Sukses

Kofi Annan dan Afrika: Bersedih karena Genosida hingga Sukses Berdiplomasi

Hubungan antara Kofi Annan dan Afrika penuh makna, ia bersedih karena genosida terjadi sampai keberhasilannya berdiplomasi.

Liputan6.com, Jakarta Kofi Annan, pria kelahiran Ghana, yang meninggal pada Sabtu, 18 Agustus 2018 adalah mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pertama dari sub-Sahara Afrika. Di benua inilah Annan, yang meninggal pada usia 80 tahun mengalami momen paling sulit dalam karier sekaligus keberhasilan diplomatik.

Salah satu momen yang dirasakan Kofi Annan, yakni ia ikut bersedih dan kecewa karena organisasi internasional (PBB) tidak mampu mencegah genosida di Rwanda tahun 1994. Menurut data PBB, sebanyak 800.000 orang meninggal, yang sebagian besar suku Tutsi.

Melansir laman Channel News Asia, Minggu (19/8/2018), genosida di Rwanda adalah pembantaian terhadap suku Tutsi dan Hutu oleh sekelompok ekstremis Hutu yang moderat.

Ketika Kofi Annan berusia 56 tahun, ia mulai menapaki karier sebagai Sekretaris Jenderal PBB, yang bertanggung jawab atas operasi perdamaian terhadap suku Tutsi dan Hutu.

Di bawah komando militer jenderal Kanada Romeo Daillaire, misi penjaga perdamaian MINUAR PBB dikerahkan di Rwanda saat genosida dimulai. Namun, gagal mencegah pembantaian. Ini karena kurangnya bantuan dan pengerahan dari Dewan Keamanan.

Saat genosida terjadi, jumlah pasukan penjaga perdamaian MINUAR bahkan berkurang. Setelah genosida, Kofi Annan mengaku, tindakannya tidak cukup untuk mencegah pembantaian.

 

Simak juga video menarik berikut ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perdamaian di Kenya

"Organisasi internasional gagal mencegah genosida di Rwanda dan itu meninggalkan rasa penyesalan yang pahit," kata Annan pada peringatan 10 tahun genosida.

Pada akhir tahun 2006, satu bulan sebelum mengundurkan diri sebagai Sekjen PBB, Annan berjanji tidak akan pernah melupakan Afrika. Ia berkiprah di PBB setelah 10 tahun.

Meski sudah tak lagi bekerja di PBB, Annan rupanya tidak lelah dan ingin mencurahkan waktu untuk bekerja di Afrika dan menawarkan layanan konsultasi (diplomasi).

Lebih dari satu tahun kemudian, harapan itu terpenuhi. Uni Afrika meminta keterampilan diplomatik Annan untuk bertindak sebagai mediator dalam krisis politik di Kenya. Ia juga diminta membantu untuk meredam aksi kekerasan pemilu.

Kofi Annan tiba di Nairobi pada akhir Januari 2008. Negara itu 'hancur' oleh kekerasan politik-etnis, yang menyebabkan lebih dari 600.000 orang mengungsi. Peristiwa terjadi setelah kandidat oposisi Raila Odinga menentang terpilihnya kembali presiden Mwai Kibaki.

Untuk menangani hal tersebut, Annan memesan kamar di sebuah hotel besar di Nairobi. Ia pun mengadakan mediasi awal antara kedua belah pihak, antara perwakilan pemerintah dan oposisi. Mediasi awal tidak memberikan pertanda baik.

Namun, pada akhir Februari 2008, tekanan besar dari organisasi internasional (PBB), yang dipelopori Amerika Serikat berhasil meredam konflik politik etis di Nairobi. Annan berhasil memulihkan ketenangan di Nairobi.

3 dari 3 halaman

Terampil berdiplomasi

Berita kematian Annan pada hari Sabtu menimbulkan banyak reaksi di Kenya. Dalam sebuah pernyataan, mantan presiden Mwai Kibaki mengatakan, Annan akan diingat sebagai sosok perdamaian di Kenya saat negara ini menghadapi gejolak politik pada tahun 2007. Mwai memuji keterampilan Annan yang berdiplomasi.

Mantan perdana menteri Raila Odinga juga menanggapi, dunia akan selalu mengingat dan menghormati Annan. Selain Kenya, Annan melakukan pengawasan terhadap jalannya kesepakatan antara Nigeria dan Kamerun pada tahun 2006, ketika dia masih menjadi Sekretaris Jenderal PBB.

Kedua negara itu mengakhiri perselisihan perbatasan selama puluhan tahun atas semenanjung Bakassi yang kaya minyak.

Pada tahun 2000, Annan tidak bisa menyembunyikan kesenangannya saat ia mengumumkan berakhirnya perang Ethiopia dan Eritrea, yang diperoleh berkat mediasi dari Aljazair.

Walaupun mediasi sukses, pasukan kedua negara yang terus menjaga perbatasan tetap saling bermusuhan. Terkadang mereka melakukan dengan kekerasan.

Setelah permusuhan yang panjang, perdana menteri Ethiopia dan presiden Eritrea secara terbuka berdamai. Mereka mengubur sejarah permusuhan dan mulai berhubungan dengan baik. Annan pun menyaksikan kedua negara berdamai pada bulan lalu, Juli 2018.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.