Sukses

Alergi Air Mani Sendiri, Ini Cara Dokter Mengatasinya

Sebagian orang memiliki alergi yang kebanyakan penyebabnya berasal dari jenis makanan tertentu. Namun, peneliti menemukan ada pria yang alergi pada air maninya sendiri.

Liputan6.com, Jakarta Alergi  makanan, tungau debu, serbuk bunga adalah hal lazim. Namun, peneliti menemukan ada pria yang alergi pada air maninya sendiri.

Bukan hal baru bila perempuan alergi terhadap air mani pasangannya walau jumlahnya tidak banyak. Lebih jarang lagi, ada pria alergi terhadap air mani mereka sendiri seperti dikutip Live Science, Minggu (1/11/2020).

Peneliti Belanda melaporkan dua kasus sindrom penyakit postorgasmic dalam Journal of Sexual Medicine edisi Januari. Dalam kedua kasus tersebut, para pria mengalami gejala alergi di sekitar mata dan hidung mereka, dan penyakit seperti flu sementara dalam hitungan detik, menit atau jam setelah berhubungan seks, masturbasi atau ejakulasi spontan.

Tes tusuk kulit memastikan bahwa mereka memang alergi terhadap air mani mereka sendiri.

Alergi mereka akhirnya diobati dengan terapi hiposensitisasi, di mana seseorang disuntik dengan sejumlah kecil alergennya yaitu air mani mereka sendiri. Suntikan ini dilakukan dari waktu ke waktu, dalam dosis yang meningkat secara bertahap. Para peneliti melaporkan bahwa pria menunjukkan perbaikan yang signifikan pada gejala mereka setelah tiga tahun pengobatan.

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hormon Perempuan

Selain alergi terhadap air mani sendiri, ada pula yang memiliki alergi terhadap hormon perempuan.

“Relatif umum untuk mendengar wanita mengeluh tentang jerawat yang memburuk dan retensi air pada titik-titik tertentu dari siklus menstruasi mereka. Namun, sejumlah kecil wanita menderita kondisi yang disebut dermatitis progesteron autoimun (APD), kelainan kulit yang diperburuk oleh hipersensitivitas progesteron selama fase luteal dari siklus menstruasi, yang terjadi setelah ovulasi,” dikutip dari Live Science.

APD biasanya terjadi pada kehidupan dewasa dan jarang terjadi di masa kehamilan atau periode pascamenopause.

Kasus serupa dilaporkan dalam European Journal of Dermatology pada 2002. Seorang wanita berusia 27 dirawat di klinik karena gatal-gatal di wajah berulang yang selalu dimulai sekitar tiga hari sebelum menstruasi dan menghilang dalam tujuh hari. Lesi kulitnya akan hilang secara spontan tanpa tanda sisa sampai siklus berikutnya.

Diagnosis dikonfirmasi ketika tes tusuk kulit menunjukkan bahwa progesteron menyebabkan kemerahan dan bengkak dalam waktu 30 menit. Setelah wanita itu didiagnosis, gejalanya diatasi dengan terapi berbasis hormon.

3 dari 3 halaman

Infografis Harga Mati Disiplin Protokol Kesehatan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.