalnya," kata Miko.

"Walaupun alat ini sudah divalidasi, menurut saya masih banyak yang harus dijelaskan," Miko menambahkan.

Oleh sebab itu, Miko mengombau agar pemerintah hanya memakai dua metode pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus Corona, yaitu PCR dan rapid test antigen.

"Pemerintah seharusnya memurahkan rapid tes antigen saja. Dengan memurahkan saja akan jadi aman untuk bepergian," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.