Sukses

Mirisnya Kondisi Pengungsian di Lombok Barat, Lama Tak Ada Bantuan

Di lokasi pengungsian saat ini, warga di dusun Jelateng, Lombok Barat, NTB masih takut akan adanya gempa dan banjir yang sempat menerpa mereka

Liputan6.com, Jakarta Beberapa bulan sudah berlalu semenjak gempa besar yang terjadi di Lombok terjadi. Namun, masih ada warga yang menjadi pengungsi di tanahnya sendiri.

Salah satunya adalah mereka yang tinggal di Dusun Jelateng, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Banyak penduduk yang mayoritas bekerja sebagai pembersih botol bekas dan tukang batu itu, masih tinggal di tenda-tenda yang jauh dari kata layak.

"Masih takut (gempa) tidak berani tidur di dalam rumah," ujar Mantan Kepala Dusun Jelateng Timur, Jaelani saat ditemui Health Liputan6.com beberapa waktu lalu. Ditulis Rabu (21/11/2018).

Jaelani mengatakan, masih banyak rumah yang hancur akibat gempa yang terjadi Agustus lalu. Hingga saat ini, belum ada rumah yang dibangun.

Adapun, di tiga dusun yang terletak di wilayah Jelateng, ada sekitar 550 kepala keluarga dengan jumlah warga sekitar 1.350 jiwa. Tenda yang ditempat Jaelani pun cukup besar dan memanjang. Cukup untuk puluhan warga. Hanya saja, kondisinya sangat panas di siang hari. Hewan-hewan seperti kucing dan ayam pun dengan mudah masuk ke tempat tersebut.

Jaelani menambahkan, beberapa waktu lalu, lokasi mereka bernaung saat ini sempat kebanjiran. Hal ini membuat banyak warga yang pindah dari tempat tersebut. Keadaan tersebut dikarenakan meluapnya air dari sungai yang terletak sangat dekat dari lokasi mereka.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Menggunakan barang seadanya

Untuk kebutuhan sehari-hari, warga setempat masih mengandalkan sebuah tenda yang difungsikan sebagai dapur. Namun, setiap keluarga harus memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

"Masak sendiri-sendiri," kata Jaelani.

Sementara itu, anak-anak banyak yang terpaksa harus pergi ke sekolah dengan barang seadanya. Salah satunya adalah Rohana. Pelajar kelas satu Sekolah Menengah Atas ini harus bersekolah dengan sepatu yang rusak.

"Pakai sepatu yang ada (yang rusak). Buku dan seragam masih ada," ujar Rohana. Dia sempat tersedu-sedu ketika menceritakan keadaan gempa yang membuatnya ketakutan hingga saat ini.

"Sekarang masih takut kalau ada gempa," ujarnya. Namun, hal ini tidak membuat Rohana putus asa untuk bersekolah.

Beruntunglah, masih ada komunitas relawan yang membangun tempat pendidikan di lokasi tersebut walaupun sederhana. Salah satunya dari komunitas Kerajaan Dongeng Indonesia yang mendirikan sebuah balai tempat bermain sekaligus belajar bagi anak-anak pengungsi. Di balai itu, mereka juga disediakan buku-buku serta mainan.

 

3 dari 4 halaman

Sejak bencana Sulawesi, bantuan menghilang

Jaelani mengatakan, di awal terjadinya gempa, bantuan banyak mengalir. Khususnya dari pihak-pihak swasta. Namun, sejak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah terjadi, bantuan tersebut perlahan menghilang.

Terakhir kali, bantuan datang dari sebuah pihak swasta pada bulan lalu. Belum lagi, bantuan dari pemerintah seakan tak kunjung cair.

"Janji-janji terus. Buku rekeningnya sudah ada, dipegang Kepala Desa tapi uangnya belum ada yang cair," kata Jaelani. Dia mengatakan, instansi terkait menjanjikan uang tersebut akan cair pada Februari 2019.

 

4 dari 4 halaman

Toilet yang tidak layak

Soal sanitasi dan kesehatan jangan ditanya. Dua buah toilet umum yang seharusnya bisa digunakan pengungsi terlihat tidak layak dipakai. Lubangnya tertutup bebatuan. Menurut Jaelani, air tidak mengalir di tempat itu.

Warga pun memanfaatkan dua buah kamar mandi dan toilet terdekat yang ada di mushola terdekat. Pintunya pun sudah tidak bisa dikunci.

Untuk fasilitas kesehatan, dokter dari puskesmas memang beberapa kali datang. Namun, pengobatan lebih sering datang dari pihak-pihak donatur.

"Kalau dari Dinas Kesehatan kalau kita lapor ke puskesmas baru datang ke sini," kata pria berusia 61 tahun itu. Puskesmas terdekat pun berjarak sekitar dua kilometer dari tempat tersebut.

"Pas satu bulan (setelah bencana) sering datang. Kalau sekarang sudah jarang, apalagi bantuan. Kasihan lihat orang-orang jompo ini. Tidak ada rumah."

Jaelani pun hanya bisa menunggu. Untuk saat ini, mereka hanya bisa berharap dan membuat diri mereka nyaman dengan keadaan yang ada. "Mau bagaimana lagi," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.