Sukses

Orang dengan HIV Rentan Kena TBC, Begini Cara Pengobatannya

Daya tahan tubuh yang rendah, membuat orang dengan HIV rentan terkena TBC.

Liputan6.com, Jakarta Orang dengan HIV mudah terserang dengan bakteri penyebab tuberkulosis (TBC), Mycobacterium tuberculosis. Kekebalan tubuh pasien TBC yang rendah menjadi jalan terbuka bakteri TBC untuk 'menyerang'.

TBC menular lewat udara. Mengingat orang dengan HIV punya daya tahan tubuh rendah, ia perlu segera melakukan uji infeksi TB.

Gejala TBC yang dialami seseorang,  terutama TBC paru-paru biasanya batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu, demam, berat badan turun tanpa sebab, keringat malam, lelah, nafsu makan berkurang, dan dahak dengan bercak darah.

Jenis TBC laten termasuk kondisi yang diam-diam membahayakan. Seseorang tidak mengalami gejala TBC seperti pada umumnya.

Artikel terkait: Metode Deteksi TBC Terbaru, Pasien Terima Hasil Diagnosis Kurang dari 2 Jam

Ketika seseorang terkena TBC laten, bakteri TBC sudah mengggerogoti paru-paru. Untuk memastikan penderita HIV terhindar dari TBC, ia harus menjalani pemeriksaan ini setiap tahun. Bila penderita HIV positif TBC, ia membutuhkan pengobatan secara rutin.

“Kalau penderita HIV kena TBC ya harus diobati dua-duanya (HIV dan TBC). Tapi kalau bisa TBC-nya didahulukan (diobati dulu),” jelas dokter spesialis paru yang juga pakar TBC, Erlina Burhan usai acara forum diskusi Langkah Strategis Indonesia Menuju Eliminasi TBC 2030 di Jakarta pada 14 November 2018.

Dokter akan memberikan obat sesuai dengan kondisi pasien. Pengobatan yang bisa diberikan dengan rifampsisn, isoniazid, pirazinamid atau etambutol selama enam bulan. Seluruh jenis obat itu termasuk obat antibiotik untuk melawan bakteri.

Obat antibiotik TBC juga berfungsi mencegah dan mengobati TBC. Efek obat TBC pada tubuh bisa dipantau selama dua minggu. Dalam pemantauan ini pasien dapat dilihat apakah obat TBC menimbulkan efek samping atau tidak.

“Kalau sampai dua minggu pasien baik-baik saja minum obat TBC dan tidak terjadi kontraindikasi. Dia bisa langsung minum obat HIV, yang obat antiretroviral atau ARV itu,” lanjut Erlina.

 

 

Peringatan Hari Paru-paru Kronis Sedunia pada 19 November 2018, jurnalis Liputan6.com menayangkan liputan khusus terkait tuberkulosis (TBC). Tulisan ini merupakan tulisan kedua - terakhir (dari dua rangkaian), yang membahas pengobatan TBC bagi penderita HIV.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Obati TBC terlebih dahulu

TBC pada orang dengan HIV masih membawa mortalitas (kematian) dan morbiditas (jumlah kasus) yang tinggi di seluruh dunia. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016 menunjukkan pada 2015 ada 10,4 juta kasus TBC baru di seluruh dunia dengan 11 persen dari kasus ini menyasar orang dengan HIV. Ada juga 1,8 juta kematian di seluruh dunia dengan 0,4 juta terjadi di antara pasien positif HIV.

Berdasarkan jurnal Prevalence and Risk Factors of Active TB among Adult HIV Patients Receiving ART in Northwestern Tanzania: A Retrospective Cohort Study, yang dipublikasikan di Canadian Journal of Infectious Diseases and Medical Microbiology, kematian orang dengan HIV yang juga mengidap TBC sangat tinggi, terutama di kawasan Sub-Sahara Afrika.

Jika orang dnegan HIV tidak rutin memeriksakan uji infeksi TBC, ia berisiko tinggi terkena penyakit tersebut. Walaupun rajin minum ARV, kata Erlina, risiko bakteri TBC masuk ke tubuh sangat terbuka.

Penelitian yang dipublikasikan pada 2018 ini diikuti pasien HIV yang sedang menjalani pengobatan ART di Bugando Medical Centre, bagian barat laut Tanzania. Hasil penelitian, prevalensi pasien HIV yang minum obat ART untuk mengembangkan TBC bervariasi antara 2,5–30,1 persen.

“Jadi, HIV dan TBC harus dua-duanya diobati. Yang harus diperhatikan ada interaksi obat dan efek samping saat minum obat TBC dan HIV. Minum obat TBC itu kan berat buat liver. Sama juga dengan obat HIV yang juga berat untuk liver,” Erlina menambahkan.

 

Dalam Management of Tuberculosis and HIV Coinfection, yang dikeluarkan WHO/Europe dijelaskan  mengenai tata cara pengobatan TBC pada orang dengan HIV. Pengobatan lebih baik tidak memulai pengobatan HIV dan TBC secara bersamaan. Sehingga, pasien HIV mungkin perlu menunda minum ART.

Langkah ini memudahkan pasien  dalam pengobatan, menghindari reaksi ARV dan interaksi obat TBC, menghindari toksisitas-- tingkat merusaknya suatu zat jika dipaparkan terhadap organisme—yang tumpang tindih, dan membatasi risiko sindrom pemulihan kekebalan tubuh (IRIS)—kekebalan tubuh berlebihan yang bisa merusak jaringan. Penanganan obat untuk pasien HIV yang alami TBC maupun pasien TBC pada umumnya tidak ada perbedaan dengan negara-negara lain.

 “Penanganan TBC di Indonesia maupun di luar (negeri) enggak ada perbedaan. Semua sama. Enggak ada perbedaan dalam hal pengobatan. Kita di sini juga enggak kalah kok soal pengobatan TBC,” kata Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek, yang menghadiri Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI), WHO Global TB Program, dan Stop TB Partnership Global di The Roosevelt Hotel, New York, Amerika Serikat pada 24 September 2018.

 

 

3 dari 3 halaman

Kepatuhan pasien kunci kesembuhan

Dalam forum diskusi tentang TBC yang digelar di New York juga membahas soal pengobatan yang lebih pendek dan tidak berbulan-bulan. Pengobatan terbaru TBC ini sedang trial diteliti dan diujicobakan. Belum digunakan untuk pengobatan.

“Yang jadi pembahasan, bagaimana cara membuat pengobatan yang lebih pendek (lama waktu pengobatan). Apalagi buat TBC MDR (multi drug resistance)—TBC yang resisten—yang lama pengobatan bisa sampai 2 tahun. Minum obat harus tiap hari, tantangannya banyak. Bisa lupa dan obatnya enggak diminum,” kata Nila. 

Durasi waktu minum obat TBC juga dipengaruhi kepatuhan pasien. Untuk mencapai kesembuhan, pasien harus patuh minum obat tiap hari maupun disuntik.

“Pengobatan TBC kita tidak kalah dari negara yang lain. Nanti ada obat atau regimen (pengobatan medis) baru yang bisa obati TBC hanya dalam waktu dua bulan, shorter drug regimens (SDR). Tapi itu lagi chemical trial. Ada juga jenis obat TBC di Afrika yang mengobati selama enam bulan. Itu regimennya berbeda. Belum masuk ke Indonesia,” kata Erlina.

Laporan berjudul Two-month Regimens Using Novel Combinations to Augment Treatment Effectiveness for Drug-sensitive Tuberculosis (TRUNCATE-TB) yang dipublikasikan di National Library of Medicine pada Maret 2018, sebuah percobaan TRUNCATE-TBC mengevaluasi strategi alternatif (Strategi Manajemen TBC-TRUNCATE) yang terdiri dari pengobatan selama dua bulan.

Kriteria dua bulan, terdiri dari 8 minggu, diperpanjang hingga 12 minggu jika respon klinis tidak akurat). Bagi pasien yang kambuh (diprediksi akan selalu peka terhadap obat) akan menggunakan pengobatan regimen standar yang lama waktu pengobatan selama enam bulan.

Evaluasi regimen obat baru yang sedang trial berdasarkan pertimbangan efek sterilisasi, tidak adanya interaksi obat-obatan dengan obat lain, serta keamanan selama digunakan dua bulan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.