Sukses

3.000 Polisi Jerman Tangkap Pelaku Makar

Jerman tidak main-main dalam menangkap pelaku makar.

Liputan6.com, Berlin - Polisi Jerman dikerahkan untuk menangkap orang-orang yang ingin makar di berbagai wilayah. Salah satu pelakunya adalah aristokrat Jerman.

Dilaporkan DW, Kamis (8/12/2022), para pelaku disebut ingin menjatuhkan pemerintahan Jerman. Sekitar 3.000 polisi terlibat untuk menggeledah lebih dari 130 properti di Jerman.

Polisi mempercayai bahwa para pelaku terkait dengan gerakan sayap kanan jauh (far-right). Ada tentara yang ikut terlibat dalam kasus ini. Aristokrat yang terlibat bernama Heinrich XIII.

Ada juga pelaku yang ditangkap di luar negeri, satu di Italia, satu lagi di Austria.

Ada 25 orang yang ditahan, namun ada 27 orang lainnya yang turut dicurigai terlibat pada jaringan terorisme yang ingin menjatuhkan pemerintahan demokrasi.

Tokoh sentral dari makar ini diduga adalah Pangeran Heinrich XIII yang ditangkap di Frankfurt. Pangeran berusia 71 tahun itu merupakan seorang pengusaha.

Menurut laporan BBC, para pelaku juga termasuk kelompok ekstremis Reichburger (Rakyat Reich) yang sering berurusan dengan aparat karena masalah kekerasan, rasisme, dan teori konspirasi anti-semit.

Reich berarti kekaisaran. Kelompok pro-kekaisaran itu menolak mengakui negara modern Jerman yang didirikan setelah Perang Dunia II. Kelompok ini turut terlibat dalam konspirasi COVID-19.

Ada juga tersangka yang berasal dari gerakan QAnon yang menyebut negara mereka dipimpin oleh "deep state" yang melibatkan polisi rahasia.

Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser menegakan bahwa pihak berwenang akan menggunakan langkah hukum sepenuhnya untuk melawan "musuh-musuh demokrasi".

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kanselir Jerman Olaf Scholz Bakal Terus Berunding dengan Putin hingga Rusia Mundur dari Ukraina

Beralih ke isu invasi Rusia, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan pada Minggu 4 Desember 2022 merupakan sebuah kesalahan besar untuk berhenti berbicara sama sekali dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Dilansir VOA Indonesia, Senin (5/12), Scholz menyampaikan hal itu setelah dirinya dan Putin berbincang melalui sambungan telepon Jumat 2 Desember lalu untuk mendiskusikan invasi Rusia ke Ukraina yang masih berlanjut.

"Itu sebabnya penting bagi presiden Prancis dan saya, sebagai perwakilan negara-negara G7 dan dua negara anggota NATO, untuk kembali mengupayakan dialog. Namun, tanpa ilusi," kata Scholz pada sebuah upacara penganugerahan penghargaan Hadiah Marion Doenhoff yang tahun ini diberikan kepada Irina Scherbakowa, pendiri organisasi HAM Rusia Memorial.

Scholz mengatakan dirinya membahas serangan Rusia terhadap infrastruktur energi Ukraina dan perlunya pasukan Rusia untuk mundur dari Ukraina dalam pembicaraan telepon itu.

"Saya akan terus melakukannya, berapa lama pun perbincangan itu berlangsung," tambah Scholz.

Dalam pidatonya sebelum menyerahkan hadiah itu kepada Scherbakowa, Scholz memuji perjuangan perempuan itu dan bahwa hadiah itu diberikan kepadanya untuk mewakili semua warga Rusia yang dapat membayangkan "masa depan Rusia yang berbeda, lebih baik dan lebih cerah."

Memorial juga menerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini bersama dengan pegiat hak asasi manusia asal Belarusia Ales Bialiatski dan organisasi HAM Ukraina Center for Civil Liberties.

3 dari 4 halaman

Sebut Vladimir Putin Pakai Energi Sebagai Senjata

Sebelumnya, Kanselir Jerman Olaf Scholz pada Kamis (20/10) mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin menggunakan energi sebagai senjata, tetapi taktiknya itu hanya akan membuat sekutu-sekutu Barat semakin kuat bersatu dalam mendukung Ukraina.

Scholz mengemukakan pernyataan itu kepada parlemen Jerman sebelum KTT Energi Uni Eropa. KTT tersebut merupakan pertemuan kedua blok beranggotakan 27 negara itu dalam dua pekan sewaktu mereka berupaya menurunkan harga energi dan mengatasi perbedaan pendapat mengenai cara melakukannya.

Scholz menyarankan Uni Eropa berkoordinasi erat dengan para konsumen gas lainnya, seperti Jepang dan Korea, agar mereka tidak saling bersaing, sambil bernegosiasi dengan produsen dalam menetapkan harga yang pantas.

Pemimpin Jerman itu mengatakan ia yakin sekutu-sekutu penghasil energi seperti AS, Kanada atau Norwegia, "memiliki kepentingan dalam memastikan bahwa energi di Eropa tidak menjadi tak terjangkau."

4 dari 4 halaman

AS Klaim Tidak Pernah Dorong Serangan Ukraina ke Rusia

Amerika Serikat mengatakan pada Selasa (6/12) bahwa pihaknya tidak “mendorong” Ukraina untuk menyerang Rusia setelah terjadi serangan drone terhadap pangkalan-pangkalan militer Rusia yang secara luas dianggap dilakukan oleh Kyiv.

“Kami tidak mendorong atau mengizinkan Ukraina untuk menyerang di dalam wilayah Rusia,” kata Menteri Luar Negeri Antony Blinken kepada wartawan.

“Tapi yang penting adalah memahami apa yang dialami warga Ukraina setiap hari dengan agresi Rusia yang sedang berlangsung,” katanya. Dia menuduh Rusia “menggunakan musim dingin sebagai senjata” melalui serangan terhadap berbagai infrastruktur sipil.

Blinken mengatakan “tekad kami – bersama dengan banyak mitra-mitra lain di seluruh dunia – untuk memastikan bahwa mereka memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri, untuk mempertahankan wilayah mereka, untuk mempertahankan kebebasan mereka.”

Para ahli percaya bahwa Ukraina menembus wilayah udara Rusia dengan pesawat tak berawak sederhana era Soviet dan bukan bantuan militer miliaran dolar yang diberikan oleh negara-negara Barat sejak invasi Moskow pada 24 Februari.

Berbicara di samping Blinken setelah pembicaraan dengan mitra mereka dari Australia, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan Washington tidak menghentikan Ukraina untuk mengembangkan rudal jarak jauhnya sendiri.

“Jawaban singkatnya adalah tidak. Kami sama sekali tidak melakukan itu,” kata Austin. “Kami tidak bekerja untuk mencegah Ukraina mengembangkan kemampuan mereka sendiri,” tambahnya.

Rusia mengatakan tiga orang tewas dan dua pesawat rusak dalam serangan Senin di tiga pangkalan jauh ke dalam wilayahnya.

Presiden Joe Biden secara terbuka mengatakan bahwa Washington tidak akan memberikan kemampuan rudal jarak jauh kepada Ukraina, karena khawatir akan eskalasi yang akan membuat Amerika Serikat terlibat lebih langsung dalam upaya melawan Rusia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.