Sukses

Terkuak, Kehidupan Putri Diktator `Sinting` Afrika di Korea Utara

Sebelum dieksekusi di tahun 1979, diktator Macias Nguema mengirim istri dan anak-anaknya ke Pyongyang.

Francisco Macias Nguema adalah presiden pertama Equatorial Guinea, yang menjabat sejak 1968-1979. Namun di hari itu, 7 Mei 1971, ia 'terlahir kembali' sebagai diktator. Macias Nguema mengeluarkan dekrit yang membatalkan sebagian UUD 1968, menjadikannya 'pusat kekuasaan pemerintahan dan semua lembaga'.

Ia menyatukan semua partai menjadi satu di bawah kekuasaannya yang absolut. Macias Nguema mengangkat dirinya sendiri menjadi presiden seumur hidup. Kemudian hari ia bahkan mencabut UUD.

Macias Nguema juga menutup semua sekolah swasta, mengusir para cendekiawan, menutup rumah sakit, menjadikan dirinya sebagai  'Guru Besar Sains, Pendidikan dan Kebudayaan'.

Mengaku sakti, ia membunuh lawan-lawannya, menjarah harta negara, membunuh kepala bank sentral dan memindahkan semua uang negara ke rumah pribadinya. Tak ayal, lebih dari sepertiga rakyatnya melarikan diri ke luar negeri, untuk menghindari kepemimpinannya yang brutal dan sinting. Apalagi, Macias Nguema tak segan memerintahkan eksekusi terhadap satu keluarga atau warga satu desa, tak pandang bulu.

Nguema diduga mengalami kultus kepribadian ekstrem. Kesintingannya mungkin efek samping dari konsumsi bhang dan iboga dalam jumlah besar. Namun, sebesar apapun, kuasa manusia akan redup. Ia dieksekusi pada 29 September 1979. Di usia 55 tahun.

Hanya beberapa saat sebelum eksekusi, di kala teman-temannya menjauh, Macias Nguema minta pertolongan pemimpin Korut. Ia mengirim istri dan anak-anaknya ke Pyongyang --di mana mereka tinggal selama 15 tahun.

Dan kini, sebuah memoar mendokumentasikan kehidupan mereka di Korut. Penulisnya adalah anak bungsu Macias Nguema, Monique Macias. Ia berkisah tentang hari-hari di sekolahnya, tentang bagaimana menembakkan senapan Kalashnikov di akademi militer bergengsi tempat Kim Jong-il dididik.

Pengakuan Putri Diktator



"Kenangan masa kecilku dimulai di naik pesawat dan tiba di Pyongyang," kata Monique, yang kini berusia 40-an tahun, seperti dimuat Daily Mail, 2 Oktober 2013.

"Aku tahu cara pikir orang Korea, bagaimana bicara dengan mereka. Karena mereka mengajarkan itu padaku. Mereka membentukku," tambah dia.  Bahkan, memoar berjudul "Saya Monique, dari Pyongyang", ditulis dalam huruf dan Bahasa Korea.

Menjadi segelintir orang berkulit hitam di Pyongyang dan tinggal di negara yang aneh, mengajarkan pada Monique untuk melihat dunia dengan cara pandang berbeda.

Dan, ia punya alasan mempublikasikan memoarnya saat ini, ketika hubungan antara Korut dan Korsel tetap tinggi.

"Meski Utara dan Selatan mengatakan mereka ingin unifikasi, warga dua negara sama sekali tak mengenal satu sama lain. Mereka harus mengubur segala prasangka."

Monique yang meninggalkan Korut pada 1994 dan kini tinggal di Spanyol, sehari-hari menggunakan Bahasa Korea --hasil pergaulannya dengan kaum elit Korut.

Ia bahkan pernah bertemu langsung dengan pendiri Korut,  Kim Il-sung, yang menyuruhnya belajar dengan baik --tipikal kecerewetan kakek Korea.

Selama bersekolah di Mangyongdae Revolutionary School, Monique dan kakaknya,  Francisco mengenakan seragam ala militer, dengan topi hijau dihiasi dengan simbol bintang merah mengkilap. Tak hanya mendapat pelajaran umum, mereka juga diajari cara bertahan hidup.

"Minggu pertama, kami semua merasa begitu lapar setelah latihan menembak, memanjat, lari, sehingga kami menyantap jatah mingguan hanya dalam tiga hari. Selama empat hari berikutnya, kami kelaparan," kata dia. "Tapi kami belajar untuk mengatur diri kita sendiri."

Setiap murid dibekali pelatihan menggunakan senapan Kalashnikov, membongkarnya, membersihkan, lalu memasangnya kembali.

"Hampir setiap orang di sana bisa menembak di usia 18 atau 19 tahun. Namun aku bisa menembak saat berusia 14 tahun," kata dia.

Monique juga masih ingat reaksi warga Korut saat beredar rumor peristiwa Tiananmen 1989 di Beijing. "Aku merasa, mahasiswa Pyongyang saat itu juga berpikir tentang perubahan. Meski media Korut tak mungkin melaporkannya, itu sudah jadi rahasia umum."

Dalam sistem pendidikan Korut, gagasan anti-Amerika adalah pengajaran abadi. Monique ingat, saat ia pergi ke Beijing mengunjungi kerabat, ia ketakutan saat bertemu warga AS.

"Saat itu tak semua orang di sana mengerti Bahasa Inggris. Aku tersesat, saat bertemu pria kulit putih, aku bertanya apakah ia bicara Inggris. Saat ia mulai bicara, aksennya Amerika," kata dia. "Aku takut bukan main, pikirku saat itu, 'ya Tuhan, orang Amerika'. Tanganku berkeringat dingin, aku langsung lari. Aku ingat pria itu berteriak, 'hei, berhenti. Aku tak akan memakanmu'."

Dari pengalamannya, Monique tak yakin, pemerintahan Korut bakal mudah digulingkan. "Mungkin bisa makin terbuka seperti China, tapi bakal lambat, sangat lambat." (Ein/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini