Sukses

HEADLINE: Vaksin MR Belum Halal tapi Terpaksa Boleh, demi Apa?

Program kampanye imunisasi MR menjadi satu-satunya alasan kenapa MUI dan Kemenkes mesti segera menentukan sikap. Mengapa begitu mendesak?

Liputan6.com, Jakarta - Zaenab, ibu dua anak ini bimbang hendak membawa anaknya ke Puskesmas atau tidak. Pasalnya si kecil, Rizal (3) putra keduanya belum pernah divaksin Measles Rubella (MR). Warga Depok, Jawa Barat ini mendengar kabar dari media online yang dibacanya bahwa vaksin MR dinyatakan belum halal.

Tak heran, perempuan asal Sukabumi ini pun bimbang. Kalau diimunisasi, vaksinnya belum halal karena masih mengandung babi. Setidaknya begitu kabar yang datang dari berbagai tempat. Ambil contoh misalnya tiga wilayah di Kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau persisnya di Karimun, Anambas dan Natuna.

"Ada tiga kabupaten/kota yang menunda pelaksanaan, yaitu Karimun, Anambas dan Natuna," kata Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Riau Tjetjep Yudiana di sela acara evaluasi pelayanan Embarkasi Haji Batam di Batam, Rabu 15 Agustus 2018.

Tak hanya di tiga wilayah itu, di Sumatera Barat persisnya di Pasaman Barat sang Bupati juga sempat meminta jajarannya untuk menunda pelaksanaan imunisasi MR untuk anak-anak.

"Kepada Dinas Kesehatan agar menunda sampai ada kejelasan dari pemerintah pusat dan MUI," katanya di Simpang Empat, Pasaman Barat, Sabtu 4 Agustus 2018.

Menurut dia, penundaan itu dilakukan karena terjadi pro dan kontra di tengah masyarakat terkait kehalalan vaksin tersebut. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, maka pemberian vaksin MR itu harus ditunda sampai ada petunjuk dan kejelasan lebih lanjut.

"Saya sudah instruksikan kepada semua jajaran agar menunda pemberian vaksin MR ini. Jangan coba memberikan sampai ada kejelasan," kata Syahiran.

Di tempat lain, di Aceh juga dikabarkan hal yang sama. Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah sempat menginstruksikan penundaan imunisasi MR karena vaksin belum dinyatakan kehalalannya. "Kami sudah menginstruksikan kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota agar menunda pelaksanaan imunisasi rubella," kata Nova Iriansyah di Banda Aceh, Selasa 7 Agustus 2018.

Nova menyebutkan, penundaan imunisasi MR dilakukan karena vaksin belum disertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penundaan dilakukan hingga vaksinnya memiliki sertifikasi halal.

"Karena itu, kami minta jangan ada dulu imunisasi rubella hingga ada pernyataan halal dari MUI, sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasinya," ujar Plt Gubernur Aceh.

Menyangkut vaksin yang sudah dikirim ke daerah, tetapi belum ada sertifikasi halal, Nova Iriansyah mengatakan, nanti vaksin tersebut diminta ditarik kembali dan dikirim ulang dengan vaksin yang sudah dinyatakan halal.

"Bagi yang telanjur diimunisasi, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah masuk ke dalam tubuh. Tapi bagi yang belum, semua ditunda tanpa kecuali," kata Nova.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Bahaya Mengintai

Seandainya Zaenab tidak memvaksin anaknya dengan imunisasi MR, bahaya besar bisa mengancam putranya. Tentu saja dia tidak mau itu terjadi. Kisah Laely Ekawati yang pernah terinfeksi rubella saat awal kehamilan dan melahirkan anak dengan gangguan pendengaran berat, di Jakarta, menjadi pengalaman berharga yang wajib diperhatikan para ibu.

"Imunisasi MR ini wajib, ya. Mau nanti anaknya seperti anak aku?" kata Laely meyakinkan saat menceritakan bagaimana dirinya berpesan kepada para orangtua lain agar tidak memiliki anak dengan gangguan pendengaran, saat kampanye imunisasi MR tahun lalu.

Laely menceritakan terinfeksi Rubella pada usia kehamilan 12 minggu setelah bepergian ke pusat berbelanjaan. Awalnya muncul bintik dan ruam merah di tangan yang kemudian menjalar ke sekujur tubuh pada hari berikutnya.

Saat melahirkan, Laely belum mengetahui anaknya mengalami gangguan pendengaran. Dia mulai mengetahui anaknya tuli berat setelah diperiksakan ke dokter lantaran hanya bisa menangis dan tertawa pada usia yang seharusnya sudah mulai berbicara.

"Anak ibu derajat pendengarannya sudah paling bawah, ini idealnya pakai implan koklea," kata Laely menirukan ucapan dokter. Sejak saat itu, Laely terus berusaha memberikan penanganan dengan operasi implan koklea dan terapi pendengaran.

Dia berpesan agar orangtua lain mau mengimunisasi anaknya dengan vaksin MR untuk mencegah terjadinya penularan rubella dari anak kepada ibu hamil agar tidak menginfeksi janin dan melahirkan anak dengan kecacatan bawaan.

"Karena enggak gampang loh punya anak berkebutuhan khusus. Perlu tenaga, waktu, pikiran, materi, semua kudu sabar banget. Dan enggak semua keluarga Indonesia berkecukupan, kan kasihan. Kalau bisa dicegah, MR itu wajib," kata Laely.

Hal yang sama juga dialami oleh Yunita Maya Susanthie, seorang ibu yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran. Maya yang terinfeksi rubella saat usia kandungan lima bulan memiliki anak dengan gangguan pendengaran dan indikasi jantung bocor sejak lahir.

Ia berpesan agar para orangtua, khususnya ibu, untuk rutin mengecek kesehatan dan berupaya mencegah penyakit dengan imunisasi anak, dan kalau perlu ibunya. Dia mengatakan, mendidik anak dengan gangguan pendengaran membutuhkan biaya yang besar.

3 dari 7 halaman

Menkes Surati SII

Pro kontra kehalalan vaksin MR inilah yang kemudian memaksa Kementerian Kesehatan untuk segera mengirimkan surat kepada produsen vaksin MR Serum Institute of India (SII) agar memberi data yang dibutuhkan demi mempercepat proses sertifikasi halal vaksin MR.

"Sertifikasi kehalalan (vaksin MR) ini kewenangan MUI. PT Biofarma agar segera (melengkapi) dokumen kepada LPPOM MUI. Kami dari Kementerian Kesehatan juga akan menyurati SII untuk menanyakan kembali tentang bahan (vaksin MR)," tutur Menkes Nila Moeloek usai bersilaturahmi dengan jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Gedung MUI di kawasan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat 3 Agustus 2018.

Namun pihak Kementerian Kesehatan tidak mau ambil risiko. Mereka tetap menjalankan kampanye imunisasi MR di luar Pulau Jawa dan pemberian vaksin MR pada program imunisasi rutin di Pulau Jawa, sambil terus mempercepat proses sertifikat halal vaksin tersebut.

"Kami tetap menjalankan kampanye imunisasi MR. Dari sisi kesehatan, tentu kami berkewajiban untuk melindungi anak-anak dan masyarakat dari bahaya penyakit campak dan rubella," ucap Menkes.

MUI menyatakan dukungan agar imunisasi ini menjadi hal yang penting bagi kesehatan ibu dan anak. "Karenanya pada awal tahun 2016, MUI secara khusus melakukan pembahasan dan penetapan fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang imunisasi yang salah satu isinya adalah imunisasi merupakan salah satu mekanisme pengobatan yang bersifat preventif untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat itu dibolehkan dengan vaksin yang halal dan suci," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh.

Meski begitu, lanjut Ni'am, aspek kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan aspek keagamaan, begitu pun sebaliknya. Perspektif keagamaan memberikan dukungan luar biasa terhadap pelaksanaan kegiatan imunisasi sebagai mekanisme pencegahan (wabah) penyakit berbahaya.

4 dari 7 halaman

MUI Bersidang

Hingga akhirnya MUI harus segera menyatakan sikapnya demi kebaikan bangsa dan generasi penerus. Apalagi data WHO tahun 2015 menyebut jelas, Indonesia termasuk 10 negara dengan kasus campak terbesar di dunia. Bahkan data Kemenkes mencatat jumlah kasus terindikasi campak dan rubella dalam lima tahun terakhir, sejak 2014 sampai dengan Juli 2018 adalah 57.056 kasus (8.964 positif campak dan 5.737 positif rubella).

Apalagi MUI melalui Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh sudah menyatakan, vaksinasi sebagai sebuah mekanisme pencegahan secara syar'i dibenarkan. Karena itu, MUI dan Kemenkes sepakat untuk mempercepat proses sertifikasi halal melihat mendesaknya masalah ini.

"Ada kesepahaman dan komitmen untuk mempercepat proses sertifikasi kehalalan vaksin MR. Langkah percepatannya, Ibu Menkes atas nama negara meminta PT Biofarma dan meminta kepada SII secara langsung terkait komposisi atau ingredient yang menjadi pembentuk vaksin MR," ujar Ni'am usai silaturahmi dengan jajaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di Gedung MUI di kawasan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat 3 Agustus 2018.

Menurut Ni'am, Komisi Fatwa MUI mempertimbangkan percepatan proses penetapan fatwa (bagi vaksin MR) setelah ada proses audit oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sesuai dengan prinsip-prinsip prudensialitas yang dimiliki oleh sistem di LPPOM dan Komisi Fatwa MUI.

"Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bisa dikeluarkan sertifikat halal bila terbukti clear dari sisi bahan, tidak ada anasir yang terbukti haram atau najis. Kemungkinan yang kedua, bila ditemukan ada unsur pembentuknya dari najis/haram, dengan penjelasan bahwa bila tidak diimunisasi akan mengakibatkan mudharat kolektif di masyarakat, maka terhadap yang haram tadi bisa dibolehkan untuk digunakan, dengan catatan tidak ada alternatif lain yang suci dan halal atau bahayanya sudah sangat mendesak. Itu poin pentingnya," jelas Ni'am.

Selain itu, MUI meminta Kemenkes untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin menunggu fatwa MUI untuk vaksin MR dan memilih menunda pemberian imunisasi MR bagi anaknya setelah keluarnya fatwa tersebut.

"Hal ini sangat terkait dengan ketersediaan informasi yang dibutuhkan, terutama ingredient atau komposisi pembentuk (bahan) vaksin tersebut. Kalau itu tersedia, beberapa hari (fatwa) bisa selesai," ucap Ni'am.

Senin 20 Agustus 2018, MUI akhirnya mengadakan sidang rapat pleno. Sebelumnya, Ni'am menyebutkan, MUI sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan PT Biofarma selaku importir vaksin MR tersebut. MUI juga sudah memperoleh data dari Serum Institute of India (SII) selaku produsen vaksin MR.

"LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI) sudah melakukan telaahan," ucap Ni'am. Kala itu Ni'am belum mau bicara soal kandungan vaksin MR. Yang pasti, katanya hal itu juga sudah dibahas pada rapat pleno Komisi Fatwa MUI dengan para ahli dari Kemenkes dan PT Biofarma.

"Paparan itu menjadi salah satu referensi dalam pembahasan dan penetapan fatwa nantinya," terang Ni'am.

5 dari 7 halaman

Fatwa MUI

Nyaris tengah malam, MUI mengeluarkan fatwa penting. MUI akhirnya menyatakan Vaksin MR (Measles Rubella) yang diproduksi oleh Serum Institute of India (SII) yang sudah digunakan di Indonesia boleh dilanjutkan penggunaannya meski dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi. 

Keputusan mengenai vaksin MR ini tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR dari SII untuk Imunisasi.

Pernyataan ini dibuat setelah MUI mengumpulkan data-data dan mendengarkan berbagai penjelasan dari para ahli serta bersidang di Kantor MUI Pusat, Jakarta. Komisi Fatwa menyebutkan penggunaan vaksin SII ini dibolehkan atau sifatnya mubah karena belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci.

"Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal," ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF dalam keterangan resminya.

Berdasarkan penelitian Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM), ada dua kandungan yang menyebabkan vaksin MR haram. Pertama kandungan kulit dan pankreas babi, kedua organ tubuh manusia yang disebut human diploid cell.

Hasanuddin menyebutkan, kebolehan penggunaan vaksin MR tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci. Karena itu, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.

"Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Hasanuddin.

Selanjutnya MUI menyatakan pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.

Pemerintah juga, kata MUI, hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam pernyataannya setelah dikeluarkannya fatwa MUI, Kamis, 23 Agustus 2018, menyatakan kehadiran fatwa memberi kejelasan bagi masyarakat agar tak ragu lagi mengikuti program vaksin MR. Program ini dilakukan semata-mata agar buah hati terhindar dari risiko terinfeksi penyakit Campak dan Rubella yang bisa berdampak pada kecacatan dan kematian.

“Imunisasi sangat bermanfaat untuk menjauhkan kita dari mudarat (baca: penyakit berbahaya) yang bisa mengancam jiwa anak-anak kita, melindungi generasi agar tumbuh menjadi bangsa yang sehat, cerdas dan kuat, serta membawa maslahat untuk umat,”kata Nila  

Bahkan Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, juga telah menerbitkan surat dukungan pelaksanaan imunisasi MR fase II kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota di 28 provinsi di luar Pulau Jawa.

6 dari 7 halaman

Tidak Mudah

Proses sertifikasi bukanlah hal yang mudah dan cepat didapat. Ada serangkaian tahapan yang harus dilalui, kata Corporate Secretary PT Bio Farma (Persero), Bambang Heriyanto di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu 1 Agustus 2018.

Sebenarnya soal sertifikasi halal vaksin ini merupakan kewajiban manufaktur, dalam hal ini produsen vaksin di India. "Sementara kami ini hanya distributor," jelas Bambang.

Industri manufaktur vaksin MR, kata Bambang, harus melakukan proses registrasi daring (online) melalui sistem Sertifikasi Online. Dibantu Bio Farma, manufaktur India mesti melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan sesuai standar kehalalan Indonesia. 

"Kami sudah ke India dan melihat langsung produksi vaksin MR pada 2017. Kami juga mempresentasikan bagaimana standar kehalalan vaksin. Kami menjelaskan ini lho standar sertifikasi halal," ujar Bambang.

Bambang mengungkapkan, saat ini proses registrasi kehalalan vaksin MR terus dilakukan dan dikoordinasikan dengan manufaktur vaksin di India.

"Kami terus berkoordinasi kok soal registrasi vaksin. Terakhir, kami komunikasi awal Juli 2018. Ini butuh proses lama. Masalahnya, mereka (manufaktur vaksin India) enggak ngerti, halal itu seperti apa," cerita Bambang.

Pemahaman dan pembelajaran kepada manufaktur vaksin India soal halal ini misalnya penjelasan kandungan vaksin yang tidak boleh mengandung unsur hewan (animal-derived raw materials), termasuk enzim tripsin babi.

Untuk mengetahui kandungan vaksin ini, Bio Farma harus minta data dari manufaktur India. Dan kalau pun data sudah terkumpul, PT Bio Farma (Persero) tidak bisa menilai soal kandungan halal dan haram. "Yang bisa menilai itu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kalau kami secara politis saja, Oh, ini vaksin sudah memenuhi syarat. Enggak bisa langsung bilang ini haram," lanjut Bambang.

Data vaksin MR memang harus diminta kepada pihak manufaktur India. Ini karena data manufaktur tidak mudah dibuka sembarangan.

"Ada pembatasan soal data vaksin. Mereka membatasi informasi juga lah. Enggak semuanya dijelaskan secara open (terbuka)," Bambang menegaskan.

7 dari 7 halaman

Sangat Menular

Bahayanya penyakit campak dan rubella dijelaskan dengan gamblang oleh mantan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Penyakit dr H Mohamad Subuh, MPPM.

Menurut Subuh, begitu pria ini biasa disapa, campak dikenal juga sebagai morbili atau measles, merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus. Manusia diperkirakan satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam penularan.

Pada 1980, sebelum imunisasi dilakukan secara luas, diperkirakan lebih 20 juta orang di dunia terkena campak dengan 2,6 juta kematian setiap tahun yang sebagian besar dengan kasus campak terbesar di dunia adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga pada tahun 2012 kematian akibat campak telah mengalami penurunan sebesar 78 persen secara global.

Gambaran ini menunjukkan Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan kasus campak terbanyak di dunia. Penyebab rubella adalah togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA. Virus rubella cepat mati oleh sinar ultra violet, bahan kimia, bahan asam dan pemanasan.

Virus tersebut dapat melalui sawar plasenta sehingga menginfeksi janin dan dapat mengakibatkan abortus atau congenital rubella syndrome (CRS). Penyakit rubella ditularkan melalui saluran pernapasan saat batuk atau bersin. Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan kelenjar getah bening regional, dan viremia terjadi pada 4-7 hari setelah virus masuk tubuh.

Masa penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7 hari setelah rash. Masa inkubasi rubella berkisar antara 14-21 hari. Gejala dan tanda rubella ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak merah/rash makulopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di belakang telinga, leher belakang dan suboccipital.

Konfirmasi laboratorium dilakukan untuk diagnosis pasti rubella dengan melakukan pemeriksaan serologis atau virologis. IgM rubella biasanya mulai muncul pada 4 hari setelah rash dan setelah 8 minggu akan menurun dan tidak terdeteksi lagi, dan IgG mulai muncul dalam 14-18 hari setelah infeksi dan puncaknya pada 4 minggu kemudian dan umumnya menetap seumur hidup.

Virus rubella dapat diisolasi dari sampel darah, mukosa hidung, swab tenggorok, urine atau cairan serebrospinal. Virus di faring dapat diisolasi mulai 1 minggu sebelum hingga 2 minggu setelah rash. Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan rubella pada wanita dewasa sering menimbulkan arthritis atau arthralgia.

Menurut Subuh, setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspect campak dan dari hasil konfirmasi laboratorium, 12 – 39 persen di antaranya adalah campak pasti (lab confirmed) sedangkan 16 – 43 persen adalah rubella pasti.

Dari 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Jumlah kasus ini diperkirakan masih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yangtidak terlaporkan, terutama dari pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.

Pada 2015-2016, 13 RS sentinel CRS melaporkan 226 kasus CRS yang terdiri dari 83 kasus pasti dan 143 kasusklinis. Dari 83 kasus pasti (lab confirmed) yang dilaporkan, 77 persen menderita kelainan jantung, 67,5 persen menderita katarak dan dan 47 persen menderita tuli.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.