Sukses

Kasus Buah Leci Beracun Ungkap Kemiskinan dan Buruknya Layanan Kesehatan

Meninggalnya lebih dari 100 anak akibat konsumsi buah leci beracun mengungkap buruknya layanan kesehatan, serta kemiskinan yang dialami warga di sebuah wilayah negara tersebut

Liputan6.com, Jakarta Wabah radang otak merenggut nyawa lebih dari 100 anak di India. Buah leci yang dikonsumsi, serta gelombang panas para korban dianggap menjadi penyebab mereka meninggal.

Meski begitu, ada pandangan lain terkait penyebab sesungguhnya dari kejadian. Mereka adalah kemiskinan dan pemerintahan yang buruk.

Melansir Medical Xpress pada Minggu (23/6/2019), di Hichara, negara bagian Bihar, India, tempat penyakit tersebut mewabah, belum ada toilet, air mengalir, hingga gas untuk memasak bagi masyarakatnya.

Anak-anak di sana bermain dengan setengah telanjang, di bawah suhu yang mencapai 45 derajat Celsius. Tidak ada ada pendingin atau kipas di tempat itu.

"Kami bahkan tidak punya air bersih untuk diminum. Kami mengambilnya dari keran di desa terdekat. Bagaimana kami bisa membeli makanan sehat?" kata Shakeela Khatoon (36), seorang ibu dari tiga anak yang hidup di sana pada AFP.

Khatoon menambahkan, pemerintah dirasa tidak peduli dengan warga di sana. Mereka hanya datang saat pemilihan umum untuk meminta suara.

"Setelah itu kami dilupakan," katanya.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Leci Beracun yang Menggoda Anak-anak Tidak Mampu

Di wilayah miskin itu, buah leci liar tumbuh di musim panas. Tepat ketika angka penyakit ini meningkat setiap tahunnya.

Buah-buahan itu membuat banyak anak yang kelaparan tergoda. Masalahnya, leci mentah itu mengandung racun.

"Jika dimakan oleh anak-anak yang kekurangan gizi, itu akan menyebabkan penurunan glukosa secara tiba-tiba yang mempengaruhi otak," kata Arun Shah, seorang dokter anak yang juga meneliti kasus tersebut.

Meski begitu, para ahli mengatakan bahwa penyakit ini sebenarnya masih bisa dihindari dengan akses kesehatan yang lebih baik. Namun, layanan kesehatan di negara tersebut masih terbilang buruk.

Global Hunger Index 2018 menyatakan bahwa India hanya menghabiskan sekitar satu persen dari pendapatan nasionalnya untuk layanan kesehatan. Ini adalah salah satu yang terendah di dunia.

"Anak-anak yang kaya juga mengonsumsi leci, tetapi mengapa mereka tidak meninggal?" kata Shah.

3 dari 3 halaman

Buruknya Layanan Kesehatan

Di Hichara, beberapa layanan ambulans dikenakan biaya yang cukup tinggi bagi warga setempat yaitu 500 hingga 1.000 rupee (sekitar 100 hingga 200 ribu rupiah).

Belum lagi, di Sri Khrisna Medical College and Hospital, tempat sebagian besar korban meninggal, pemadaman listrik kerap terjadi. Termasuk di unit perawatan intensif.

Pasien juga berbagi tempat tidur atau hanya di lantai. Tidak ada pendingin ruangan, sampah di buang di halaman belakang, dindingnya penuh dengan ludah, serta banyak seprai yang bernoda darah atau urin.

Kebanyakan orangtua korban juga buta huruf. Mereka tidak memiliki edukasi tentang diet seimbang dan hidup bersih.

"Petugas kesehatan datang kemarin dan membagikan beberapa paket dan pamflet. Tapi kami tidak bisa membaca sehingga kami tidak tahu apa yang ditulis. Yang kami tahu adalah, kami tidak boleh membiarkan anak-anak makan leci," kata Munni Khatoon (40), seorang ibu dari enam anak di Hichara.

Dia mengungkapkan, dalam satu malam, dirinya bisa terbangun beberapa kali untuk memastikan anak-anaknya baik-baik saja.

Times of India melaporkan, survei Kementerian Kesehatan setempat menyatakan tidak ada satu pun dari 103 pusat kesehatan primer di distrik Muzaffarpur, pusat wabah tersebut terjadi, yang layak untuk dievaluasi.

Hindustan Times mengabarkan, 1.350 anak meninggal akibat sindrom ensefalitis akut dalam satu dekade terakhir, termasuk 355 korban di 2014.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.