Sukses

Forum DAS : Indonesia Sedang dalam Krisis Air

Pembangunan sebuah negara terindikasi melanggar hak asasi manusia ketika hanya mengacu kepada infrastruktur dan abai pada lingkungan.

Liputan6.com, Jakarta Pembangunan sebuah negara terindikasi melanggar hak asasi manusia ketika hanya mengacu kepada infrastruktur dan abai pada lingkungan dan ekosistem. Kacamata developmentalis ini hakikatnya hanya menghabiskan sumber daya. Sementara itu, air sebagai salah satu sumber daya alam terus mengalami krisis yang jauh dari pemulihan. Akibatnya masyarakat seluruh dunia kesulitan mendapatkan akses air bersih yang berkualitas.

“Hak air adalah hak asasi manusia dan pembangunan tak boleh mengganggu hak masyarakat lain,” tutur Taufiqul Mujib, Natural Resources Management Coordinator Oxfam GB di dalam diskusi publik Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Minggu 22 November 2015, bertema “Hak Rakyat Atas Air untuk Pembangunan Berkelanjutan”.

Kota-kota di kepulauan Pasifik saat ini rawan kekurangan air bersih, termasuk di Jakarta. Di Jakarta permukaan tanah mengalami penurunan 10 meter per tahun akibat eksploitasi air tanah dan pembangunan gedung. Hal ini diperburuk dengan siklus bencana banjir tiap 2-5 tahunan di Ibu Kota dan air hujan hanya bisa diserap tanah sekitar 25 persen.

Kondisi demikian karena 75 persen air yang jatuh menjadi limpahan hanya menggenangi perkotaan. Hal ini menyulitkan 43 persen warga Jakarta mendapatkan pasokan air bersih. Pada 2010 PBB mengeluarkan resolusi yang menegaskan bahwa air dan sanitasi adalah hak asasi manusia. Lima tahun kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD RI 1945.

Keberpihakan dunia dan negara terhadap hak atas air merupakan kemenangan masyarakat. Meski demikian pencapaian dan pemenuhan hak atas air masih jauh panggang dari api. Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu jawaban normatif terkait krisis air di berbagai belahan dunia.

Berkelanjutan berarti memiliki komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan, menghindari, mencegah kerusakan serta memperbaiki pemahaman dan tindakan dalam interkoneksitas lingkungan, ekonomi dan sosial. Di sisi lain, pola konsumsi air bersih masyarakat Indonesia cukup memprihatinkan. Air minum dalam kemasan (AMDK) paling diminati.

Oxfam mengidentifikasi orang Indonesia mengonsumsi 144 liter air per hari, atau sekitar delapan galon per hari dan 65 persennya adalah konsumsi AMDK. Tercatat pada 2014 konsumsi AMDK mencapai 23,1 miliar liter per tahun, setara dengan Rp 21 triliun.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Nasional, Naik Sinukaban menjelaskan bahwa Indonesia berada dalam krisis air. Ketersediaan air bersih saat ini bisa dilihat dari banyaknya sungai yang mengalirkan air bersih. “Pada 2025 sebanyak 321 juta penduduk akan kesulitan mendapatkan air bersih,” ungkapnya.

Hal tersebut terjadi lantaran permintaan air bersih naik 1,33 kali, berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang kekurangan air. Terkait regulasi untuk memenuhi hak atas air bagi rakyat Indonesia, Mahkamah Konstitusi memberikan sejumlah pembatasan dalam pengelolaan sumber daya air. Misalnya setiap perusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat.

Sebagai cabang produksi yang penting, air mutlak harus dalam pengawasan dan pengendalian negara. BUMN dan BUMD dalam hal ini memainkan peran penting pengelolaan air. Selain itu, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu. (*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini