Sukses

Catat, Kondisi Kerja yang Timbulkan Stres Berat

Ada kondisi lingkungan kerja yang menimbulkan stres berat bagi para pekerja.

Liputan6.com, Jakarta Tak sedikit pekerja yang menghadapi kondisi kerja yang menimbulkan stres berat. Kondisi tersebut diantaranya kurang waktu istirahat, pekerjaan yang semakin kompleks, dan ketidakjelasan karier di masa depan.

Temuan kondisi kerja yang paling banyak menimbulkan stres berat bagi pekerja tersebut didapat dari hasil Survei Faktor Psikologi Kerja. Survei ini dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

Hasil survei stres pada pekerja dipaparkan dalam diskusi Kerja Waras untuk Pekerja Lepas yang pada Sabtu, 9 Februari 2019 untuk memeringati bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Praktisi Kesehatan Mental, Jiemi Ardian mengakui, kondisi kerja yang tidak sehat bisa menjadi pemicu stres. Hal itu meningkatkan ambang stres pekerja.

"Puncaknya adalah mental breakdown, depresi, gangguan kesehatan mental. Untuk mengenalinya (mental breakdown) cukup dengan melihat, apakah ada gangguan tidur," ujar Jiemi dalam rilis, ditulis Selasa, 12 Februari 2019.

Mental breakdown adalah istilah yang menggambarkan stres emosional atau fisik sementara yang membuat seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Gejala mental breakdown, salah satunya dapat dilihat dari pola tidur.

"Kondisi itu bisa dilihat dari jadwal tidur yang tidak teratur, baik tidur terlalu banyak atau tidak cukup," kata Praktisi Kesehatan Jiwa Timothy Legg, dilansir dari Medical News Today.

Oleh karena itu, perusahaan atau pemberi kerja perlu mewujudkan tempat kerja yang sehat untuk mental para pekerja. Stres pun bisa dikontrol.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Risiko kerja yang pengaruhi kesehatan mental

Peneliti dan Divisi Riset & Edukasi SINDIKASI Fathimah Fildzah Izzati mengungkapkan, survei kondisi pekerja ini menggunakan enam standar faktor psikologi yang terdapat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang K3, yakni ketaksaan (ambiguitas) peran, konflik peran, beban berlebih kuantitatif, beban berlebih kualitatif, pengembangan karir, dan tanggung jawab terhadap orang lain.

Namun, standar tersebut dinilainya belum mencakup risiko kerja yang memengaruhi kesehatan mental, terutama pekerja di industri media dan kreatif.

Risiko yang dimaksud berupa kelelahan karena terlalu banyak lembur dan kekerasan seksual di tempat kerja. Risiko lainnya di luar tempat kerja, seperti kemacetan.

"Pekerja juga harus menghadapi victim blaming, kalau mengeluh banyak kerjaan dianggap banyak mengeluh, tidak siap kerja, tidak siap dengan risiko pekerjaan. Jadi, mereka memilih tidak melaporkan karena takut disalahkan atau takut kehilangan pekerjaan," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.