Sukses

Siswa yang Aniaya Guru Budi hingga Tewas Butuh Rehabilitasi?

Siswa yang aniaya guru Budi hingga tewas membutuhkan rehabilitasi agar tidak mengulangi perbuatannya.

Liputan6.com, Jakarta Kematian guru kesenian SMAN 1 Torjan, Sampang, Ahmad Budi Cahyono akibat dipukul siswanya sendiri membuat geram publik. Bahkan istri guru Budi, yang tengah hamil lima bulan mengharapkan, pelaku (siswa) mendapatkan hukuman seberat-beratnya.

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dalam rilis yang diterima Health-Liputan6.com menuliskan, UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Perlindungan Anak. Undang-undang memaparkan, hukuman yang diterima anak bila bertindak yang mengarah kejahatan.

"Tapi Undang-undang tersebut memuat sekian banyak perbedaan perlakuan terhadap anak dan orang dewasa. Salah satunya, rehabilitasi bagi ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum)," jelas Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak LPAI, Reza Indragiri melalui pesan singkat kepada Health-Liputan6.com, Senin (5/2/2018).

Pada kasus ini, siswa yang aniaya guru dapat memeroleh rehabilitasi. Tujuan rehabilitasi agar anak tidak mengulangi perbuatannya kelak.

Rehabilitasi berupa memperbaiki kondisi mental, pola pelaku saat mengekspresikan amarah, dan fantasi-fantasi kekerasan.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

https://www.vidio.com/watch/1262108-guru-yang-dipukul-murid-hingga-meninggal-dikenal-penyabar

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perlukah hukuman pidana?

Siswa yang melakukan kejahatan, seperti memukul guru Budi hingga tewas memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Menurut Reza, UU Sistem Peradilan Pidana Anak memungkinkan anak dijatuhi hukuman pidana berupa penjara.

UU Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan ancaman hukuman maksimal penjara sepuluh tahun untuk kejahatan, yang dapat dijatuhi sanksi hukuman seumur hidup maupun hukuman mati (jika dilakukan orang dewasa).

Walaupun siswa berperilaku brutal, masa depan anak perlu dipikirkan. Rentang waktu pemenjaraan, yang maksimal hanya sepuluh tahun harus tetap diisi dengan pemenuhan atas hak-haknya selaku anak-anak, di antaranya hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak rekreasi.

Namun, dalam kasus ini, anak sepatutnya memeroleh rehabilitasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.