Sukses

AS Izinkan Penggunaan Plasma Konvalesen untuk COVID-19, WHO Angkat Bicara

WHO menyatakan bahwa terapi plasma konvalesen untuk pasien COVID-19 masih pada tahan uji coba dan efektivitasnya masih butuh lebih banyak data

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan plasma darah dalam pengobatan pasien COVID-19.

Pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan apa yang mereka sampaikan pada pekan lalu bahwa mereka tidak akan menggunakan terapi plasma konvalesen untuk pasien COVID-19 tanpa lebih banyak bukti keberhasilan.

Namun, mengutip Live Science pada Selasa (25/8/2020), FDA menyatakan bahwa di bawah "otorisasi penggunaan darurat," dokter boleh melakukan terapi tersebut "apabila tidak ada alternatif yang memadai, disetujui, dan tersedia."

Ini berarti, dokter boleh melakukan penilaian klinis untuk meresepkan plasma darah tanpa mendaftarkan penerimanya ke dalam uji klinis untuk mengetahui efektivitasnya.

Presiden AS Donald Trump pun mengatakan bahwa langkah tersebut merupakan sebuah terobosan. Bahkan, pihak Gedung Putih sempat menyebut bahwa penundaan terapi tersebut dan vaksin oleh FDA lebih bersifat politik.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

WHO Ikut Bereaksi

Keputusan ini membuat World Health Organization (WHO) ikut bereaksi. Mereka memperingatkan bahwa penggunaan plasma darah dari penyintas COVID-19 ke pasien lain masih dianggap sebagai terapi eksperimental.

"Hasilnya belum pasti (sejauh ini)," kata Dr. Soumya Swaminathan, Chief Scientist WHO dalam jumpa persnya Senin kemarin, waktu setempat, dikutip dari AP News. Ia menambahkan, kualitas bukti dari terapi tersebut saat ini masih terbilang sangat rendah.

Swaminathan mengatakan, WHO masih menganggap terapi plasma konvalesen sebagai percobaan yang harus terus dievaluasi. Dia menyebut, perawatannya sulit untuk distandarisasi karena plasma harus dikumpulkan secara individual dan orang-orang menghasilkan tingkat antibodi yang berbeda.

"Tentu saja, negara dapat memberlakukan daftar darurat jika merasa manfaatnya lebih besar daripada risikonya," kata Swaminathan. "Tapi itu biasanya dilakukan saat Anda menunggu bukti yang lebih pasti."

Senada dengan WHO, Martin Landray dari University of Oxford mengatakan bahwa terapi tersebut potensial, namun belum ada bukti bahwa pengobatan tersebut benar-benar berhasil.

"Ada kesenjangan besar antara teori dan manfaat yang terbukti," ujarnya. Landray mengatakan, apabila ada beberapa ribu pasien yang ikut dalam penelitian, ada kemungkinan jawaban akan ditemukan.

"Jika efektif, plasma konvalesen dapat digunakan dengan cepat di seluruh dunia. Jika tidak, itu bisa ditinggalkan," ujarnya yang juga melakukan studi plasma di Inggris.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.