Sukses

Anak Keluarga Pengebom Gereja Surabaya, Pelaku atau Korban?

Anak dari satu keluarga yang ikut mengebom gereja di Surabaya, disebut pelaku atau korban?

Liputan6.com, Jakarta Pengebom yang meledakkan tiga gereja di Surabaya pada Minggu, 13 Mei 2018 pagi diketahui terdiri atas satu keluarga. Keluarga yang terdiri atas enam anggota keluarga itu, yakni DS (ayah), PK (ibu) dan anak-anaknya, yakni FS (12), PR (9), YF (18), dan FH (16).

Ledakan bom Surabaya yang bermodus bunuh diri meledak berturut-turut di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Ketiga gereja adalah Gereja St. Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Madya, GKI Diponegoro Jalan Diponegoro, dan GKI Wonokromo di Jalan Arjuno terjadi. Ketika gereja itu meledak, durasinya hanya berselang belasan menit saja. 

Lantas, apakah anak yang ikut mengebom gereja disebut pelaku? Atau mereka termasuk korban? Reza Indragiri Amriel dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pun menjelaskan hal tersebut.

Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut ada larangan bagi siapa pun untuk menyuruh anak melakukan tindak kekerasan. Lalu ada pasal lain, yakni Pasal 15 UU yang sama berisi, salah satu hak anak adalah bebas dari perlibatan dalam aksi kekerasan.

"Merujuk pada larangan dan hak anak tersebut, bisa dipahami, anak yang mengebom dikenakan rompi bahan peledak oleh orangtuanya. Nah, anak-anak itu adalah pihak yang diajak atau dilibatkan orang lain untuk melakukan aksi kekerasan," tulis Reza dalam pesannya kepada Health Liputan6.com, ditulis Selasa (15/5/2018).

 

 

Simak video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Merampas hak anak

Mengacu pada UU Perlindungan Anak, anak-anak yang dikenakan bahan peledak adalah anak-anak yang tengah dirampas hak-haknya.

"Dengan demikian, anak-anak tersebut merupakan korban. Ini karena pihak yang mengajak atau melibatkan anak-anak untuk ikut melakukan tindak kekerasan adalah orangtua mereka sendiri. Maka, orangtua tersebut--jika masih hidup--harus dijatuhi pemberatan hukuman," Reza menambahkan.

Kesimpulannya, UU Perlindungan Anak memandu proses berpikir untuk menyebut anak-anak tersebut sebagai korban.

Masyarakat awam, apalagi otoritas penegakan hukum perlu mengetahui soal hal tersebut, anak pengebom gereja Surabaya adalah korban, bukan pelaku.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.