Sukses

Kasus COVID-19 di China Tinggi, Tes CPNS Batal

Meski protokol COVID-19 sangat ketat, kasus infeksi Virus Corona di China melonjak. Presiden Xi Jinping lantas menjadi target demo.

Liputan6.com, Beijing - Lonjakan kasus COVID-19 di China membuat tes CPNS batal. Kasus harian melonjak hingga 40 ribu. 

Jumlah kasus harian di China tetap melonjak di China meski pemerintahan Presiden Xi Jinping telah menerapkan kebijakan COVID-19 yang ketat, termasuk lockdown regional di beberapa kota besar. 

Berdasarkan laporan media pemerintah China Global Times, Selasa (29/11/2022), kasus 40 ribu sehari itu terjadi pada hari Minggu kemarin. 

Komisi kesehatan China menyebut ada 9.108 kasus di Provinsi Guangdong dan 3.888 kasus di ibu kota Beijing. 

Pembatalan tes CPNS diumumkan oleh Administrasi Pelayanan Sipil Nasional di China pada Senin (28/11). Jadwal baru akan dirilis sesuai keadaan epidemi.

Pihak Administrasi menyebut lebih 2,5 juta orang mendaftar untuk tes CPNS. Jumlah lowongan yang tersedia adalah 37.100 di berbagai departemen dan lembaga yang menjadi alokasi kuota pemerintah pusat tahun 2023.

Selain tes CPNS batal, ada juga pembatalan tes Bahasa Inggris untuk kampus oleh Otoritas Ujian Pendidikan Beijing.

Sejumlah acara juga batal, seperti Konferensi Tahunan Industri Game China yang digelar China Audio-video and Digital Publishing Association. Rencananya acara digelar di Guangzhou. Summit Tahunan Industri E-sports China yang seharusnya terlaksana di Shenzhen juga batal.

Dalam sepekan terakhir, demo pecah di berbagai wilayah di China, termasuk Beijing, Shanghai, dan Chengdu. Warga menolak kebijakan COVID-19 yang ketat serta menuntut Presiden Xi Jinping agar mundur.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kertas Kosong

Warga China terus melancarkan protes terhadap kebijakan COVID-19 dari Presiden Xi Jinping. Di negara yang penuh sensor tersebut, warga China menggunakan cara kreatif untuk protes: kertas kosong. 

Kertas kosong tanpa tulisan itu ditampilkan para pendemo sebagai tanda protes kepada pemerintahan Xi Jinping. Taktik itu pun menjadi cara jitu agar mereka tak ditangkap dan menghindari sensor, sebab aparat China sangat agresif menyensor retorika anti-pemerintah.  

Demo terjadi di kota metropolitan seperti Beijing dan Shanghai. 

Berdasarkan laporan AP News, Senin (28/11/2022), para polisi menggunakan pepper spray untuk menghalau para pendemo yang menuntut Presiden Xi Jinping agar lengser. Para pendemo bahkan meminta supaya pemerintahan satu partai bisa berakhir.

Para reporter juga melihat pendemo ditahan dan dibawa dengan bus.

Unjuk rasa itu menyebar dari pekan lalu. Mahasiswa turut ikut serta, dan para pegawai di pabrik iPhone di China juga ikut protes.

Pendemo di Shanghai bahkan berteriak menolak Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis China (PKC.

"Xi Jinping! Turun! PKC! Turun!" demikian teriakan masyarakat.

AP News menyebut ada sekitar 300 pengunjuk rasa di Shanghai pada Sabtu (26/11).

Kebijakan COVID-19 di China juga berat, yakni zero COVID. Apabila kasus baru dideteksi, pemerintah langsung jor-joran melaksanakan lockdown.

Namun, kasus di China Daratan masih tetap tinggi. China Daily melaporkan 3.648 kasus baru COVID-19 pada Sabtu lalu. Ada tambahan 2.043 pasien keluar dari rumah sakit pada hari yang sama.

3 dari 4 halaman

Amerika Serikat Dukung Demonstrasi Warga China Tolak Lockdown COVID-19

Amerika Serikat mendukung hak orang untuk melakukan protes secara damai di China. Hal ini disampaikan oleh Gedung Putih atas aksi pengunjuk rasa di beberapa kota di China telah berdemonstrasi menentang tindakan berat COVID-19.

Dilansir Channel News Asia, Selasa (29/11), olisi China pada hari Senin memperketat keamanan di lokasi protes akhir pekan di Shanghai dan Beijing, setelah kerumunan di sana dan di kota-kota China lainnya dan di sejumlah kampus universitas menunjukkan pembangkangan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemimpin Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu. 

"Kami sudah lama mengatakan setiap orang memiliki hak untuk melakukan protes secara damai, di sini di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Ini termasuk di RRC (Republik Rakyat China)," kata Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.

Amerika Serikat menyatakan fokus pada "apa yang berhasil" untuk memerangi virus corona, termasuk dengan meningkatkan tingkat vaksinasi.

"Kami pikir akan sangat sulit bagi Republik Rakyat Tiongkok untuk dapat menahan virus ini melalui strategi nol-COVID mereka," kata NSC.

Awal bulan ini, Presiden Joe Biden mengadakan pembicaraan langsung dengan Xi di Bali, dan tanggapan Gedung Putih tampaknya menunjukkan keinginan untuk mengambil jalan yang hati-hati dan menghindari memperburuk situasi.

4 dari 4 halaman

Reaksi Biden

Diminta reaksi Biden terhadap pengunjuk rasa yang menyerukan Xi untuk mundur, juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby kemudian mengatakan dalam jumpa pers: "Presiden tidak akan berbicara untuk pengunjuk rasa di seluruh dunia. Mereka berbicara untuk diri mereka sendiri."

Sebaliknya, Kirby mengatakan di awal bulan bahwa Biden mengekspresikan solidaritas dengan pengunjuk rasa di Iran dengan mengatakan pada rapat umum politik bahwa "kami akan membebaskan Iran".

Kirby mengatakan Biden selalu mendapatkan informasi terbaru tentang apa yang terjadi di dalam China dan "tetap memperhatikan aktivitas protes". Dia mengatakan pemerintah mengawasi demonstrasi dengan cermat, dan bahwa China tidak meminta vaksin dari Amerika Serikat.

Beijing dan Washington telah menangani penyebaran pandemi virus corona dengan cara yang sangat berbeda, perpecahan yang mengubah persaingan antara dua ekonomi terkemuka dunia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.