Sukses

India Hancurkan 100 Juta Dosis Vaksin COVID-19 Kedaluwarsa, Permintaan Rendah Penyebabnya

Pembuat vaksin India Serum Institute of India (SII) mengatakan harus membuang 100 juta dosis vaksin COVID-19 mereka karena kedaluwarsa.

Liputan6.com, New Delhi - Pembuat vaksin India menghancurkan 100 juta dosis vaksin COVID-19 yang kedaluwarsa.

Pembuat vaksin India Serum Institute of India (SII) mengatakan harus membuang 100 juta dosis vaksin COVID-19 mereka karena kedaluwarsa.

"Perusahaan berhenti memproduksi Covishield pada Desember tahun 2021 lalu karena permintaan yang rendah," CEO Adar Poonawalla mengatakan pada Kamis 20 Oktober 2022.

SII, pembuat vaksin terbesar di dunia, kemudian membuat vaksin untuk Virus Corona COVID-19 bernama Vaxzevria, versi lokal dari AstraZeneca.

Covishield menyumbang lebih dari 90% dari dosis yang diberikan di India.

India telah memberikan lebih dari dua miliar dosis vaksin COVID-19. Lebih dari 70% populasi India telah mengonsumsi setidaknya dua dosis, menurut kementerian kesehatan federal.

Pada Januari 2022, India mulai memberikan booster kepada pekerja kesehatan dan garis depan, dan mereka yang berusia di atas 60 tahun dengan penyakit penyerta. Kemudian program booster diperluas ke semua orang dewasa.

Pada Juli, dosis booster gratis - atau dosis pencegahan seperti yang disebut pemerintah - diberikan kepada semua orang dewasa selama 75 hari untuk menandai 75 tahun kemerdekaan India.

Namun sejauh ini, menurut kementerian kesehatan, India terpantau memberikan 298 juta dosis booster.

"Vaksin booster tidak memiliki permintaan karena orang sekarang tampak muak dengan COVID-19," kata Poonawala kepada wartawan, Kamis. "Jujur, aku juga muak. Kita semua.

Menurut Poonawala, SII memiliki stok sekitar 100 juta dosis Covishield. Vaksin - yang memiliki umur simpan sembilan bulan - kedaluwarsa pada bulan September tahun ini.

CEO SII itu berbicara di sela-sela pertemuan umum tahunan Jaringan Produsen Vaksin Negara Berkembang (DCVMN) di kota Pune, India barat.

"Ke depan, ketika orang suntik flu setiap tahun, mereka mungkin juga vaksin COVID-19," kata Poonawala. "Tapi di India, tidak ada budaya suntik flu setiap tahun, seperti di Barat."

Sementara itu, Poonawala mengatakan SII telah menyelesaikan uji coba vaksin COVID-19 Covovax sebagai dosis booster. Perusahaan mengharapkan vaksin untuk mendapatkan persetujuan dalam dua minggu ke depan.

Ia juga bermitra dengan perusahaan biotek AS Novavax untuk booster khusus Omicron, katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

XBB Sudah Masuk RI, Subvarian Omicron yang Bikin Kasus COVID-19 di Singapura Melonjak

Bicara soal COVID-19. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan bahwa varian baru XBB sudah masuk Indonesia. Sebelum Indonesia, negara tetangga Singapura sudah kemasukan dan menyebabkan kenaikan kasus COVID-19 di sana.

"Singapura kasusnya naik lagi ke 6 ribu per hari karena ada varian baru namanya XBB. Varian ini juga sudah masuk di Indonesia," kata Menkes Budi dalam Capaian Kinerja Pemerintah Tahun 2022 di Jakarta pada Jumat, 21 Oktober 2022 dipantau secara daring.

Melihat sudah ada varian XBB yang masuk RI, Budi mengatakan akan terus memantau perkembangan kasus di Tanah Air.

"Kita akan pantau terus," lanjutnya.

Kehadiran varian XBB di Singapura memang bukan main-main. Singapura merupakan negara dengan penduduk sekitar lima juta, tapi kehadiran varian XBB membuat kasus harian COVID-19 di sana mencapai 6 ribu dalam sehari. Sementara itu di Indonesia dengan lebih dari 200 juta penduduk kasus harian di kisaran 2.000-an. Kemarin, 20 Oktober 2022 kasus harian kita di angka 2.307.

Melihat masih adanya varian baru, Budi mengatakan bahwa vaksinasi serta penggunaan menjalankan protokol kesehatan masih perlu untuk dijalankan. Maka dari itu, ia mengatakan bahwa dengan menjalankan cara konservatif yakni dengan terus memakai masker diharapkan angka kasus COVID-19 terus rendah.

"Bapak Presiden meminta kita untuk memakai masker, sampai sekarang masyarakat masih terbiasa memakai masker. Negara-negara lain kan sudah pede sekali enggak pakai masker. Itu sebabnya terjadi kayak di Singapura yang naiknya (kasus) tinggi," kata Budi.

Tentang Subvarian Omicron XBB

Strain XBB yang dikenal juga sebagai BA.2.10 adalah subvarian Omicron yang telah terdeteksi di beberapa negara. Seperti Australia, Bangladesh, Denmark Jepang, dan Amerika Serikat sejak Agustus. Subvarian ini pertama kali terdeteksi pada Agustus di India.

Direktur eksekutif di Institut Bioinformatika A*STAR Dr Sebastian Maurer-Stroh, kemunculan pertama varian XBB yang didokumentasikan di GISAID sudah ada di negara lain, beberapa minggu sebelum kasus pertama di Singapura.

"Jumlah genom yang diketahui untuk suatu varian sangat bervariasi antar negara hanya karena intensitas pengambilan sampel dan strategi pengawasan genomik," tambahnya mengutip Channel News Asia.

3 dari 4 halaman

Kasus Parah COVID-19 di Singapura Tetap Rendah

Kementerian Kesehatan Singapura (MOH) pada Selasa 11 Oktober membantah desas-desus bahwa Singapura mengalami peningkatan yang signifikan dalam kasus dan kematian COVID-19 yang parah karena jenis XBB.

Kementerian tersebut juga mengatakan bahwa meskipun ada peningkatan kasus lokal yang didorong oleh XBB, termasuk lonjakan pasca-akhir pekan sebesar 11.732 kasus pada hari Selasa, jumlah kasus yang parah tetap relatif rendah.

Dr Leong Hoe Nam, spesialis penyakit menular di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura mengatakan bahwa varian tersebut akan menyebabkan lebih banyak infeksi karena dapat menular lebih cepat dan menghindar lebih baik daripada jenis yang ada.

Namun, dia juga mengatakan itu tidak perlu dikhawatirkan karena jumlah penyakit parah tidak menjadi tinggi dan masih sesuai harapan.

Sejauh ini, tidak ada bukti bahwa itu mengarah pada kasus yang lebih parah. Berdasarkan data lokal awal, kasus XBB tidak lebih serius daripada subvarian Omicron lainnya.

  

4 dari 4 halaman

Geger Virus Corona COVID-19 Lebih Mematikan Buatan Ilmuwan AS di Lab, Ini Penjelasannya

Sebmentara itu, sebuah tabloid Inggris memberitakan laboratorium Boston University (Universitas Boston)/ BU menciptakan jenis Virus Corona COVID-19 baru yang lebih mematikan -- dengan tingkat kematian 80%. Pemberitaan tersebut kemudian dikutip oleh beberapa media nasional AS dan menjadi sorotan.

Tapi tuduhan itu sama sekali tidak benar. Menurut peneliti Universitas Boston yang dituduh melakukan tindakan tersebut, dan para ahli pihak ketiga yang kemudian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada WBZ-TV.

Mengutip CBS News, Jumat (21/10/2022), disebutkan bahwa para peneliti di National Emerging Infectious Diseases Laboratories, atau NEIDL, Universitas Boston, telah bekerja meneliti Virus Corona COVID-19 sejak 2020. Saat itu mereka menerima sampel kasus COVID pertama yang tercatat di negara bagian Washington.

Mereka mengerjakan penelitian seputar pengobatan, pencegahan, dan bagaimana COVID-19 menyebar.

Sementara tujuan dari penelitian tahun 2022 ini adalah untuk menentukan mengapa varian Omicron dari COVID-19 tampaknya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada jenis virus aslinya. Selain itu juga untuk mengetahui komponen virus apa yang menentukan tingkat keparahannya.

Untuk melakukannya, para peneliti membandingkan Virus Corona COVID-19 asli, Omicron, dan versi keduanya digabungkan: di sinilah informasi yang salah tentang "strain baru" berkembang.

Namun para ahli mengatakan, ini adalah standar.

"Saya pikir ini benar-benar di luar proporsi," jelas Dr. Daniel Kuritzkes, Kepala Penyakit Menular di Brigham and Women's Hospital. Dia tidak berafiliasi dengan studi BU.

"Jenis eksperimen yang dilakukan adalah jenis yang pada dasarnya dilakukan setiap hari dengan COVID, dan sama sekali tidak ada yang aneh tentang ini."

"Jika Anda akan menemukan vaksin, atau Anda akan dapat menemukan semacam tes, dengan hal-hal seperti COVID, itulah jenis pekerjaan yang Anda lakukan," tambah Dr. Arthur Caplan, Direktur Etika Medis di Grossman School of Medicine, New York University.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.