Sukses

Justice for Audrey, Korban dan Pelaku Kekerasan Harus Dapat Pemulihan Psikologis

KPAI menyatakan bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak saat ini memiliki semangat pemulihan, bukan menekankan pada hukuman semata

Liputan6.com, Jakarta Penyelesaian kasus Justice for Audrey tidak hanya terfokus bagaimana menghukum pihak-pihak yang melakukan kekerasan, tetapi juga pemulihan mental baik korban serta pelaku itu sendiri.

Sitti Hikmawatty, Komisioner Bidang Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan bahwa sistem peradilan pada anak yang ada saat ini lebih mengarah pada pemulihan. Dia menyatakan ada tiga klasifikasi anak yang berkonflik dengan hukum yaitu sebagai korban, pelaku, dan saksi.

"Ketiganya sudah diatur secara komprehensif di dalam sistem peradilan pada anak tentang apa yang harus ditangani. Termasuk penahanan, pola pengambilan keputusan hakim dan seterusnya," kata Sitti di Jakarta pada Rabu (10/4/2019).

Psikolog sosial Ratna Djuwita juga mengatakan hal yang senada. Menurutnya, pemulihan dibutuhkan untuk korban dan pelaku.

"Keduanya harus menjalani proses konseling psikologis secara serius, secara profesional dan benar-benar ditangani dengan baik," kata psikolog Universitas Indonesia ini saat dihubungi secara terpisah oleh Health Liputan6.com.

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pemulihan Bagi Pelaku dan Korban

Ratna mengatakan, pelaku harus sadar bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan yang membahayakan jiwa. Sementara bagi korban, dia harus dipulihkan dari trauma yang dialaminya agar tidak memperburuk kehidupannya di masa mendatang.

"Dia harus dipulihkan, diajarkan juga untuk memaafkan orang lain. Jangan sampai dia trauma untuk bergaul dengan orang lain, dengan laki-laki, atau takut membuka media sosial."

Selain itu, Sitti juga mengatakan bahwa dengan adanya sistem ini, sebuah kasus pidana anak haruslah menjadi atensi atau prioritas. Sehingga, ada atau tidaknya dukungan dari publik, kejadian ini harus diprioritaskan.

"Sehingga dalam sistem peradilan pada anak ada batas waktu yang sangat pendek supaya kasus ini segera diselesaikan," ujar Sitti. KPAI juga meminta agar dengan kondisi kejadian yang sudah viral, tidak ada lagi korban kedua.

"Jadi semangat dari sistem peradilan pidana pada anak adalah semangat pemulihan, untuk memperbaiki," tegasnya.

KPAI sendiri mengakui pihaknya sudah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk mengawasi jalannya kasus ini. "Dalam hal ini kami akan melihat bahwa semua akan mendapat perlakuan hukum yang sama."

3 dari 3 halaman

KPAI Minta Penyelesaian Mengacu Pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketua KPAI Susanto mengatakan bahwa mereka menyerahkan masalah ini pada pihak kepolisian. Khususnya, pihak-pihak terlibat baik korban maupun pelaku masih di usia anak-anak.

"Karena pelakunya masih usia anak, negara sudah memberikan acuan yaitu Undang-Undang Sistem Peradilan Anak nomor 11 tahun 2012. Itulah yang harus menjadi acuan penanganan kasus ini," kata Susanto.

Susanto juga meminta agar masyarakat memberi waktu kepada pihak kepolisian yang sedang mengungkap lebih dalam mengenai kejadian ini. KPAI juga menyerahkan wewenang untuk memantau dan mengawasi proses hukum kasus ini kepada Komisi Perlindungan Anak Daerah di Kalimantan Barat.

Selain itu, untuk kasus ini, Susanto juga tidak bisa menyatakan apa yang menjadi penyebab pengeroyokan terjadi. Menurutnya, setiap kasus memiliki faktor pemicu yang bermacam-macam dan tidak bisa digeneralisir.

"Apa pun dan bagaimana pun, tindak kekerasan tidak diperbolehkan. Siapa pun pelakunya baik itu anak atau orang dewasa."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.