Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Poligami, Kunci Panjang Umur Pria

Riset menemukan, para pria dari daerah yang memiliki budaya poligami memiliki umur yang lebih panjang.

Liputan6.com, Jakarta Poligami, ketika pria memiliki lebih dari satu istri. Walaupun tidak umum, ada beberapa budaya yang menganut dan menjalankan gaya hidup ini. 

Gaya hidup poligami rupanya memiliki keuntungannya tersendiri. Hal ini berdasarkan riset dari University of Sheffield, Inggris.

Penelitian yang dilakukan oleh Virpi Lummaa, seorang ahli lingkungan, menemukan, pria yang berasal dari budaya poligami lebih panjang umur dibanding yang menjalani hidup monagami.

Setelah meminggirkan faktor perbedaan sosial ekonomi, pria berusia di tas 60 tahun dari 140 negara yang mempraktikkan poligami hidup 12 persen lebih lama dibanding pria-pria dari 49 negara yang paling menganut gaya hidup monogami.

Temuan ini dipresentasikan Lumma pada International pertemuan tahunan Society of Behavioural Ecology di Ithaca, New York, mengutip New Scientist, Selasa (12/6/2018).

Namun alih-alih menyarankan poligami, penelitian ini justru berhasil merumuskan teka-teki biologis manusia: Kenapa pria hidup selama itu?

Pertanyaan ini hanya bisa masuk akal setelah menanyakan hal yang sama pada wanita, yang bisa terus hidup lama pascamenopause.

 

Saksikan juga video menarik berikut:

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Monogami yang Dipaksakan

Jawabannya adalah sebuah fenomena yang oleh para peneliti diberi nama "Efek Nenek". Untuk setiap 10 tahun wanita bertahan hidup setelah menopause, mereka mendapatkan dua orang cucu, ujar Lummaa. Tampaknya, merawat dan memanjakan cucu adalah kunci kenapa wanita bisa terus bertahan hidup.

Pria, secara kontras, bisa terus bereproduksi sampai lanjut usia. Dan kebanyakan riset menyimpulkan, inilah kenapa mereka terus hidup. Namun Lummaa dan rekannya, Andy Russel, mempertanyakan, apakah ada faktor lain yang mempengaruhi hal ini, seperti misalnya efek jadi kakek.

Untuk menguji kemungkinan ini, tim menganalisis 25.000 orang Finlandia dari abad 18th dan 19th. Saat itu, tidak ada orang yang menggunakan alat kontrasepsi dan agama mereka memaksakan pola hidup monogami.

Hanya pria yang ditinggal mati istrinya yang boleh menikah lagi. Dan jika mereka memiliki anak dengan istri barunya, mereka jadi memiliki lebih banyak anak, secara rata-rata, dibanding pria yang hanya menikah satu kali.

Namun pada akhirnya, pria yang menikah kembali tidak memiliki lebih banyak cucu, ujar Lumma. "Bahkan kehadiran seorang kakek diasosiasikan dengan menurunnya kemungkinan si cucu bertahan hidup."

Mungkin, menurut Lummaa, anak-anak dari istri pertama kehilangan makanan dan sumber daya karena diberikan pada anak-anak dari perkawinan kedua. Bahkan, ayah-ayah yang hanya memiliki satu istri tidak memberikan keuntungan apapun pada cucu mereka. Temuan ini didukung oleh riset-riset sebelumnya.

3 dari 3 halaman

Jadi Ayah di Usia Senja

Dengan dipinggirkannya "efek kakek", Lummaa dan Russell lalu mengira-ngira, apakah efek dari umur panjang pria didapat dari fisiologi manusia.

Untuk menjawab pertanyaan ini, para peneliti kemudian membandingkan usia pria dari negara-negara poligami dengan mereka dari negara monogami.

Menggunakan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Lummaa dan Russell menandai 189 negara dengan nilai 1-4, dari benar-benar monogami sampai kebanyakan poligami. Mereka juga memperhitungkan pendapatan rata-rata tiap negara untuk memperkecil efek dari nutrisi baik dan tunjangan kesehatan di negara-negara monogami Barat.

Mereka menemukan, memiliki lebih banyak anak dari lebih banyak istri meningkatkan kemungkinan pria untuk hidup lebih lama. Pria hidup lebih panjang karena mereka masih terus subur di usia lanjut.

Penjelasan ini berlaku untuk faktor sosial dan genetik. Pria yang masih terus memiliki anak di usia 60an dan 70an cenderung lebih berusaha merawat dirinya dengan lebih baik, karena mereka masih harus memberi makan anak-anaknya.

Namun kekuatan evolusi selama ribuan tahun juga bisa jadi menyeleksi pria-pria sehat pada budaya poligami.

"Hipotesis ini sahih dan masuk akal," ujar Chris Wilson, seorang antropolog evolusi di Cornell University, Ithaca, New York, yang menghadiri acara tersebut. Tapi perhatian dan perawatan yang diberikan oleh beberapa istri yang bergantung pada status sosial suami mereka yang menua juga bisa jadi menjelaskan segalanya.

"Hal ini tidak membuatku kaget bahwa pria pada komunitas itu hidup lebih lama dibanding pria dari komunitas monogami, ketika mereka menjadi duda dan tidak ada yang merawatnya," tutup Wilson.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.