Sukses

Percaya Enggak, Tak Ada Orang yang Pemalas?

Kalau melihat orang yang tak menyelesaikan pekerjaannya atau menunda-nunda pekerjaan, kita sering mencap orang itu pemalas.

Liputan6.com, Jakarta Kalau melihat orang yang tak menyelesaikan pekerjaannya atau menunda-nunda pekerjaan, kita sering mencap orang itu pemalas. Tapi, menurut beberapa psikolog, individu pemalas itu tak ada.

Seorang terapis Amerika bernama Leon F. Seltzer, Ph.D., termasuk satu di antara orang-orang di bidang kesehatan mental yang memegang teori ini. Ia melihat orang malas itu hanyalah mitos.

"Saya percaya seluruh ide tentang siapa pun secara inheren malas - atau memiliki 'kepribadian malas' - pada dasarnya adalah mitos," tulisnya untuk Psychology Today pada 2008, seperti dikutip laman mamamia.

Seltzer mengatakan, ketika kita menyebut orang itu malas, kita telah menghilangkan sesuatu tentang mereka dengan hanya melihat perilaku seorang dari luarnya saja. Melabeli orang 'malas' terjadi ketika kita tidak memahami orang tersebut lebih dalam lagi.

Lantas kalau bukan malas, namanya apa? Devon Price, Ph.D., seorang psikolog sosial, penulis dan profesor psikologi (yang juga menganut teori kemalasan itu mitos), menunjuk pada penundaan yakni sesuatu yang umumnya dikaitkan dengan 'kemalasan'.

"Orang suka menyalahkan perilaku mereka yang menunda-nunda. Menunda pekerjaan pasti terlihat malas, dengan mata yang tidak terlatih," tulisnya melalui Medium.

Padahal, kata Price, ketika seseorang gagal memulai pekerjaan yang mereka pedulikan, biasanya bisa disebabkan karena kecemasan usahanya tak cukup baik atau kebingungan langkah-langkah pertama dari tugas itu. Itu bukan kemalasan. 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Seperti penyakit mental

Selzter dan Price berpendapat, terutama pada orang dewasa, perilaku yang mungkin terlihat malas seringkali berasal dari kurangnya self-efficacy (kepercayaan pada kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas).

Ke dalamnya, kata keduanya, perilaku itu seperti penyakit mental (misalnya, tidak adanya motivasi yang sering disertai dengan depresi), kurangnya dukungan emosional dan praktis, ketidakmampuan untuk menemukan makna/tujuan dalam suatu tugas, ketakutan akan kegagalan, dan sebagainya.

Untuk itu Price mendorong orang untuk mendekati orang yang 'malas' dengan rasa ingin tahu dan, yang paling penting empati. "Orang tidak memilih untuk gagal atau mengecewakan. Tidak ada yang ingin merasa tidak mampu, apatis, atau tidak efektif,” tulisnya.

"Jika Anda melihat tindakan seseorang (atau tidak bertindak) dan hanya melihat kemalasan, Anda kehilangan kunci detailnya," tulis Price.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.