Sukses

Benarkah Orang dengan Gangguan Jiwa Berbahaya?

Orang dengan gangguan jiwa kerap dianggap berbahaya. Namun, apakah sebenarnya seperti itu? Berikut sudut pandang psikologi memaparkannya.

Liputan6.com, Jakarta Pada 2018, ada lima penyerangan terhadap pemuka agama dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Namun, bukan berarti hal ini menyimpulkan bahwa ODGJ itu berbahaya.

Hubungan antara gangguan mental dan perilaku yang mengarah pada kekerasan menjadi sebuah keyakinan yang beredar di masyarakat. Orang dengan masalah mental seringkali dianggap bahwa mereka akan melakukan tindak kekerasan yang dapat mencelakakan orang lain bahkan mengarah pada tindak pidana.

Sebut saja kasus pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka berinisial R di kota Jombang. Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi, diketahui bahwa tersangka adalah individu yang cerdas dan memiliki perilaku yang dianggap baik oleh tetangga sekitar. Kecerdasan diatas rata-rata yang disertai oleh pribadi karismatik namun dapat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma sosial kerap dikaitkan dengan kepribadian antisosial. Hal ini makin menguatkan stigma bahwa orang yang memiliki gangguan mental cenderung melakukan tindakan kriminal.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Jumlah kasus tidak signifikan

Tak jarang kita temukan berita mengenai tindakan berbahaya yang dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan mental. Seperti mencelakakan diri sendiri atau melakukan tindak kekerasan yang mengganggu keselamatan orang lain.

Namun, sebenarnya tindakan berbahaya yang dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan mental bukanlah kasus yang umum.

Dari sebuah penelitian di Australia, diketahui bahwa hanya 1 dari 6 orang dengan gangguan mental akan melakukan tindak kekerasan yang menyebabkan orang lain terluka. Selain itu, hanya 1 dari 100 orang  dengan gangguan mental akan melakukan tindakan kekerasan yang menyebabkan luka yang fatal.

Hal ini berbeda jauh dengan jumlah kasus kejahatan umum yang terjadi, yaitu sebanyak 293 kasus penyerangan.

3 dari 5 halaman

Bertindak bahaya tapi tidak berniat mencelakakan

Banyak pemberitaan mengenai penembakan masal atau penyerangan yang dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan mental menimbulkan kekhawatiran mengenai keberadaan mereka di masyarakat. Namun, dari sebuah penelitian diketahui bahwa perilaku berbahaya yang dilakukan oleh orang dengan gangguan mental hanya terjadi pada awal ketika tanda psikosis mereka mulai tampak.

Beberapa orang dengan skizofrenia memang memiliki gejala seperti mudah curiga kepada orang lain, memiliki kepercayaan bahwa orang yang berbeda dengan mereka harus musnah atau memiliki kesenangan terhadap hal-hal berbahaya. Namun, perilaku membahayakan diri dan orang lain ini kebanyakan dilakukan untuk melindungi diri mereka sendiri.

Kepercayaan bahwa mereka tengah diburu oleh orang lain membuat mereka selalu waspada dengan membawa senjata tajam.

Memang tidak selamanya orang yang membawa senjata tajam berniat melakukan tindak kriminal. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah memahami keadaan kesehatan mental dari orang yang membawa senjata tajam tersebut.

Terlebih lagi, kasus penembakan masal di atas banyak terjadi di Amerika, negara yang melegalkan senjata api untuk perlindungan pribadi. Kondisi itu tidak bisa disamakan dengan situasi di Indonesia, karena senjata tajam terlebih senjata api merupakan hal yang dilarang.

4 dari 5 halaman

Lebih berbahaya bila membiarkan ODGJ tidak mendapatkan perawatan dari ahli

Hal yang perlu diperhatikan saat mengetahui tindak kejahatan oleh orang dengan gangguan mental adalah mencari tahu berapa lama orang tersebut telah mengalami gangguan mental. Termasuk berapa lama ia telah menjalani perawatan dari tenaga ahli. Bahkan bisa saja ia belum mendapat perawatan sama sekali karena satu atau beberapa hal.

Gangguan mental memang berisiko membahayakan orang lain bila orang yang mengalami gangguan mental sama sekali tidak menjalani perawatan dari tenaga ahli. Seseorang yang memiliki delusi misalnya, memiliki pemikiran bahwa orang lain akan mencelakakan dirinya sehingga ia ingin menyerang orang-orang di sekitarnya.

Seorang yang memiliki gangguan kepribadian sosiopat akan cenderung untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, berbohong atau melakukan penipuan karena ia memiliki rasa empati yang berbeda dengan kebanyakan orang. Namun, perawatan dengan konseling dan farmakoterapi dapat mengurangi gejala-gejala psikosis yang dialami oleh pasien.

Orang dengan gangguan mental tidak selalu melakukan hal yang berbahaya bagi orang lain. Orang dengan kepribadian antisosial misalnya, tetap bisa hidup di sekitar kita dan menjalani hidup yang sama seperti orang biasa. Hanya saja, ada kecenderungan orang dengan kepribadian antisosial terlibat pada beberapa kasus yang melanggar hukum. Bahkan, kita bisa saja menganggap mereka sebagai orang normal yang melakukan tindakan tidak terpuji.

Di sisi lain, kita cenderung takut saat melihat orang dengan gangguan mental yang nampak tak terawat berkeliaran di jalanan. Kita cenderung akan menghindar karena takut mereka akan melukai kita. Padahal bisa saja hal tersebut hanya pemikiran kita belaka.

Pemikiran mengenai gangguan mental yang berbahaya lekat dengan stigma negatif tentang gangguan mental itu sendiri. Padahal, gangguan mental tidak hanya terdiri dari satu spektrum saja. Terdapat gangguan mental yang ringan hingga berat. Dari gangguan mental ringan dan berat tersebut, jarang yang berpotensi akan membahayakan orang lain. Kemungkinan yang lebih besar adalah orang dengan gangguan mental akan membahayakan dirinya sendiri, bukan orang lain.

5 dari 5 halaman

Mari rangkul mereka

Orang dengan gangguan mental bukan untuk dijauhi karena alasan berbahaya. Lebih dari itu, mereka butuh dirangkul, difasilitasi untuk menjalani rehabilitasi, dan didampingi saat melakukan terapi.

Hal itulah yang bisa kita lakukan untuk setidaknya memutus anggapan bahwa orang dengan gangguan mental berbahaya. Orang yang tengah mengalami gangguan mental sesungguhya tengah berjuang dengan dirinya sendiri. Menjauhi dan memberikan stigma negatif justru akan memperlambat proses penyembuhan yang tengah mereka jalani.

Tulisan Inka Amaliyah dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.