Sukses

UNICEF: Anak-anak Paling Menderita Akibat Krisis Iklim

Analisis UNICEF yang dirilis hari Selasa mendapati, 27,7 juta anak di 27 negara terkena dampak banjir sepanjang tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta - Analisis UNICEF yang dirilis hari Selasa mendapati, 27,7 juta anak di 27 negara terkena dampak banjir sepanjang tahun ini.

Di antaranya di Chad, Gambia, dan timur laut Bangladesh yang mencatat banjir terburuk dalam satu generasi.

Badan itu melaporkan, banjir yang memecahkan rekor di Pakistan menewaskan hampir 1.700 orang, 615 di antaranya anak-anak.

Direktur komunikasi dan advokasi dunia UNICEF, Paloma Escudero, mengatakan, ia melihat sendiri dahsyatnya bencana dalam kunjungannya ke Pakistan pekan lalu, dikutip dari laman DW Indonesia, (9/11/2022)

Dia mengatakan, kebutuhannya sangat besar dan menambahkan 10 juta anak perempuan dan laki-laki membutuhkan dukungan penyelamatan nyawa segera.

“Banjir mencemari air minum, yang menimbulkan penyakit mematikan yang ditularkan melalui air. Penyakit itu seperti diare yang parah, yang diperburuk oleh kekurangan gizi yang sudah akut. Perkiraan menunjukkan, hampir 1,6 juta anak di daerah banjir dapat menderita kekurangan gizi yang parah,” ujarnya.

Ia mencatat, air yang tergenang adalah tempat berkembang biak yang baik bagi nyamuk, jadi meningkatkan risiko malaria dan demam berdarah. Ia memperingatkan, banyak anak dan remaja yang rentan akan meninggal dalam beberapa hari atau pekan mendatang jika tanpa tindakan segera.

Escudero berbicara di tautan video dari Sharm el-Sheikh, tempat berlangsungnya konferensi perubahan iklim COP27. Ia menambahkan para ilmuwan mendapati, banjir di Pakistan baru-baru ini telah diperburuk oleh perubahan iklim. Walaupun anak-anak tidak melakukan kesalahan dalam masalah ini, namun mereka yang paling menderita.

“Di Afrika, seperti di Pakistan, anak-anak menderita dampak akibat bencana iklim yang bukan akibat perbuatan mereka. Dari kekeringan ekstrem dan risiko kelaparan di Somalia, hingga hujan yang tidak menentu di Sahel, UNICEF ditantang untuk menanggapi keadaan darurat yang yang disebabkan iklim dengan dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tambahnya.

UNICEF melaporkan, hampir setengah dari lebih 20 juta orang yang menghadapi kelaparan di Djibouti, Ethiopia, Kenya, dan Somalia karena kekeringan adalah anak-anak.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

UNICEF: Hampir Semua Anak di Bumi Menderita Tahun 2050 Akibat Gelombang Panas

Cuaca panas menjadi risiko kesehatan bagi banyak negara, tetapi data baru menunjukkan bahwa hampir setiap anak akan mendapat efek buruk dari gelombang panas pada tahun 2050, Organisasi untuk Anak-anak PBB (UNICEF) memperingatkan hal ini.

Menurut badan PBB, setidaknya setengah miliar anak sudah merasakan efek buruk dari gelombang panas dalam jumlah besar karena perubahan iklim, dikutip dari Xinhua, Rabu (26/10/2022).

Pada pertengahan abad ini, diperkirakan bahwa lebih dari 2 miliar anak-anak akan terkena gelombang panas "lebih sering, lebih lama, dan lebih parah".

"Krisis iklim berdampak pada hak-hak anak dan itu sudah memakan korban yang menghancurkan kehidupan dan masa depan anak-anak," kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell.

Kebakaran hutan dan gelombang panas tahun ini yang melanda India, Eropa, dan Amerika Utara adalah "contoh serius dari dampak perubahan iklim pada anak-anak," tambahnya.

Data baru yang diterbitkan dalam laporan badan tersebut menyebut, ini adalah tahun terdingin terakhir dari sisa hidup mereka.

Juga digarisbawahi bahwa anak-anak menghadapi risiko yang lebih besar daripada orang dewasa ketika dihadapkan dengan peristiwa panas yang ekstrem.

Hal ini dikarenakan mereka kurang mampu mengatur suhu tubuhnya dibandingkan dengan orang dewasa.

Semakin banyak anak terpapar gelombang panas, semakin besar kemungkinan masalah kesehatan termasuk kondisi pernapasan kronis, asma, dan penyakit kardiovaskular.

"Dunia sangat perlu berinvestasi dalam membangun ketahanan mereka dan dalam mengadaptasi semua sistem yang diandalkan anak-anak untuk menghadapi tantangan iklim yang berubah dengan cepat," kata UNICEF.

3 dari 4 halaman

Kenaikan Suhu Bumi

Ini terlepas dari apakah suhu global rata-rata naik 1,7 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri jika emisi gas rumah kaca rendah, atau apakah naik 2,4 derajat Celcius, jika emisi tinggi.

Anak-anak harus dilindungi dari dampak gelombang panas yang meningkat, kata UNICEF, dalam seruan untuk "melakukan langkah-langkah mitigasi emisi yang mendesak dan dramatis untuk menahan pemanasan global serta melindungi kehidupan."

Anak-anak di wilayah utara akan menghadapi peningkatan paling dramatis dalam tingkat keparahan gelombang panas tinggi, sementara pada tahun 2050, hampir setengah dari semua anak di Afrika dan Asia akan menghadapi paparan suhu tinggi yang ekstrem di atas 35 derajat Celcius (95 derajat Fahrenheit) secara berkelanjutan, menurut data UNICEF.

"Ini akan berdampak buruk pada anak-anak," kata Vanessa Nakate, aktivis iklim.

4 dari 4 halaman

Suhu Eropa Tembus 40 Derajat Celcius

Pada Juli 2022, benua Eropa sedang diterjang gelombang panas yang membuat suhu tembus 40 derajat celcius. World Meteorological Organization (WMO) memprediksi gelombang panas ini bisa terus terjadi hingga berdekade-dekade.

Dilansir UN News, pola itu disebut terkait aktivitas manusia yang berkontribusi pada pemanasan planet. Dampak besar berisiko terjadi pada sektor agrikultur.

"Kami memperkirakan melihat dampak-dampak besar pada agrikultur. Pada gelombang panas sebelumnya di Eropa, kita kehilangan sejumlah besar panen. Dan di bawah situasi terkini, kita sudah terkena krisis pangan global akibat perang di Ukraina, gelombang panas ini akan membawa dampak pada aktivitas-aktivitas agrikultur," ujr Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO, dalam konferensi pers di Jenewa.

Pihak WHO menyebut gelombang panas akan terjadi lebih sering hingga tahun 2060-an. Gelombang panas di Eropa saat ini mungkin akan terus berlanjut hingga pertengahan pekan depan.

Dampak dari gelombang panas bukan hanya membuat situasi tidak nyaman, tetapi berbahaya karena bisa menjebak polusi dan mengurangi kualitas udara. Akibatnya, para lansia terdampak parah. Pada gelombang panas 2023, sekitar 70 ribu orang meninggal di Eropa.

Gelombang panas yang terjadi di 2022 juga memicu kebakaran hutan di Spanyol.

WHO turut menyorot masalah gelombang panas ini karena gelombang panas memiliki dampak langsung terhadap kesehatan. Akses kepada makanan dan minuman pun terkena risiko, serta ada ancaman ekurangan air.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.