Sukses

Jerat Diabetes dan Komplikasi pada Lansia Berawal dari Gaya Hidup Semasa Muda

Seiring waktu, diabetes yang menjerat lansia menggerogoti jantung dan ginjal. Penyakit itu dipicu kebiasaan saat muda.

Liputan6.com, Jakarta - “Ayah pertama kali kena diabetes tahun 1998. Diabetesnya dipicu karena stres. Akhirnya, lost control (kehilangan control), banyak minum yang manis-manis. Tahun 2014, diabetes Ayah komplikasi jadi nyerang jantung. Lalu tahun 2018, komplikasi diabetes Ayah lari ke ginjal.”

Terhenyak saat teman saya, Leo, menceritakan kondisi sang ayah tercinta yang mengidap diabetes melitus (DM). Ayah Leo, yang kini berusia 58 tahun termasuk kategori pra-lansia, sudah bertahun-tahun didera diabetes. Bisa dibilang saat berusia 37 tahun, ayah Leo yang kelahiran 1961 sudah diabetes.

Usia yang masih muda bukan alasan seseorang aman dari diabetes atau yang sering kita sebut sebagai penyakit kencing manis. Teringat, saat dokter spesialis penuaan (geriatri) Siti Setiati menyampaikan, diabetes yang diidap lansia sebenarnya bermula dari gaya hidup lansia saat muda dulu.

Gaya hidup yang tidak sehat, seperti pola makan sembarangan, suka konsumsi minuman manis, dan minum alkohol dapat menimbulkan diabetes. Jika seseorang sudah didiagnosis diabetes, maka seterusnya harus mengontrol kadar gula darah. Efek jangka panjang yang mengikuti pun tak bisa dianggap sepele. 

“Sebenarnya mereka kena penyakit tersebut karena lifestyle yang tidak baik saat berusia masih muda. Misalnya, usia 30-an dan 40 tahun sudah kena diabetes dan hipertensi. Nah, pas usia 60 tahun ujung-ujungnya bisa kena serangan jantung juga stroke,” jelas Siti dalam sebuah konferensi pers 'Hari Lanjut Usia' di Kementerian Kesehatan beberapa waktu silam.

Komplikasi jantung dan ginjal akibat diabetes seperti yang dialami ayah Leo, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menurunkan kualitas hidup lansia. Fungsi jantung dan ginjal bisa menurun.

 

“Penyakit jantung di sini, bukan serangan jantung. Tapi kemampuan jantung untuk memompa darah ke tubuh udah melemah. Untuk komplikasi ginjal, (Ayah) bukan gagal ginjal, tapi lebih masuk ke kategori penurunan fungsi ginjal,” tulis Leo saat mengobrol dengan Health Liputan6.com pada Kamis (11/7/2019) melalui pesan singkat.

 

 

Simak Video Menarik Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Serangan Penyakit Degeneratif

Penyakit diabetes melitus (DM) menjadi salah satu penyakit yang paling sering dijumpai pada lanjut usia (lansia). Dalam istilah medis, diabetes disebut penyakit degeneratif menyasar lansia. Penyakit degeneratif sendiri merupakan penyakit yang mengiringi proses penuaan.

Tak ayal, penyakit ini pun bisa terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Di Indonesia, prevalensi lansia yang mengidap diabetes mengalami peningkatan.

 

Berdasarkan data Riset Kesehatan (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan RI, kategori lansia yang diabetes sesuai usia, yakni 6,3 persen (55-64 tahun), 6,0 persen (65-74 tahun), dan 3,3 persen (75 tahun ke atas).

Sementara itu, data Riskesdas 2013 memperlihatkan, prevalensi lansia pengidap diabetes antara lain 4,8 persen (55-64 tahun), 4,2 persen (65-74 tahun),  dan 2,8 persen (75 tahun ke atas). Baik angka Riskesdas 2018 dan 2013 soal diabetes lansia, kategori prevalensi diambil berdasarkan data diagnosis dokter yang dihimpun.

 

Laporan NICE Guideline, Multimorbidity: Clinical Assessment and Management 2016 juga mengkategorikan, diabetes melitus adalah penyakit yang sering dijumpai pada lansia. Siti mengingatkan, diabetes melitus harus menjadi perhatian yang diutamakan.

Ini karena diabetes bisa membuat kualitas hidup lansia semakin berkurang. Pengobatan dan perawatan penyakit saat lansia juga butuh penanganan maksimal. Apalagi jumlah lansia di Indonesia semakin meningkat setiap tahun.

Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013, proyeksi penduduk lansia 2010-2035 terus meningkat. Pada tahun 2010 jumlah lansia mencapai 18 juta jiwa (7,56 persen), kemudian meningkat 25,9 juta jiwa (9,7 persen ). Pada tahun 2019 sebanyak 27,1 juta jiwa (9,99 persen).

Kemudian pada tahun 2035, persentase lansia diprediksi mencapai 15,7 persen atau sekitar 48,2 juta jiwa. Tubuh pun akan mengalami degenerasi dan terkait dengan penyakit-penyakit degeneratif.

3 dari 6 halaman

Tren Diabetes Secara Global

Tren diabetes melitus pada lansia tidak hanya meningkat di Tanah Air. Meski tidak dilaporkan secara rinci, berapa jumlah lansia di dunia yang mengidap diabetes, laporan global keseluruhan dalam kategori semua usia, prevalensi diabetes melitus ikut mengalami peningkatan.

Data International Diabetes Federation tahun 2017 memaparkan, saat ini setiap tujuh detik seseorang diperkirakan meninggal karena diabetes atau komplikasi (50 persen) atau setara 4 juta orang per tahun, yang terjadi di bawah usia 60 tahun. Angka tersebut jelas bertentangan dengan harapan prevalensi diabetes global sebesar 8,8 persen dari populasi dunia pada tahun 2017.

Prevalensi diperkirakan akan terus meningkat menjadi 9,9 persen pada tahun 2045. Jika ditotal, prevalensi itu mencerminkan jumlah populasi 424,9 juta orang yang mengidap diabetes di seluruh dunia pada 2017. Jumlah ini diperkiraan terjadi peningkatan 48 persen menjadi 628,6 juta orang pada tahun 2045.

Pengidap diabetes, menurut laporan WHO, meningkat dari 108 juta pada 1980 menjadi 422 juta pada 2014. Prevalensi global diabetes di antara orang dewasa di atas 18 tahun juga meningkat dari 4,7 persen pada 1980 menjadi 8,5 persen pada 2014.

Diabetes juga menjadi penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan amputasi tungkai bawah, menurut WHO. Hampir setengah dari semua kematian yang disebabkan oleh glukosa darah tinggi terjadi sebelum usia 70 tahun.

 

“Lansia pada umumnya punya penyakit kronis, seperti pengapuran sendi, osteoporosis, kolesterol tinggi, dan penyakit jantung koroner. Seluruh penyakit itu bisa terjadi karena penyakit kencing manis (diabetes) yang tak terkendali. Bisa juga karena darah tinggi yang tak terkendali. Ya, ujung-ujungnya bisa stroke, kena tuberkulosis (TBC), dan demensia,” lanjut Siti, yang berpraktik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.

 

Untuk mempertahankan kualitas hidup pengidap diabetes, serangkaian perawatan dan pengobatan perlu dilakukan. Seperti halnya yang dialami ayah Leo. Bukan hanya kontrol gula darah saja, pengobatan jantung dan ginjal harus dijalani.

“Kalau (pengobatan) jantung, Ayah sempat melakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) pada awalnya—pemeriksaan jantung untuk mengetahui adanya kelainan—tapi ternyata (setelah diperiksa) enggak ada penyumbatan. Hanya kekuatan jantung untuk pompa darahnya melemah,” ujar Leo, yang berprofesi sebagai pekerja media di Jakarta.

4 dari 6 halaman

Obat Oral dan Insulin

Untuk pengobatan ginjal, ayah Leo belum sampai tahap cuci darah. Tingkat kerusakan ginjal itu tidak bisa menurun secara drastis, melainkan perlahan-lahan seiring waktu. Oleh karena itu, penggunaan obat diabetes, baik obat oral dan insulin harus diminum.

 

“Kencing manis itu penyakit yang permanen dan enggak akan bisa sembuh, terlebih lagi sudah tahunan seperti Ayahku. Dari awal kena diabetes sampai sekarang, Ayah cuma minum obat oral (tablet). Sempat dua kali ganti merek obat dan belum nyentuh (menggunakan) insulin sama sekali. Setiap bulannya, Ayah selalu berobat jantung dan ginjal pakai BPJS Kesehatan,” Leo menuturkan.

 

Alasan Ayah Leo tidak menggunakan insulin untuk pengobatan karena takut  ketergantungan insulin. Sulit dan ribet harus bawa membawa dan mengganti jarum suntik. Belum pula ribetnya menyuntik insulin sendiri.

"Makanya, dia maunya pakai obat oral saja. Biar mandiri maksudnya. Hanya saja kalau obat oral ada risiko kena gangguan ginjal karena konsumsinya tahunan,” ujar Leo yang tinggal di Jakarta Timur.

Pengobatan diabetes terdiri atas obat oral dan insulin, menurut laporan Riskesdas 2018. Pertanyaan di benak timbul, orang yang mengidap diabetes biasa menggunakan obat oral atau insulin. Atau kombinasi keduanya.

Erlina, seorang perawat di rumah sakit di Bogor, Jawa Barat pun memberikan penjelasan kepada saya. Bahwa pengobatan diabetes (oral atau insulin) dilihat dari tingginya kadar gula darah. Biasanya dibutuhkan lebih dari satu obat, baik suntikan (insulin) maupun dengan maupun oral,” jelas Erlina saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Jumat (12/7/2019).

“Kalau dikasih obat oral tidak turun-turun, biasanya pasien akan diberikan insulin dengan suntikan. Bila gula darah sudah turun, pakainya (obat) oral. Tentunnya, bisa juga disesuaikan dengan kondisi pasien.”

5 dari 6 halaman

Diet Sehat

Menjaga kadar gula darah agar tetap terkontrol perlu dilakukan lansia. American Diabetes Society menetapkan, batas kadar gula darah normal lansia serupa dengan angka pada umumnya, yaitu kurang dari 100 mg/dl dengan kadar terendah 60-70 mg/dl. Angka ini merupakan kadar gula darah puasa.

Untuk kadar gula darah sewaktu dalam batas normal 80-130 mg/dl sebelum makan dan di bawah 180 mg/dl pada dua jam sesudah puasa. Yang terpenting pengidap diabetes perlu memeriksakan diri secara rutin. Upaya ini sejalan dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang disuarakan Kementerian Kesehatan.

Ayah Leo dianjurkan rutin kontrol juga cek kesehatan berkala setiap satu bulan sekali. Selain itu, pengidap diabetes juga menjaga pola makan. Diet sehat sesuai anjuran dokter juga perlu diterapkan.

“Biasanya pasien diabetes diminta lebih menjaga kadar gula darahnya saja sih. Kalau sudah ada komplikasi harus terfollow up oleh dokter. Kemudian membiasakan diri dengan gaya hidup dan pola makan yang baik,” jelas Erlina yang juga merawat pasien diabetes.

Sejak divonis diabetes, ayah Leo harus menjalani diet ketat dan tidak konsumsi makanan manis. Jumlah asupan karbohidrat dikurangi agar kalori tidak menumpuk. Leo menyampaikan, sang ayah sempat konsultasi kepada ahli gizi di RSUD Bekasi, tapi disarankan diet kalori saja.

 

“Pantangannya itu protein, baik nabati maupun hewani. Contohnya, enggak makan daging-dagingan, susu dan kacang-kacangan. Sekarang Ayah makannya sayuran (sawi) di cah (tumis). Itupun harus direndam dulu sayurnya 30 menit buat hilangkan kadar zat besi dalam sayur,” ujar Leo.

 

Kadar zat besi tinggi yang terkandung pada sayuran dan daging bisa merusak sel penghasil insulin. Saat dimasak cah pun seringkali ada air sayurnya sedikit. Itu pun tidak boleh dimakan, lanjut Leo. Karena air sayurnya juga banyak mengandung zat besi.

Walaupun lansia punya masalah kesehatan seperti diabetes, perawatan harus dilakukan dengan baik. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyampaikan, lansia tetap harus punya kualitas hidup yang baik.

"Tingkatkan kembali fungsinya (tubuh) sehingga memiliki kualitas hidup yang baik. "Kami berharap dapat memastikan setiap anggota keluarga memiliki jaminan kesehatan serta memanfaatkan dengan bijak. Meningkatkan deteksi dini, menciptakan suasana keluarga mendukung kebahagiaan lansia," lanjutnya saat ditemui di Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu.

6 dari 6 halaman

Pendampingan Keluarga

Jeratan diabetes belum berakhir. Setelah komplikasi menyerang jantung dan ginjal, sekarang, komplikasi pun menyasar mata dan telinga. Ayah Leo menjadi agak rabun dan pendengaran berkurang.

Selama menjalani pengobatan dan perawatan, baik di rumah sakit maupun di rumah, pengidap diabetes juga membutuhkan pendampingan keluarga. Dukungan dan pendampingan dari keluarga memengaruhi kesehatan orang dengan diabetes.

Laporan International Diabetes Federation menulis, sekitar 1 dari 4 anggota keluarga punya akses ke program edukasi diabetes. Dukungan keluarga dalam perawatan diabetes telah terbukti memiliki efek besar dalam meningkatkan hasil kesehatan bagi pengidap diabetes.

Ini dapat mempertahankan kualitas hidup pasien diabetes, terutama yang sudah komplikasi. Oleh karena itu, edukasi dan dukungan keluarga dpaat mengurangi dampak emosional, seperti stres karena memikirkan penyakitnya.

 

“Yang terpenting adalah pendampingan oleh keluarga. Masalahnya, lansia itu terkadang kurang sabar dengan kondisinya. Jadi, kita harus bijaksana menyikapi. Jangan sampai mereka semakin depresi. Apalagi kalau sudah kena komplikasi dan banyak keluhan yang enggak nyaman di badannya,” Erlina menekankan.

 

Dalam perbincangan saya dengan Leo, ia juga menyampaikan, permasalahan lain akibat komplikasi diabetes yang mendera sang ayah. Diabetes sudah menyerang penglihatan dan pendengaran.

"Diabetes Ayah sudah impact (berdampak) kena mata dan telinga. Jadi, (Ayah) agak rabun dan pendengaran kurang," tutur Leo. Untuk kebutuhan dan aktivitas sehari-hari pun perlu dibantu.

Adanya pendampingan dari keluarga juga membantu untuk memantau pola makan lansia. Pasien diabetes biasanya suka curi-curi makan, seperti konsumsi makanan manis. Jika dibiarkan, maka kadar gula darah bisa naik.

“Terkadang gula darah suka bandel ya (naik). Pasien-pasien dengan DM suka nyuri-nyuri makan. Makanya, harus ada pengawasan. Kalau bisa punya alat cek gula darah sendiri di rumah untuk monitoring harian,” jelas Erlina. “Ketahuan kok gula darahnya naik. Biasanya pas ngecek darah.”

Selain itu, pengidap diabetes perlu mewaspadai adanya luka. Misal, luka di kaki dengan kadar gula darah tinggi biasanya luka akan lebih lama sembuh. Ini karena imunitas pengidap diabetes sudah berkurang.

Di sisi lain, untuk mencegah komplikasi diabetes pada lansia, rajin melakukan aktivitas fisik sebanyak lima hari per minggu (30 menit setiap melakukan aktivitas fisik), dan jaga porsi makan secukupnya. British Nutrition Foundation menulis, hindari makanan berlemak dan minuman manis; serta konsumsi buah dan sayur bisa juga bisa dilakukan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.