Sukses

Berat Badan Turun hingga Depresi, Tantangan Ully saat Berobat Tuberkulosis

Di Hari TB Sedunia yang jatuh setiap 24 Maret, berikut kisah perjuangan pantang menyerah Ully sembuh dari tuberkulosis.

Liputan6.com, Jakarta Ully Ulwiyah sudah terkena tuberkulosis sejak 10 tahun. Di usia dini, dia bahkan sudah mengalami batuk darah akibat TB. Hal ini diperparah dengan kondisi tersebut yang tidak diobati dengan benar.

Ully mengatakan, saat itu dia hanya sempat melakukan rontgen tanpa diberikan obat. Hanya rebusan herbal buatan sang ibu yang dia konsumsi. Hingga di usia 12 tahun, sang ibu membawa Ully ke tenaga medis.

"Itulah pertama kalinya saya dikenalkan dengan obat TB. Saya waktu itu juga tidak tahu itu obat TB (karena masih kecil), hanya waktu itu datang ke rumah obat puyer, warnanya merah serbuk, dalam satu kemasan isi 30 untuk tiga bulan dan kalau pipis merah," kata Ully menceritakan kisahnya jelang Hari TB Sedunia yang jatuh setiap 24 Maret 2019 di Gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta beberapa waktu lalu, ditulis Jumat (22/3/2019).

Setelah empat bulan, Ully mengonsumsinya tanpa dipantau. Hal ini membuatnya mengabaikan pengobatannya. Dia mengaku, sang ibu terkadang bertanya apakah dirinya sudah minum obat.

"Saya bilang sudah, padahal obat saya buang. Karena dalam empat bulan itu sudah mulai jenuh. Kadang-kadang lupa karena main. Dari situ awalnya mungkin kena tuberkulosisnya bisa jadi MDR (multidrug-resistant)," kata ibu dari tiga anak ini.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sembuh, Kambuh Lagi

Mulai Sekolah Menengah Pertama, gejala TB-nya mulai kambuh. Hal ini berlangsung hingga dirinya menikah. Di tahun 2006, Ully sudah mulai melakukan pengobatan suntik.

"Dinyatakan sembuh sama dokter, 2007 kambuh lagi. Sembuh lagi, kambuh lagi," kata Ully.

Ully sendiri menceritakan bahwa dia tidak tahu darimana dirinya tertular TB. Namun, dia mengatakan sang ibu sempat terkena tuberkulosis jauh sebelum dia dikandung.

"Itupun ibu saya berobat enam bulan dan sembuh sampai saya dilahirkan dan besar, tidak pernah kambuh. Beliau meninggal karena penyakit lain. Jadi mungkin kalau dari ibu saya tidak bisa bilang. Mungkin saja dari keluarga yang lain tapi tidak tahu karena dia baik-baik saja, tapi ya tidak tahu juga," kata Ully pada Health Liputan6.com.

Karena kurangnya pengetahuan sejak dini juga menyebabkan anak-anak Ully tertular penyakit ini. Dia baru mulai mempelajari tentang tuberkulosis ketika dirinya didiagnosis terkena TB-MDR.

 

3 dari 4 halaman

Dari 55 Jadi 47 Kilogram

Gara-gara TB-MDR juga, dia mengalami penurunan berat badan secara drastis. Dalam dua minggu berat badan ibu rumah tangga ini turun dari 55 menjadi 47 kilogram. Kondisi yang mengharuskan dirinya pergi ke rumah sakit, perawatan, konsumsi obat, dan yang lain-lain juga berdampak pada ekonomi secara keseluruhan.

"Meskipun obatnya gratis kan tetap ada (pengaruhnya), ongkos misalnya. Harusnya kita bisa menyisihkan untuk yang lain tapi jadi harus ke luar ongkos setiap hari. Ke rumah sakit juga obatnya tidak boleh dibawa pulang. Bahkan obat TB-MDR juga tidak bisa diminum dengan air, karena efeknya tuh membuat trauma. Misalnya dengan botol air minum, baunya membuat trauma, akhirnya kita beli air kemasan lain, butuh biaya lagi," kata Ully. Belum lagi camilan untuk membantunya ketika mengonsumsi obat.

Hal ini terjadi selama pengobatannya. Setiap harinya dia mengonsumsi 18 obat dalam sekali minum selama 15 menit. Kemudian, setengah jam berikutnya dia harus melakukan suntik selama 23 bulan.

Kondisi ini membuatnya sempat terkena depresi. Salah satu pemicunya adalah obat yang dia konsumsi sehari-hari.

"Depresi, saya jadi takut bertemu anak saya. Waktu saya kena TB-MDR, anak saya yang nomor tiga baru umur 4 bulan. Kalau dia mendekat dengan baby walker, saya tepis," katanya. Selain itu, dia juga terpaksa tidak memberikan ASI pada anaknya karena saking kurusnya. Bahkan, ada titik di mana berat badannya hanya 35 kilogram karena nafsu makannya benar-benar hilang.

"Karena saya mulai tahu bahwa penularannya sangat mudah."

 

4 dari 4 halaman

Depresi dan Siap Dibuang Keluarga

Ully saat itu mengatakan kepada keluarganya bahwa dia sudah tidak sanggup menerima pengobatan TB. Apalagi, dia sudah menerimanya sejak kecil.

"Waktu itu saya bilang ke keluarga, saya sudah tidak sanggup. Kalau memang saya dikhawatirkan menularkan buang saja tidak apa-apa. Ditempatkan di manapun tidak apa-apa, sendiri tidak apa-apa. Sehari itu saya tidur cuma 10 menit karena obat MDR. Terkadang itu saya dengar suara yang memanggil-manggil, melihat sesuatu," kata Ully. Rutinitas inilah yang membuatnya depresi bahkan ketakuran melihat kamar mandi.

Setelah itu, dia dibawa ke dokter kejiwaan. Di situ, Ully mendapatkan obat penenang serta mengurangi beberapa obat TB-MDR-nya. Setelah itu, kondisinya lebih baik. Dia sudah bisa tidur selama dua jam dengan nyenyak.

Setelah serangkaian tantangan yang dia alami, pada 2013, Ully dinyatakan bebas dari penyakitnya tersebut. Saat ini, anak-anaknya juga sudah sembuh karena pengobatannya yang teratur. Semua pengalaman yang dia alami membuatnya banyak memberikan kegiatan pendampingan dan tergabung dalam Pejuang Tangguh TB RO.

"Jadi kalau masih ada yang menganggap TB itu penyakit menakutkan karena menular, saya akan berada paling depan," kata Ully menegaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.