Sukses

Satu dari Tujuh Orang Sakit Tak Perlu Antibiotik

Selama bertahun-tahun, bahaya resistensi antibiotik terus dikampanyekan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Liputan6.com, Jakarta Selama bertahun-tahun, bahaya resistensi antibiotik terus dikampanyekan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tapi antibiotik bahkan masih banyak diberikan pada hampir 25 persen orang yang tidak memerlukannya di Amerika.

Hal ini berdasarkan pada studi baru yang diterbitkan di BMJ. Penulis utama studi, Dr. Kao-Ping Chua, PhD, mengatakan, studi ini menunjukkan belum adanya kemajuan akan pemberian antibiotik.

"Satu dari tujuh peserta dalam penelitian kami menerima antibiotik yang tidak sesuai, dan itu tidak sesuai berdasarkan diagnosis yang terkait," katanya, seperti dilansir Healthline.

Dalam studi ini, Chua dan timnya menyaring data lebih dari 15 juta resep antibiotik dari asuransi dan data klaim 19 juta orang Amerika yang diasuransikan secara pribadi.

Dengan menggunakan kode Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD) (kode tagihan medis yang digunakan untuk menggambarkan penyakit), penulis mengembangkan sistem klasifikasi kapan antibiotik harus diresepkan dengan tepat.

Peneliti lalu mengklasifikasikan sistem tiga tingkat yakni "selalu" (jika kondisinya selalu membutuhkan antibiotik), "kadang-kadang", dan "tidak pernah" (ketika indikasi hampir tidak pernah membutuhkan antibiotik). ).

Misalnya, pneumonia dan radang tenggorokan (faringitis streptokokus) hampir selalu memerlukan antibiotik, sedangkan pneumonia virus dan rinitis kronis jarang dilakukan.

Masalahnya tampaknya lebih banyak diagnosis dalam kategori "kadang-kadang" yang mengarah pada antibiotik sebenarnya tak perlu diberikan.

"Melihat hasil ini, kita hanya bisa yakin bahwa 13 persen dari resep antibiotik memang diperlukan. Tapi 87 persen lainnya mungkin tidak tepat," katanya, melansir Healthline, Jumat (25/1/2019).

Meski penelitian ini bukan yang pertama mencatat pemberian antibiotik yang berlebihan merupakan masalah utama dalam sistem perawatan kesehatan. Namun Chua memperingatkan akan kekhawatiran penggunaan antibiotik.

Sebelumnya, Pusat Pencegahan Penyakit di Amerika (CDC) pada 2016 menemukan bahwa satu dari tiga resep antibiotik tidak diperlukan. 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kemungkinan Resistensi Lebih Tinggi

Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Lenox Hill di New York City Len Horovitz pun menanggapi studi Chua. Menurutnya, kemungkinan resistensi antibiotik bisa lebih tinggi dari penelitiannya.

"Perjuangan resep antibiotik berlangsung setiap hari di kantor dokter, rumah sakit, dan ruang gawat darurat," kata Horovitz. Menurutnya, banyak orang yang datang ke rumah sakit hanya untuk meminta antibiotik. Jika tidak, mereka tidak akan puas.

"Masyarakat perlu diyakinkan bahwa itu tidak perlu dan justru bisa mengancam jiwanya," lanjut Horovitz.

Horovitz menambahkan, antibiotik sering dipandang sebagai "peluru ajaib," bahkan dalam kasus infeksi virus di mana antibiotik tidak akan berpengaruh.

“Orang-orang pada akhirnya mendapatkan hal-hal yang tidak mereka butuhkan karena mereka ingin mendapatkan sesuatu selain nasihat yang tepat,” katanya.

Resistensi antibiotik merupakan penggunaan antibiotik secara berlebihan sehingga bakteri menjadi resisten atau kebal terhadap antibiotik lainnya. WHO melaporkan, hal ini merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, keamanan pangan, dan perkembangan dunia saat ini."

Contoh-contoh bakteri super tahan antibiotik termasuk pneumonia, tuberkulosis, gonore, dan salmonellosis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.