Sukses

Resistensi Insulin Intai Remaja Obesitas yang Diabetes

Risiko resistensi insulin semakin meningkat pada remaja obesitas yang diabetes.

Liputan6.com, Jakarta Fenomena obesitas dan diabetes di kalangan anak-anak dan remaja seakan tak terbendung. Sebuah penelitian terbaru dari Ketua Ikatan Dokter Anak  Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan dan tim mengungkapkan adanya resistensi insulin pada remaja obesitas (kelebihan berat badan) yang diabetes.

Resistensi insulin menandakan kondisi saat sel-sel tubuh tidak dapat menggunakan gula darah dengan baik. Hal ini terjadi karena terganggunya respons sel tubuh terhadap insulin.

Insulin adalah hormon alami yang diproduksi pankreas. Asupan makanan yang diserat akan membuat pankreas melepaskan hormon insulin, yang memungkinkan tubuh mengubah glukosa menjadi energi dan disebarkan di seluruh tubuh.

Hormon insulin juga membantu tubuh menyimpan energi. Yang paling mencemaskan, seseorang dapat mengalami resistensi insulin selama bertahun-tahun tanpa pernah menyadarinya.

Artikel terkait: Amankah Konsumsi Obat Diabetes Selama Ibu Menyusui?

Berdasarkan laporan jurnal yang ditulis Aman berjudul Type 2 diabetes mellitus in children and adolescent: an Indonesian perspective, prevalensi  resistensi insulin pada remaja obesitas di Jakarta sebesar 38 persen.

Studi ini menggambarkan, resistensi insulin pada remaja obesitas tertinggi di antara individu dengan riwayat keluarga obesita dan individu dengan gejala acanthosis nigricans-- suatu kondisi kulit menjadi gelap, tebal layaknya seperti beludru. Kondisi acanthosis nigricans lebih terlihat pada bagian tubuh yang berkerut dan melipat, seperti ketiak, selangkangan, dan leher.

“Saya meneliti ini pada anak SD Menteng Jakarta. Hasilnya, 92 anak alami obesitas dengan 38 persen menunjukkan resisten insulin,” papar Aman dalam konferensi pers Anak juga Bisa Diabetes di Kementerian Kesehatan RI, Jakarta pada 31 Oktober 2018.

Artikel terkait: Cerita Pasien Diabetes Anak, Tak Malu Suntik Insulin Sendiri di Sekolah

Kepekaan terhadap insulin dipengaruhi oleh etnis, pubertas, jenis kelamin, berat lahir, tekanan darah, high-density lipoprotein (HDL), riwayat keluarga obesitas, dan diabetes melitus tipe 2.

Gaya hidup yang tidak sehat, suka mengonsumsi makanan manis akan berujung pada obesitas. Dari laporan jurnal yang dipublikasikan Annals of Pediatric Endocrinology & Metabolism pada 23 September 2018, obesitas jangka panjang berujung pada diabetes, yang mana risiko resistensi insulin dialami anak. Sindrom metabolik juga bisa terjadi.

Artikel terkait: Diabetes Terdeteksi Jelang Persalinan, Ini Risiko pada Ibu dan Janin

Sindrom metabolik adalah sekumpulan kondisi yang terjadi secara bersamaan. Misal peningkatan tekanan darah, kadar gula darah yang tinggi, kelebihan lemak di sekitar pinggang, serta kenaikan kadar kolesterol yang tidak biasa. Obesitas pada masa kanak-kanak dapat berlanjut hingga dewasa, yang dapat meningkatkan risiko mengembangkan sindrom metabolik. Hal ini mengarah pada komplikasi jangka panjang, seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit jantung koroner.

 

 

Peringatan Hari Diabetes Sedunia pada 14 November 2018, jurnalis Liputan6.com menayangkan liputan khusus dengan topik "Anak juga Bisa Kena Diabetes." Tulisan ini mengangkat, resistensi insulin yang mengintai anak dan remaja obesitas yang diabetes.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gangguan glukosa puasa meningkat

Hasil penelitian Type 2 diabetes mellitus in children and adolescent: an Indonesian perspective juga melaporkan, kurang dari 10 persen remaja obesitas di Jakarta dalam penelitian memiliki gangguan glukosa puasa (GGP). Kehadiran resistensi insulin justru meningkatkan risiko gangguan glukosa puasa sebanyak 5,7 kali. Gangguan Glukosa Puasa (GGP) terjadi bila kadar glukosa puasa 110–125 mg/dl dan 2 jam beban glukosa kurang dari 140 mg/dl.

Gangguan glukosa puasa ini lebih dulu muncul sebelum terjadinya diabetes melitus. Pada penderita diabetes melitus, kadar glukosa puasa lebih dari 126 mg/dl atau 2 jam beban glukosa lebih dari 200 mg/dl.

Hasil tes kadar glukosa yang kurang dari 40 mg/dL pada wanita atau kurang dari 50 mg/dL pada pria menyebabkan gejala hipoglikemia. Pada hasil hasil  kadar glukosa tinggi, tandanya positif diabetes melitus.

Pada anak-anak, kasus diabetes tipe 1 lebih cenderung banyak terjadi. Namun, ada kecenderungan peningkatan kasus diabetes tipe 2 pada anak dan remaja dengan faktor risiko obesitas, genetik, dan etnik serta riwayat diabetes melitus tipe 2 pada keluarga. Data IDAI mencatat, angka kejadian diabetes melitus pada anak 0-18 tahun mengalami peningkatan sebesar 700 persen selama jangka waktu 10 tahun.

Sejak September 2009 sampai September 2018 terdapat 1.213 kasus diabetes melitus tipe 1. Kasus tersebut paling banyak terjadi di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra Selatan.

Studi lain yang diteliti Tirtamulia dkk melaporkan, prevalensi resistensi insulin di antara remaja obesitas di Manado, Sulawesi Utara sebesar 62 persen. Sekitar 82 persen di antaranya positif alami acanthosis nigricans.

Hasil studi ini menemukan korelasi antara resistensi insulin dan acanthosis nigricans. Resistensi insulin dapat dicurigai dengan mengetahui riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penderita dengan resistensi insulin membutuhkan dosis insulin lebih banyak.

“Resistensi insulin diibaratkan jika normal satu gula memerlukan satu insulin, tapi karena resistensi insulin. Satu gula memerlukan dua insulin. Artinya, kadar gula darah semakin meningkat, yang menyebabkan orang tersebut positif diabetes,” papar dokter spesialis penyakit dalam RS Pondok Indah Jakarta Wismandari saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

3 dari 3 halaman

Saat anak positif diabetes melitus tipe 2

Obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes melitus tipe 2 pada anak-anak dan orang dewasa. Hingga 50 persen anak-anak dan remaja obesitas mengalami resistensi insulin akibat peningkatan lemak. Cara penanganan medis berupa resep obat hipoglikemik oral disesuaikan untuk setiap anak.

Dari rekomendasi Indonesian Pediatric Society (2018), pasien dengan diabetes melitus tipe 2 sedang (glukosa plasma puasa 126 hingga 200 mg/dL), HbA1C. Obat-obatan ini dirancang untuk menurunkan ambang resistensi insulin.

Pada perawatan awal dan selama terapi insulin, pemeriksaan fungsi ginjal secara rutin. Anak juga bisa minum obat metformin yang meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan kadar glukosa darah, tanpa menyebabkan kenaikan berat badan.

Dosis metformin awal diberikan sebanyak 250 mg per hari selama 3-4 hari. Lalu secara bertahap ditingkatkan selama 3-4 minggu dengan dosis maksimum 2.000 mg  per hari.

Efek samping umum metformin adalah diare, mual, kembung, dan sakit perut. Efek-efek sampingan ini hilang seiring obat terus berlanjut. Selain obat-obatan, pemberian insulin sesuai dosis dapat dilakukan.

“Insulin diberikan sesuai kondisi pasien. Kami juga menyarankan diet, aktivitas fisik, dan pemantauan gula darah mandiri,” Aman menambahkan.

Modifikasi makanan yang direkomendasikan di Indonesia, termasuk menghindari minuman dengan tambahan gula, membatasi konsumsi makanan instan atau olahan, mengendalikan jumlah makanan per porsi, dan mengurangi waktu makan di luar.

Aktivitas fisik dilakukan sesusai saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Setiap anak harus aktif dan didorong untuk terlibat dalam setidaknya 60 menit olahraga setiap hari. Minimal tiga hari setiap minggu dengan waktu maksimal dua jam.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.