Sukses

Menguji Remdesivir, Obat Virus Corona yang Jadi Buruan Tim Medis

Paramedis di China kini sudah memulai tes pengobatan untuk infeksi novel coronavirus.

Liputan6.com, Jakarta Kegelisahan mengatasi virus corona terus menjadi sorotan dunia. Paramedis di China kini sudah memulai tes pengobatan untuk infeksi novel coronavirus.

Remdesivir, obat antiviral baru oleh Gilead Sciences Inc. yang juga digunakan untuk menguji obat penyakit infeksi seperti Ebola dan SARS, akan di tes oleh tim medis dari Beijing (China-Japan Friendship Hospital) untuk diuji pada coronavirus, ujar juru bicara dari rumah sakit setempat, mengutip laman Times.

Percobaan obat ini akan dilakukan di Wuhan, asal coronavirus yang sejauh ini telah membunuh 360 orang dan lebih dari 17.000 pasien menular tersebar di penjuru daratan China. Sebanyak 270 pasien dengan pneumonia ringan hingga berat akan diikutsertakan secara acak, dengan studi double-blinded dan kontrol plasebo.

Dalam studinya, GlaxoSmithKline Plc., pembuat obat, bersama pemerintah China menyegerakan pembuatan vaksin dan terapi untuk melawan nCoV. Hasilnya menunjukkan remdesivir merupakan terapi yang paling menjanjikan dalam melawan nCoV.

Obat hasil eksperimen ini memang masih belum disetujui oleh regulator obat dunia, tapi menjadi pengecualian jika digunakan pada pasien yang tengah melawan virus baru dengan syarat telah disetujui oleh para regulator.

Sebelumnya, regulator kesehatan China juga merekomendasikan AbbVie Inc., Kaletra (obat HIV) sebagai obat antiviral nCoV. Kaletra juga mulai diberikan pada percobaan manusia, menurut The Paper.

Sementara itu, seluruh dunia turut mencari terapi untuk mengobati virus yang menyebar tak terdeteksi ini.

Johnson & Johnson bahkan berinisiatif mengerjakan vaksin pencegah nCoV dan lusinan peneliti telah mengerjakannya, ujar Paul Stoffels - Chief Scientific Officer - bulan lalu.

GlaxoSmithKline dan para koalisi Epidemic Preparedness Innovations juga mengatakan mereka telah mengerjakan akselerasi vaksin dan mencari dosis yang tepat dengan cepat.

Koalisi ini terbentuk sejak 2017 dan telah menandatangani kontrak dengan para pembuat obat, termasuk Moderna Inc. dan Inovio Pharmaceuticals Inc. pada 22 Januari untuk mempercepat pengerjaan vaksin. Novavax Inc. merupakan salah satu kandidat pertama yang mengerjakan vaksin.

Petugas kesehatan mengatakan versi vaksin membutuhkan 3 bulan untuk bisa diberikan pada percobaan manusia, sementara vaksin yang ampuh membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Untuk saat ini, Remdesivir menjadi obat pertama dalam melawan nCoV. Pasien pertama di Amerika (usia 35 tahun) yang terinfeksi nCoV mengalami peningkatan pneumonia nya setelah diberikan Remdesivir, ujar dokter yang menanganinya dan telah dirilis di New England Journal of Medicine minggu lalu.

Percobaan di China dengan Remdesivir ini merupakan paling cepat disetujui oleh regulator pengobatan China. Hukum pengobatan di China kini membolehkan pemberian terapi obat baru jika untuk melawan virus baru dengan syarat adanya data demonstrasi perlawanan efektif terhadap agen yang mengancam nyawa dan belum ada terapinya.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Progres Obat

Tak mau ketinggalan, para dokter di Thailand juga menemukan pengobatan menjanjikan bagi penderita nCoV.

Para dokter dari Rajavithi Hospital di Bangkok mengatakan obat HIV dan flu bekerja bagi beberapa pasien, termasuk seorang wanita dengan gejala yang parah dari nCoV.

"Obat ini bukan obat penyembuhnya, tapi kondisi pasien cepat membaik. Dari hasil positif selama 10 hari dalam pengawasan, setelah menerapkan kombinasi obat ini, hasil nya menjadi negatif dalam 48 jam," ujar spesialis paru-paru di Rajavithi Hospital, Dr. Kriangska Atipornwanich.

Kesuksesan pengobatan merupakan kombinasi dari obat HIV lopinavir dan ritonavir dengan dosis besar obat flu oseltavimir.

Atipornwanich mengatakan ia mendengar paramedis China menggunakan obat HIV pada pasien nCoV.

"Kami mengecek informasi terkait dan menemukan obat anti-flu efektif pada MERS, sehingga kami mengkombinasikan dua grup obat," ujarnya pada Bangkok Post.

Ada pun pasien yang berhasil sembuh dari nCoV yaitu wanita berusia 70-an. Dia pertama ditemukan di Hua Hin Hospital yang kemudian dipindahkan ke Rajavithi Hospital pada tanggal 29 Januari. Gejala yang ia alami cukup parah dan dinyatakan positif nCoV setelah 10 hari. Tapi setelah pengobatan, dalam 48 jam hasilnya berubah.

"Pengobatan dan kesembuhan sangat cepat" ujar Atipornwanich.

Pasien lainnya yang diberi obat yang sama juga mengalami peningkatan, dimana salah satunya mengalami reaksi alergi, mengutip dari Reuters.

Somsak Akkslim, direktur umum Medical Services Departement, mengatakan pengobatan terbaru ini hanya diberikan pada penderita dengan gejala parah lebih dulu.

"Hasilnya memang bagus tapi kami masih harus mempelajari lebih lanjut untuk menentukan apakah pengobatan ini bisa dijadikan obat standar", ujar Atipornwanich.

Sebagaimana diketahui bahwa 'novel coronavirus Wuhan' ini menyebar sangat cepat dibandingkan SARS dan MERS, tapi lebih lambat daripada flu atau cacar. Bagaimanapun, SARS membunuh 10 persen yang terinfeksi dan MERS membunuh 3 persen, nCoV hingga saat ini masih memiliki tingkat kematian 2 persen, dan nampaknya menurun dengan jumlah kasus yang melambat.

Namun, epidemi flu pada tahun 1918 membunuh 20-50juta orang meskipun memiliki tingkat kematian 2,5 persen. Hal tersebut karena penyebarannya sangat cepat dan kondisi pelayanan medis saat itu.

Di Thailand hingga saat ini melaporkan 19 kasus. Di antaranya, 8 orang dinyatakan sembuh total dan 11 lainnya masih dalam perawatan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.