Sukses

Kekerasan Terjadi Lagi di Sekolah, Kenapa?

Kasus kekerasan lagi-lagi kembali terjadi di sekolah. Yang sedang banyak dibicarakan adalah kasus kekerasan yang menimpa seorang siswi SD

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan lagi-lagi kembali terjadi di sekolah. Yang sedang banyak dibicarakan adalah kasus kekerasan yang menimpa seorang siswi SD di Bukit Tinggi. Pelakunya adalah teman-teman sekolahnya sendiri. Lewat pemberitaan dan media sosial, kasus ini menyeruak ke permukaan. Seperti halnya banyak kasus lainnya, kasus ini dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Kasus yang dapat dilihat hanyalah sebagian kecil dari lebih banyak kasus yang terjadi yang mungkin tenggelam dari pengamatan publik.

Agresi sendiri tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan umat manusia. Dalam beberapa kasus, agresi dibutuhkan untuk mempertahankan diri dan menjaga kelangsungan hidup. Penggunaan agresi untuk kepentingan ini tidak hanya berlaku pada manusia namun juga berlaku pada mahluk hidup lainnya. Oleh karenanya, dapat dimaklumi penggunaan agresi untuk kepentingan tertentu namun tentu saja bukan untuk dimunculkan dalam segala situasi. Agresi yang muncul dalam situasi yang sebenarnya tidak membutuhkan penggunaan agresi akan memunculkan suatu masalah. Entah diketahui secara terbuka atau tersembunyi, kekerasan akan memberikan dampak yang buruk baik bagi pelaku, korban, maupun lingkungan di sekitarnya.

Perilaku agresif dapat muncul secara kurang adaptif di berbagai konteks. Salah satunya adalah dalam konteks pendidikan formal. Pelaku dan juga korbannya adalah mereka yang berada dalam wilayah tersebut yaitu guru, karyawan, bahkan para siswa sendiri. Agresi oleh para siswa dengan korban siswa lainnya sudah bukan menjadi fenomena yang langka di negri ini. Maraknya perilaku kekerasan di sekolah oleh anak didik sebenarnya tidak muncul begitu saja.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pendorong munculnya kekerasan

Ada berbagai hal yang dapat mendorong timbulnya perilaku tersebut.

  1. Penanaman nilai dan modeling dari keluarga

Bagi anak, keluarga adalah tempat mereka belajar cara memandang dunia. Lewat kaca mata orangtuanyalah anak menilai dan bersikap terhadap berbagai hal yang ada di dunia termasuk di dalamnya adalah bagaimana mereka melihat lingkungan sosial di sekitarnya. Cara pandang ini di dapat lewat nilai-nilai hidup yang disampaikan oleh keluarga dan kemudian akan menjadi nilai hidup yang dimiliki anak. Nilai hidup tersebut disampaikan saat orangtua mengungkapkan apa yang penting bagi anak. Nilai hidup juga disampaikan saat orangtua memperlihatkan bagaimana mereka melihat dan bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Munculnya berbagai fenomena kekerasan yang terjadi di ruang domestik keluarga juga merupakan nilai hidup yang akan dipelajari anak. Misalnya kekerasan antar ayah dengan ibu, antar orangtua dan anak, bahkan antar keluarga sang anak dengan tetangga-tetangganya. Menyadari hal ini dan kemudian mengurangi penanaman nilai kekerasan menjadi agenda yang penting dilakukan dalam keluarga

  1. Banyaknya model kekerasan di masyarakat

Selain mempelajari nilai hidup dari keluarga, anak juga memperlajarinya dari masyarakat di sekitarnya. Setiap hari, anak melihat berbagai hal yang ada di masyarakat. Hal-hal tersebut selain dapat diamati secara langsung juga tersaji lewat berbagai media seperti media cetak, televisi, dan yang sekarang sudah merebut banyak ruang hidup manusia dan juga anak yaitu internet. Maraknya berbagai aksi kekerasan yang dilakukan berbagai golongan masyarakat bahkan mereka yang dipandang sebagai golongan terhormat akan membisikkan nilai hidup tertentu yang secara perlahan akan terpahat dalam diri anak. Mengurangi model agresif dan memberikan model-model lain yang lebih konstruktif perlu mulai dilakukan. Memang jika ingin mengubah anak-anak kita menjadi lebih baik, orang-orang dewasa pun perlu melakukan hal yang sama terlebih dahulu.

3 dari 3 halaman

Pembiaran

  1. Pembiaran adanya perilaku kekerasan oleh anak

Dalam ilmu perilaku, salah satu yang membuat perilaku tetap ada adalah tidak adanya konsekuensi berupa hukuman atas perilaku tersebut. Perilaku agresif yang dilakukan oleh masyarakat termasuk anak seringkali tidak mendapatkan konsekuensi yang dapat menghentikan atau paling tidak menguranginya. Dalam beberapa kasus, perilaku ini bahkan dibiarkan dan didorong untuk muncul karena alasan-alasan yang bersifat politis atau untuk mendorong kepentingan tertentu. Kesadaran bersama yang mendorong pada perubahan masyarakat untuk meminimalkan kekerasan perlu untuk mulai dilakukan

  1. Konformitas

Bagi anak khususnya mereka yang menjelang remaja, salah satu pendorong munculnya suatu perilaku termasuk perilaku agresif adalah motivasi untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman lainnya. Bagi  anak-anak remaja ini, salah satu dorongan terbesar untuk bertindak adalah menjadi sama dengan teman-teman lainnya. Mereka sering kurang mempertimbangkan nilai-nilai yang mereka miliki sendiri dan mencari jati dirinya dengan cara melebur dengan teman yang lain dalam sebuah kelompok termasuk ketika melakukan suatu tindakan agresif. Mendorong anak mencari teman dan membentuk kelompok dengan kegiatan yang lebih konstruktif dapat menjadi alternatif pemecahan masalah dalam konteks ini.

  1. Tekanan psikologis

Ada pendapat juga yang mengatakan bahwa tindakan agresif merupakan perwujudan dari suatu frustasi yakni terhambatnya suatu keinginan. Remaja sendiri adalah individu yang secara umum memiliki banyak harapan. Hal ini juga didukung oleh energi yang besar. Jika harapan yang didukung dengan energi yang besar ini terhambat, mereka akan mencari saluran lain dan salah satunya dalam bentuk perilaku agresif. Dalam perspektif ini, membuka saluran-saluran yang terhambat dapat mendorong anak untuk mengurangi perilaku agresifnya. Pembukaan saluran dapat dilakukan lewat mengarahkan energi anak pada kegiatan yang lebih kobnstruktif. Lebih mendasar dari hal tersebut adalah mengurangi berbagai larangan yang sebenarnya tidak perlu yang pada akhirnya dapat menghambat saluran energi anak. Misalnya membiarkan anak kreatif tanpa terlalu banyak menyalahkan atau memberikan penghargaan bahkan mendorong anak untuk berbicara dan mengungkapkan gagasan dan keinginannya sendiri.

Y Heri. Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Yogyakarta

Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini