Sukses

FKUI: Keberhasilan Penanganan Serangan Jantung IMA-EST Mengalami Peningkatan Setiap Tahunnya

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) umumkan peningkatan keberhasilan tata laksana pasien serangan jantung Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST).

Liputan6.com, Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) umumkan peningkatan keberhasilan tata laksana pasien serangan jantung Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST). Peningkatan performa tersebut berhubungan dengan penurunan tingkat kematian dini pasien IMA-EST.

Peningkatan ini terjadi setiap tahun di Rumah Sakit Pendidikan di Jakarta. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah tindakan kateterisasi jantung dan berkurangnya angka keterlambatan terapi pembukaan sumbatan pembuluh darah koroner atau terapi reperfusi.

Laporan ini diperoleh dari sebuah studi yang dilakukan sejumlah staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI-RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Mereka adalah dr. Surya Dharma, Sp.JP(K), Ph.D; Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K); Dr. dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K); dan Dr. dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K).

Studi ini juga mengikutsertakan Frans Van de Werf, MD, Ph.D sebagai penulis tamu dari Department of Cardiovascular Sciences, KU Leuven, Belgia. Hasil studi telah dipublikasikan di jurnal Coronary Artery Disease pada Agustus 2020.

IMA-EST merupakan salah satu jenis sindrom koroner akut, yaitu kondisi berupa penyumbatan pembuluh darah arteri jantung sehingga jantung menjadi kekurangan oksigen. Pada IMA-EST, pembuluh darah pasien tersumbat secara total. Jika tidak segera ditangani, kerusakan serius pada otot-otot jantung dapat terjadi.

Ada 7.208 pasien IMA-EST yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita antara tahun 2011 dan 2018, tetapi hanya 6.016 pasien yang dilibatkan hingga analisis akhir atau sekitar 83 persen. Rata-rata pasien berusia 56 tahun, 86 persen berjenis kelamin laki-laki, dan 64,3 persen memiliki faktor risiko merokok.

Dibandingkan dengan periode 2011-2014, pasien pada periode 2015-2018 lebih banyak yang masuk rawat saat di luar jam kerja (68 persen dan 39 persen), memiliki onset gejala 7-12 jam (29,7 persen dan 24,2%), datang tanpa disertai gagal jantung akut (73,7 persen dan 68,4 persen), serta dirujuk melalui proses transfer antar rumah sakit  (51 persen dan 15,1 persen).

“Infark miokard akut merupakan salah satu masalah sistem kardiovaskular yang rentan menyebabkan tingginya angka perawatan dan kematian. Penegakan diagnosis secara cepat dan tepat sangat diperlukan agar penanganan segera dilakukan sehingga komplikasi kerusakan jantung lebih lanjut dapat dicegah,” ujar Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB dalam keterangan pers, Selasa (27/10/2020).

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penggunaan Kateterisasi Jantung Meningkat

Selama 8 tahun masa pengamatan di RS tersebut, penggunaan kateterisasi jantung meningkat secara bermakna dari 37,9 persen pada 2011 menjadi 71 persen pada 2018.

Tidak hanya itu, proporsi pasien yang tidak mendapat terapi pembukaan sumbatan pembuluh darah koroner menurun dari 56,2 persen menjadi 29 persen. Rata-rata waktu yang dibutuhkan sejak pasien datang ke rumah sakit hingga tindakan kateterisasi (door to device time) juga lebih singkat pada periode 2015-2018 (72 menit) dibandingkan periode 2011-2014 (97 menit).

Hal ini membuktikan bahwa tindakan kateterisasi jantung mampu meningkatkan angka survival pasien IMA-EST yang tampak dari penurunan angka kematian rumah sakit dari 7,9 persen menjadi 6,5 persen.

3 dari 4 halaman

Terapi Fibrinolitik

Sekitar 30 persen pasien IMA-EST datang dengan onset keluhan 7-12 jam. Pada pasien kelompok onset lanjut ini, ahli menyarankan segera dilakukan terapi fibrinolitik ketika masih berada di rumah sakit asal dengan onset gejala lebih dini.

Sama seperti kateterisasi, terapi fibrinolitik ini juga bertujuan untuk mengembalikan aliran darah pada pembuluh darah yang tersumbat. Namun, jika kateterisasi merupakan terapi pembukaan sumbatan pembuluh darah koroner mekanik, fibrinolitik termasuk terapi dengan menggunakan obat. Terapi fibrinolitik umumnya digunakan di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas kateterisasi sebelum akhirnya pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas tersebut.

Beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penggunaan dan kualitas terapi pembukaan sumbatan pembuluh darah koroner pada rumah sakit tanpa fasilitas kateterisasi jantung ini, antara lain mengedukasi pada dokter jaga dan perawat yang bekerja di IGD agar mampu melakukan terapi fibrinolitik, serta mempercepat waktu door-in to door-out (waktu yang dihabiskan pasien selama berada di rumah sakit asal) sehingga periode iskemik total dapat diminimalkan.

Melansir keterangan pers FKUI, mengingat luaran klinis pasien IMA-EST sangat dipengaruhi oleh waktu, program kampanye kepada publik mengenai tanda dan gejala serangan jantung akut, serta sosialisasi nomor kegawatdaruratan medik (119) harus dilakukan sebagai bagian dari program sistem jejaring IMA-EST yang memungkinkan pasien untuk mendapat pertolongan medis sesegera mungkin. Selain itu, registrasi Jakarta Acute Coronary Syndrome harus diperluas ke rumah sakit lain untuk memudahkan pengukuran performa sistem jejaring IMA-EST pada populasi yang lebih luas.

4 dari 4 halaman

Infografis Jantung

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.