Sukses

Sering Terlupakan, 2 Tokoh Ini Pernah Jadi Presiden Indonesia

Kedua tokoh yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ini namanya memang tidak seterkenal tujuh presiden RI lainnya

Liputan6.com, Jakarta Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Indonesia telah usai. Masyarakat saat ini masih menunggu hasil perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengetahui siapa presiden yang akan duduk dan memimpin lima tahun mendatang.

Dalam beberapa lembaga hitung cepat, petahana Joko Widodo (Jokowi) banyak diunggulkan. Apabila perhitungan tersebut terbukti, hingga 2024, jumlah presiden di Indonesia masih tujuh orang.

Tidak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya, Indonesia memiliki dua Presiden yang terlupakan. Nama mereka terpinggirkan oleh presiden-presiden yang secara resmi memimpin Republik Indonesia. Keduanya adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat Datuk Mudo atau Mr. Assaat.

Dikutip Liputan6.com dari Antara pada Kamis (18/4/2019), Prof. Dr. Muchlis Muchtar di 2009 pernah mengatakan bahwa kedua tokoh asal Sumatera Barat itu pernah menjadi presiden Indonesia di masa revolusi fisik. Entah apa alasannya, kemungkinan terlewatkannya dua tokoh ini dikarenakan karena alpa namun juga bisa karena disengaja.

Agar tidak terlupakan dan terus dikenang, berikut ini dua profil singkat kedua tokoh tersebut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sjafruddin Prawiranegara, Menjadi Presiden Sembari Dikejar Belanda

Sjafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden sekaligus menteri pertahanan, penerangan, dan luar negeri ad interim di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949.

Mengutip News Liputan6.com, Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota RI diserang Belanda pada 19 Desember 1948. Satu jam kemudian, mereka juga menggempur Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Presiden Soekarno segera memberikan mandat kepada Sjafruddin yang berada di Sumbar untuk membentuk pemerintahan darurat. Saat itu, dia masih menjabat sebagai Menteri Kemakmuran.

Tidak lama setelah sidang kabinet di Yogyakarta, Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta ditawan Belanda dan dibuang ke pulau Bangka. Bersama dengan Gubernur Sumatera saat itu Mr. T.M. Hasan, Sjafrudin sepakat untuk membentuk PDRI dan di diresmikan pada 22 Desember 1948.

Dia dibantu oleh anggota kabinet, di antaranya Teuku Mohammad Hassan sebagai Wakil Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Sutan Mohammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda, Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, dan Ir. Indracaya sebagai Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Sementara Jenderal Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang.

Dalam kondisi yang masih kacau, Sjafruddin dan sebagian besar anggota kabinet hidup berpindah-pindah untuk menghindari kejaran pasukan Belanda. Mereka bahkan sempat bermalam di hutan untuk bersembunyi.

Pada pertengahan 1949, agresi yang terus menerus dilakukan Belanda mendapat kecaman internasional. Pihak Belanda akhirnya melakukan perundingan dengan Soekarno dan Hatta yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen.

Setelah itu, Sjafruddin mengembalikan pemerintahan kembali pada Ir. Soekarno pada 13 Juli 1949. Meski begitu, dia masih menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI di 1949 dan Menteri Keuangan hingga tahun 1950.

Salah satu kebijakan tokoh kelahiran 23 Februari 1911 saat itu adalah pengguntingan uang bernilai 5 rupiah ke atas agar nilainya menjadi separuh. Kebijakan kontroversial tersebut dikenal sampai sekarang dengan julukan Gunting Sjafruddin.

Dia meninggal pada 15 Februari 1989.

 

3 dari 3 halaman

Mr. Assaat, Presiden yang Tidak Mau Disebut Paduka Yang Mulia

Mr. Assaat lahir pada 18 September 1904. Jabatannya sebagai Presiden terbilang cukup singkat yaitu dari 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.

Kala itu, perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 mengamanatkan pemerintah Belanda untuk menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Dalam sistem pemerintahan RIS, negara ini terdiri dari 16 negara bagian dan salah satunya adalah Republik Indonesia (RI) yang saat itu dipimpin oleh pemangku jabatan presiden sementara, Mr. Assaat. Soekarno dan Hatta sendiri ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS.

Dikutip dari berbagai sumber, Mr. Assaat saat itu berkantor di Yogyakarta. Selama menjadi seorang presiden, dia dikenal sebagai seorang pria yang rendah hati dan tidak mau dipanggil dengan sebutan "Paduka yang Mulia."

Muchlis mengatakan bahwa peran yang diemban Assaat adalah penting. Karena apabila RI tidak memiliki pemimpin, RI berarti dianggap 'hilang' dalam sejarah bangsa Indonesia.

Jabatannya berakhir ketika dunia kembali mengakui kedaulatan RI dan akhirnya RIS dilebur kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 15 Agustus 1950.

Mr. Assaat diketahui pernah menjadi anggota parlemen DPR-RI. Selain itu dikutip dari Brilio, di masa orde lama, dia pernah ditahan selama 4 tahun karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Beliau meninggal di Jakarta pada 16 Juni 1976.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini