Sukses

Punya Anak Perempuan Itu Seru Sih, tapi...

Hari ini, 11 Oktober, kehadiran anak perempuan dirayakan, seperti cerita para orangtua ini.

Liputan6.com, Jakarta Hari ini, 11 Oktober adalah Hari Anak Perempuan Sedunia. Kehadiran anak perempuan perlu dirayakan, karena ada terlalu banyak masalah yang lantas membuat mereka menjadi korban. Mulai dari perdagangan manusia, perkawinan anak, sampai korban kekerasan.

Semua itu lantas menjadikan memiliki dan membesarkan anak perempuan memiliki dilemanya tersendiri. Belum lagi, masih ada "masalah" lain, seperti pubertas, hormon, menstruasi, dan emosional yang berbeda dengan anak laki-laki.

Para orangtua yang memiliki anak-anak perempuan ini berbagi kisah mereka kepada Health-Liputan6:

1. Aryo, ayah dari 4 anak perempuan (6, 3, 1, dan 3 bulan)

Membesarkan anak perempuan itu tricky, apalagi gue ngebesarin empat anak perempuan sekaligus. Yang paling susah itu, berlaku adil. Anak perempuan itu cemburuan banget, bahkan sama saudara kandungnya sendiri.

Lalu, gue selalu memegang prinsip "trust nobody." Pernah ada ahli parenting yang ngomong, jangan pernah percayakan anak perempuan 100 persen kepada siapa pun, kecuali ibunya. Bahkan, kepada bapak kandungnya.

Sekarang gue jadi cek dobel cek setiap anak gue ke mana-mana. Dan gue suka cek dadakan ke sekolah, ke mobil jemputan, rumah temannya, sampai tempat ngaji. Gue langsung datang tanpa perlu ngabarin dan cek suasana di sana gimana.

Kekhawatiran gue berlaku juga untuk urusan teknologi, termasuk media sosial dan gadget. Banyak orang jahat yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengambil kesempatan. Sekarang banyak akun media sosial terselubung milik predator pedofil.

Contoh yang paling sering gue temuin, video-video di YouTube yang cover-nya adalah superhero atau princess, tapi di dalamnya ada adegan tak senonoh. Jadi harus selalu waspada.

 

 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

2. Fatma, Ibu dari 1 anak perempuan (9 tahun)

Ribetnya banyak sebenernya, karena perempuan itu, kan, drama banget ya. Apalagi menurun dari gue.

Pengalaman jadi ibu dari anak perempuan itu, intinya lebih ke takut nanti anak salah pergaulan, membayangkan dunia hanya seperti princess with unicorn fairytale. Jadi enggak empati sama keadaan sekitar, terlalu sensitif as in dalam menghadapi masalah semua di drama-in.

Lalu ribetnya itu, anak perempuan jauh-jauh-jauh lebih konsumtif belanja dari anak laki, again, menurun. Tapi anak cewek selalu bisa diadalkan untuk jadi sahabat cerita, jalan-jalan, dan hal yang dulu kita pikir cuma bisa dilakukan sama sahabat aja.

3 dari 5 halaman

3. Wahyu, ayah dari 2 anak perempuan (16 dan 7)

Aku baru kasih anak-anakku pegang gadget begitu masuk SMP. Sampai anakku sekarang kelas 2 SMA pun, istri masih memantau aktivitas media sosial dia. Menurutku, kita sebagai orangtua harus menjaga hidup anak-anak di lingkungan serba digital seperti sekarang ini.

Gadget itu benar-benar sudah merampas kebersamaan ortu dan anak-anaknya, lo. Mereka kalau sudah main gadget, susah banget diajak apa-apa.

Selain itu, aku juga berharap, lingkungan kita sekarang bisa lebih aman untuk anak perempuan. Jadi, aku bisa lebih tenang membiarkan mereka ke mana-mana.

Aku juga ingin anggapan bahwa perempuan itu mahkluk yang lebih lemah, hilang. Aku ingin masyarakat lebih memahami hak-hak anak perempuan, menghargai mereka sebagai sesama makhluk Tuhan, bukan merendahkan mereka karena gender.

4 dari 5 halaman

4. Dora, ibu dari 1 anak perempuan (9 tahun)

Mungkin ini enggak berlaku untuk semua anak perempuan ya, cuma Melodi itu sangat sensitif, tapi at the same time, bisa juga terlalu cuek. Jadi, untuk ngobrol sama Melodi bukan cuma harus hati-hati, tapi juga harus benar-benar masuk akal.

Lagipula, punya anak perempuan zaman sekarang memang jauh harus lebih hati-hati. Saya enggak pernah ngasih dia nginep di mana pun, kalau bukan rumah keluarga. Karena kita enggak pernah tahu kan siapa saja yang (amit-amit) pedofil. Walau dia sampai nangis-nangis, saya tetap enggak mau ambil risiko. Enggak apa-apa deh disebelin sama dia.

Masalahnya sekarang bukan cuma pedofil, anak-anak yang terekspose video porno juga banyak. Jadi, makin banyaklah itu calon-calon tersangka di kepala saya.

Yang paling bingung itu masalah keamanan. Sebagai orangtua kita pasti ingin anaknya tumbuh jadi anak yang mandiri, tapi kita semua tahu makin banyak orang jahat di luar sana. Sebisa mungkin saya memberikan Melodi rasa percaya diri dan merasa dipercaya dengan minta dia keluar rumah sendiri untuk ke warung, misalnya.

Namun itu juga tegangnya luar biasa. Dan kadang saya ikutin macam detektif.

Yang tricky juga adalah, gimana ngomong sama dia soal pendidikan seks, karena sekarang reaksinya pasti, "EWW!" Namun menurut saya memberikan pendidikan seks itu penting, karena saya tidak mau dia kenapa-kenapa.

5 dari 5 halaman

5. Layli, ibu 1 anak perempuan (17 tahun)

Membesarkan anak punya tantangan yang berbeda untuk tiap zaman, selain harus tetap mencermati isu-isu sosial dan budaya yang itu-itu saja. Saya melihat, anak perempuan masih dilabeli sebagai anak yang punya hak nomor dua setelah anak laki-laki. Namun, tetap ada perbedaan perlakuan.

Saya ingin anak perempuan saya tumbuh menjadi perempuan yang berani, adil, berbela rasa dan bahagia dengan dirinya. Sejak anak saya lahir, saya memilih baju-baju, mainan dan perlengkapan lainnya dengan pilihan netral. Misalnya warna kuning, biru, putih. Mainan blok, boneka binatang, buku cerita bukan warna "cewek" atau "princess".

Ini untuk memberi kesadaran bahwa perempuan punya pilihan yang sama dengan laki-laki dan tidak gandrung tentang isu kecantikan fisik.

Sebagai anak satu-satunya, saya berharap anak saya mandiri. Sejak kecil sudah dilatih menginap di rumah oma atau sepupu, diberi tanggung jawab atas jadwal rutin (makan, mandi, tidur) serta barang-barang bawaannya.

Keberanian dan berbela rasa dikembangkan dari keseharian. Daripada menakut-nakuti, kami memilih menjelaskan sebuah isu secara logis dan membahas konsekuensi etisnya. Kalau anak tertarik dengan hal baru, ortu harus mendukungnya.

Segala hal dan keterampilan baru selalu dicoba, sehingga bisa memperluas minat, wawasan yang akan berguna di hidupnya nanti. Kalau anak bertanya hal-hal yang aneh, ortu harus menerimanya dan mencoba menjelaskan.

Quote saya ke anak: bertanya itu gratis, jangan malu-malu.

Tiga tahun lalu tahun lalu, setelah berdiskusi, anak saya memilih masuk sekolah Katolik, dengan tujuan mendapatkan pendidikan berkarakter dan dengan sadar mencoba memahami bagaimana menjadi minoritas (kami muslim) di sebuah lingkungan.

Tantangan dunia digital pun harus dicermati. Kami keluarga penggemar layar elektronik, tapi kami sudah mengembangkan kesenangan untuk beraktivitas di outdoor, misalnya bermain di laut, kunjungan museum, menonton pertunjukan seni.

Harapan saya untuk anak-anak perempuan: jadi diri sendiri yang merdeka dan bahagia.

Oh iya, jangan lupa menjaga hubungan romantis ibu-anak. Dengan jalan berdua, ngobrol seru dan membahas hobi/kesenangan bersama. Anak harus diberi "sign" bahwa dia dicintai.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini