Sukses

CIFP 2022 Angkat Isu Perang Ukraina hingga Peran Indonesia

CIFP 2022 mengangkat isu tentang perang Ukraina yang telah memberi dampak krisis secara global. Lalu, bagaimana sikap Indonesia terhadap perang ini?

Liputan6.com, Jakarta - Conference on Indonesian Foreign Policy atau CIFP 2022 merupakan konferensi akbar mengenai politik internasional Indonesia yang diselenggarakan oleh Foreign Policy of Indonesia (FPCI) di The Kasablanka Hall Jakarta, pada Sabtu, 26 November 2022.

Konferensi ini merupakan diskusi maraton dalam sehari yang membahas mengenai politik global yang saat ini terjadi. Salah satu yang dibahas adalah Russia - Ukraine War: What is The Latest Update? How Should Indonesia Respond?

Pada sesi diskusi ini, para panelis terdiri dari Anggota Komisi I DPR RI Christina Ariyani, Mantan Dubes Indonesia untuk Ukraina Yuddy Krisnandi, Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Radityo Dharmaputra, Komisaris Tempo Bambang Harymurti, dan dosen Binus University Curie Maharani sebagai moderator.

Bambang Harymorty, menjelaskan dampak kehancuran akibat perang di Ukraina. "Invasi Rusia yg direncanakan hanya empat hari sudah berlangsung sepuluh bulan, dengan 100 juta bangunan hancur, lebih dari enam ribu sipil Ukraina meninggal, dan ribuan warga Ukraina dideportasi secara paksa oleh Rusia ke negaranya", ujar Komisaris Tempo.

Terlebih, dua reaktor nuklir di Ukraina rawan terdampak tembakan-tembakan misil Rusia. Sehingga, perang Ukraina menjadi masalah terbesar dunia saat ini, tambahnya.

Bambang juga menjelaskan terkait situasi terkini perang Ukraina, "Rusia berhasil dipukul mundur, terakhir berada di seberang Sungai Dnipro. Ada kemungkinan (perang) dihentikan dulu."

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Alasan Rusia Bersikeras Halangi Ukraina Bergabung ke NATO hingga Lakukan Invasi?

Kemudian, apa yang sebenarnya mendasari permasalahan Rusia-Ukraina?

Dosen Unair Radityo Dharmaputra menjelaskan, pada dasarnya Ukraina adalah negara yang merdeka dan berdaulat yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berhak menentukan nasib negaranya sendiri.

Ia melanjutkan, "Namun, inilah kesalahan Rusia yang memaksakan dirinya agar negara-negara bekas Uni Soviet tetap berporos padanya. Ia memaksakan Ukraina agar tetap di dalam Eurasian Economic Community, sementara hasil referendum 2013, lebih dari 70% rakyat Ukraina menghendaki negaranya untuk bergabung dengan masyarakat ekonomi Eropa."

Menurut Radityo, Ukraina telah merasakan getirnya kehidupan di bawah kekaisaran Rusia saat rezim Uni Soviet berkuasa. "Pada 1990, Ukraina mempunyai hak menentukan nasibnya sama seperti 15 negara lain yang membubarkan diri dari Uni Soviet. Namun, Rusia memiliki cara pandang yang keliru, yang melihat dirinya lebih tinggi di antara negara-negaraeks-Uni Soviet lainnya."

Dosen HI Unair itu mengaitkan dengan masalah psikologi sosial dari para pemimpin Rusia yang selalu melihat negara-negara bekas Uni Soviet sebagai bagian dari daerah kekuasaannya. "Sosiologi masyarakat Rusia memiliki sistem kasta. Tidak kurang dari sepuluh kasta, dengan kasta tertinggi dari kelompok bangsawan, militer, dan pengusaha, sementara paling rendah adalah petani dan orang-orang miskin," tambahnya.

Ia menduga alasan psikologis 'megalomenia', di mana ada keinginan untuk menguasai secara besar-besaran, kemungkinan adalah hal yang mendasari invasi Rusia. 

 

3 dari 4 halaman

Peran Indonesia

Lalu, bagimana dengan peran Indonesia, yang secara geografis terletak begitu jauh? Apakah Indonesia bertanggung jawab menyelesaikan konflik ini?

Anggota DPR Christina Ariyani menjelaskan bahwa terselesaikannya konflik Rusia-Ukraina bukanlah tanggung jawab Indonesia, tapi ini menjadi bagian dari kepentingan Indonesia. "Ini bukan tanggung jawab, tapi kepentingan kita. Karena semua orang terkena dampaknya, termasuk kita. Kita tau krisis ekonomi yang terjadi adalah akibat konflik ini," ujarnya.

Ia melanjutkan, Indonesia memiliki pilihan apakah mau berperan secara aktif dengan menjadi mediator melalui politik internasional, atau sekadar berperan secara pasif. "Intinya, kita ingin ada perdamaian, kita tidak tahu sampai kapan, tapi kita tau dampaknya buruk," ujar anggota Komisi I DPR RI itu.

Dosen Radhityo menambahkan, "Bagaimana kita bisa menerima negara yang dengan alasan tidak jelas menginvasi negara lain."

 

 

4 dari 4 halaman

Peran Indonesia di Tengah Konflik Negara Lain di Masa Lalu

Sepakat dengan panelis lainnya, Bambang mengaitkan peran Indonesia dengan sejarah dan konstitusi yang ada.

"Dalam Konstitusi Indonesia, tercantum kalimat 'ikut melaksanakan ketertiban dunia'. Di sini, Indonesia memiliki kewajiban moral. Apalagi, sejarahnya, Ukraina merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan indonesia. Kemudian, pada KTT Asia-Afrika 1955, bisa dilihat Dasasila Bandung," ujar Bambang.

Kemudian, Bambang menjelaskan mengenai opsi Land for Peace yang termuat dalam UN Security Council Resolution 242. "Land for Peace yang artinya tanah ditukar dengan keamanan, pernah dilakukan Presiden Carter untuk menyelesaikan konflik China-Israel. Opsi ini juga pernah ditawarkan oleh Indonesia pada konflik Indochina antara Kamboja-Vietnam yang menghasilkan Jakarta Informal Meeting dan Conference de Paris 1991," ujar Bambang.

"Mumpung besi masih panas, kita lakukan. Para pendahulu kita sudah pernah melakukannya," pungkas Bambang.

 

Penulis: Safinatun Nikmah 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.