Sukses

Alergi Olahraga, Penyakit Langka yang Bisa Mengancam Jiwa

Kondisi langka yang disebut exercise-induced anaphylaxis (EIA) terjadi ketika seseorang bereaksi terhadap alergen terkait olahraga.

Liputan6.com, Jakarta Saat semua bukti menunjukkan bahwa olahraga baik untuk kesehatan, tentu sulit untuk membantahnya bahwa sebagian orang seperti pengguna TikTok, Kira (@snflwrxtrnsl) olahraga bisa berdampak buruk baginya. Menurut dokter, olahraga menyebabkan ia mengalami reaksi alergi yang serius.

Dalam video TikTok yang baru ia posting, menunjukkan awalnya ia sedang berlari dengan perlengkapan larinya. Tak berapa lama kemudian, ia berkata, "Aku menjadi sangat lelah terlalu cepat tapi tidak begitu memikirkannya."

Namun yang terjadi selanjutnya menjadi lebih serius. "Seluruh tubuhku mulai gatal seperti orang gila dan wajahku membengkak," tulisnya.

Maka ia memutuskan untuk menelepon ibunya untuk menjemputnya karena ia merasa ingin pingsan dan kesulitan bernapas.

Namun bahkan sesampainya di rumah pun, Kira dan ibunya masih harus menelepon 911 (ambulans) karena ia "menjadi buta".

Video berikutnya menunjukkan bagian belakang ambulans dengan tulisan, "Saya dilarikan ke rumah sakit dengan diberi 3 epipen (suntikan anti alergi) dalam perjalanan." Di akhir video mengungkapkan dokternya mendiagnosisnya dengan kemungkinan alergi terhadap olahraga.

Kira juga mengungkapkan sejak itu ia menerima catatan dokter sehingga dirinya tidak bisa mengikuti kelas gym lagi.

 

EIA, Apa Itu?

Kondisi langka yang disebut exercise-induced anaphylaxis (EIA) terjadi ketika seseorang bereaksi terhadap alergen terkait olahraga. Kondisi ini pertama dijelaskan pada tahun 1979 dalam sebuah laporan kasus yang diterbitkan dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology, dan diperkirakan mempengaruhi sekitar 50 dari setiap 100.000 orang.

"Anafilaksis yang diinduksi oleh olahraga adalah kejadian langka yang terjadi ketika orang mengalami reaksi alergi parah yang mengancam jiwa yang dapat mencakup mengi, ruam, masalah pernapasan, dan syok," kata ahli alergi dan imunologi di NYU Langone Health, Purvi Parikh, MD, seperti dilansir dari Health.

Ada juga subtipe EIA yang dikenal sebagai food-dependent exercise-induced anaphylaxis (FDEIA) atau alergi olahraga yang bergantung pada makanan, yaitu saat makanan pemicu dan aktivitas fisik diperlukan untuk menginduksi anafilaksis.

"Prevalensi FDEIA tidak diketahui dengan baik, tetapi telah dilaporkan sekitar sepertiga atau setengah dari semua kasus EIA. Gejala dan penampakannya mirip dengan EIA, dan orang dengan sindrom ini tidak bereaksi terhadap makanan atau berolahraga sendiri," kata seorang dokter olahraga dengan Hoag Orthopedic Institute di Orange County, California, Brian Jin Choi, DO.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gejala

Gejala umumnya termasuk reaksi khas alergi, namun tidak terbatas pada kulit gatal-gatal, angioderma (bengkak di bawah kulit), kemerahan, sesak napas, gejala gastrointestinal (misalnya mual dan diare), sakit kepala, dan kehilangan kesadaran, kata Dr. Jin Choi. Kematian akibat kondisi ini sangat jarang, namun tetap dianggap berpotensi mengancam jiwa.

Penyebab

Tidak jelas mekanismenya bagaimana, menurut dr. Parikh, ada hubungan antara makanan yang dikonsumsi dalam tiga jam selama olahraga berat yang memicu reaksinya. Makanan apa pun bisa menjadi pemicunya, tetapi penyebab umumnya adalah kerang, gandum, makanan laut, kacang-kacangan, sereal, produk susu, dan seledri. Ini juga dapat diperburuk oleh asupan alkohol, atau konsumsi aspirin atau obat antiinflamasi non steroid (NSAID).

EIA / FDEIA biasanya dipicu oleh latihan intensitas sedang, paling sering jogging, tetapi bisa terjadi dengan level intensitas latihan apapun.

"Waktu kemunculannya tidak bisa diprediksi, artinya intensitas dan jenis latihan yang sama mungkin atau mungkin tidak menyebabkan gejala setiap saat. Beberapa faktor eksternal mungkin juga berperan, seperti kelembaban dan cuaca hangat atau dingin," kata dr. Jin Choi.

Ada berbagai teori untuk menjelaskannya, seperti peningkatan aliran darah dalam tubuh selama olahraga, yang dapat menggantikan sel kekebalan yang sensitif. Selain itu beberapa protein dalam usus berperilaku dengan cara tertentu selama aktivitas fisik dan berinteraksi dengan makanan atau obat-obatan dengan cara yang menyebabkan reaksi alergi.

Faktor risiko

EIA / FDEIA dapat terjadi pada semua kelompok usia, tetapi tampaknya paling umum terjadi pada remaja dan 20-an. Sejauh yang telah diketahui, "tidak ada kecenderungan ras maupun jenis kelamin tertentu, meskipun dua penelitian besar telah melaporkan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin mengalaminya daripada laki-laki," kata Dr. Jin Choi.

Cara pengobatan

Karena reaksi yang timbul sama seperti reaksi alergi maka penatalaksanaan serupa dengan yang digunakan untuk mengobati anafilaksis biasa, kata Dr. Jin Choi. Bisa berupa epinefrin intramuskular, antihistamin, steroid sistemik, resusitasi cairan, dan perawatan suportif.

Ada beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan, namun langkah terpenting yaitu menghindari mengonsumsi makanan atau obat yang dapat memicu gejala menjelang waktu berolahraga.

Dr. Jin Choi juga merekomendasikan untuk menghindari olahraga dalam cuaca panas, dingin, atau lembab. Dr. Parikh menyarankan untuk minum antihistamin 30 menit sebelum berolahraga.

"Saya meresepkan semua pasien saya dengan anafilaksis akibat olahraga dan EpiPen untuk tetap berada di dekatnya," tambahnya.

3 dari 3 halaman

Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.