Sukses

WHO: Transgender Bukan Lagi Gangguan Mental

Dalam panduan penyakit yang akan berlaku pada 2022, WHO menyatakan bahwa transgender tidak termasuk dalam gangguan mental

Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) tidak lagi mengkategorikan transgender sebagai salah satu bentuk gangguan mental.

Pembaruan ini telah disetujui pada 25 Mei lalu. Karena itu, transgender tidak lagi masuk dalam 'gangguan mental' di International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-11), sebuah manual yang digunakan secara global untuk mendiagnosis penyakit.

Melansir The Independent pada Selasa (11/6/2019), keputusan tersebut sesungguhnya sudah diumumkan oleh WHO pada Juni tahun lalu. Namun, pemungutan suara yang diadakan oleh World Health Assembly baru dilakukan baru-baru ini.

Nantinya, dalam ICD-11 yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2022, 'gangguan identitas gender' akan diganti dengan 'ketidaksesuaian gender' dan tercantum di bawah bab mengenai 'kesehatan seksual,' bukan gangguan mental.

 

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tingkatkan Penerimaan dan Beri Akses Kesehatan

Keputusan tersebut mendapatkan apresiasi dari beberapa aktivis hak asasi manusia dan LGBT.

"Keputusan WHO menghapus 'gangguan identitas gender' dari manual diagnostiknya akan memiliki efek membebaskan pada orang-orang transgender di seluruh dunia," kata Graeme Reid, direktur hak LGBT+ di Human Rights Watch.

Mengutip Webmd, istilah ketidaksesuaian gender digunakan oleh WHO untuk menggambarkan orang-orang yang identitas gendernya berbeda dari gender yang melekat padanya saat lahir.

WHO menyatakan, klasifikasi baru ini diharapkan bisa meningkatkan penerimaan sosial, serta memberikan akses bagi para transgender ke sumber daya kesehatan yang penting.

"Ini dikeluarkan dari gangguan kesehatan mental karena kami memiliki pemahaman yang lebih baik bahwa ini sebenarnya bukan kondisi kesehatan mental dan mengaitkannya di sana menyebabkan stigma," kata Dr. Lale Say, koordinator WHO di bidang remaja dan kelompok berisiko dalam populasi.

"Jadi, untuk mengurangi stigma, serta memastikan akses ke intervensi kesehatan yang diperlukan, ini ditempatkan dalam bab yang berbeda," kata Say menjelaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.