Sukses

82 Persen Tenaga Kesehatan Indonesia Alami Burnout Selama Pandemi, Peneliti: Harus Waspada

Studi yang dilakukan FKUI menunjukkan 82 persen tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kondisi burnout selama masa pandemi COVID-19

Liputan6.com, Jakarta Masa pandemi COVID-19 mengakibatkan tingginya angka burnout tingkat sedang yang dialami oleh para tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia.

Burnout sendiri merupakan sebuah sindroma psikologis akibat respons kronik terhadap stresor atau konflik dengan tiga gejala yang umum seperti keletihan emosi, kehilangan empati, dan berkurangnya rasa percaya diri.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menunjukkan bahwa tingkat prevalensi burnout sedang pada nakes di masa pandemi COVID-19 mencapai 82 persen.

Sementara, dalam temu media daring yang diadakan pada Jumat (4/9/2020), tim peneliti juga mengungkapkan bahwa sebanyak satu persen nakes mengalami burnout tingkat berat selama masa pandemi COVID-19.

"Ini kalau dipikir adalah suatu hal yang menurut kami sudah harus waspada. Karena begitu dia masuk berat, itu akan lebih susah ditanggulangi. Jadi kalau kami bilang, ini harus segera dilakukan sesuatu buat para tenaga kesehatan tersebut," kata Ketua Tim Peneliti dokter Dewi S. Soemarko.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Metode Penelitian

Survei yang dilakukan Dewi bersama timnya dilakukan secara daring pada total 1.461 responden dari 34 provinsi di Indonesia. Para peserta yang terdiri dari tenaga kesehatan di berbagai bidang ini memiliki rentang usia dari 18 hingga 63 tahun dengan masa kerja dari 6 bulan sampai 12 tahun.

Selain itu, dari 1.070 peserta, 469 nakes mengatakan bahwa mereka bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19 dan dari 1.414 responden, sebanyak 804 orang melaporkan bahwa mereka pernah menangani pasien COVID-19.

Berdasarkan bidang pekerjaannya, dokter umum menjadi peserta terbanyak yaitu 716 responden, bidan mencapai 390 responden, dan perawat 151 responden.

Dewi menambahkan, jika dilihat, tidak ada hubungan antara karakteristik individu dengan kondisi burnout secara keseluruhan. "Memang yang menikah itu biasanya punya dua gejala burnout yaitu keletihan emosi dan rasa percaya diri."

Selain itu, ia mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara lingkungan kerja dengan burnout secara keseluruhan.

"Tetapi untuk dokter umum, memang ada tiga gejala burnout yang menonjol yaitu keletihan emosi, kehilangan empati, dan rasa percaya diri. Sementara tenaga kesehatan yang menangani COVID, itu ada dua gejala burnout yang menonjol yaitu keletihan emosi dan kehilangan empati."

3 dari 4 halaman

Terkait Stigma

Dewi mengatakan, risiko terjadinya burnout pada mereka yang sudah menikah lebih besar karena sebagai manusia, mereka tidak lepas dari keluarga ditambah dengan adanya beban kerja.

"Mungkin secara tidak langsung, pasti kita sebagai manusia kita rindu dengan keluarga atau anak, istri, suami, pada saat kita bekerja. Jadi Anda bisa membayangkan para tenaga medis itu tidak pulang-pulang, sementara anak atau suami/istri itu menunggu di rumah. Jadi perasaan itu yang mereka pendam."

"Kita tahu kalau kita memendam perasaan itu berbulan-bulan, itu akan menimbulkan semacam kelelahan di batin kita, jadi akan menimbulkan gangguan medis juga."

Studi ini diakui memiliki keterbatasan, salah satunya terkait pengaruh stigma masyarakat terhadap para tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-19.

"Kami tidak menanyakan itu secara detil, tetapi dari beberapa responden memberikan semacam balasa email dan menuliskan bahwa mereka mengalami hal tersebut," kata Dewi.

4 dari 4 halaman

Rekomendasi Peneliti

Ia menambahkan, jika situasi semacam ini tak segera diatasi, maka kinerja dari para tenaga medis akan terdampak di masa depan. Karena itu, ada beberapa rekomendasi yang diberikan kepada berbagai terkait masalah ini.

Bagi tenaga kesehatan, Dewi mengatakan bahwa mereka harus menyadari mengenai kondisi dirinya sendiri. Selain itu, perlu dipahami juga gejala-gejala dari burnout.

"Bagi fasilitas pelayanan kesehatan kami menginginkan memang sarana dan prasarana untuk penanganan pandemi COVID ini menjadi sangat penting untuk disediakan dan pengaturan jadwal untuk tenaga kesehatan juga sangat penting."

Selain itu, penting juga untuk menyediakan dukungan psikososial bagi tenaga kesehatan di masa pandemi.

Untuk pemerintah, Dewi juga meminta agar ada pemetaan terkait burnout yang dialami tenaga medis sebagai bentuk deteksi dini, serta layanan konseling bagi mereka.

Yang terakhir, Dewi meminta agar agar masyarakat tetap disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan seperti jaga jarak, mencuci tangan, tidak berkerumun, dan selalu menggunakan masker.

"Marilah kita menolong diri sendiri dan juga menolong orang lain supaya beban dari masyarakat yang sakit tidak bertambah banyak sehingga tenaga kesehatan tetap bisa melayani para pasien dengan baik."

Hasil rinci dari studi ini akan dimuat di jurnal ilmiah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.