Sukses

Taliban Kini Larang Perempuan Afghanistan Pilih Jurusan Tertentu di Universitas

Taliban kembali mengeluarkan aturan pembatasan untuk perempuan Afghanistan.

Liputan6.com, Kabul - Taliban kembali mengeluarkan aturan pembatasan untuk perempuan. Mereka kini memberlakukan lebih banyak lagi pembatasan pada pendidikan anak perempuan di Afghanistan, dengan melarang para calon mahasiswi memilih jurusan tertentu dalam ujian masuk universitas nasional negara itu pada tahun ini.

Formulir yang diberikan kepada calon mahasiswi dalam ujian, yang diperoleh VOA Afghanistan Service, menunjukkan bahwa mahasiswi tidak bisa memilih jurusan teknik sipil, jurnalistik, kedokteran hewan, pertanian, dan geologi dalam ujian tahun ini yang diadakan pada awal bulan ini.

"Saya ingin menekuni jurnalisme dan ingin mengambil (jurusan itu), tapi itu tidak termasuk dalam pilihan,” kata Haseena Ahmadi, 19, yang mengikuti ujian masuk universitas tahun ini di provinsi Herat barat seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (18/10/2022).

Ahmadi menambahkan bahwa menghilangkan jurusan adalah "taktik" yang digunakan oleh Taliban untuk menghentikan perempuan mencari pendidikan tinggi.

Taliban, yang merebut kekuasaan tahun lalu, melarang pendidikan menengah bagi anak perempuan di negara itu, tetapi mahasiswa perempuan diizinkan kembali ke universitas dan melanjutkan studinya di kelas yang dipisahkan berdasarkan gender.

Menurut organisasi Save the Children, 80 persen siswi sekolah menengah di Afghanistan tidak diizinkan bersekolah.

"Mayoritas siswi sekolah menengah — sekitar 850.000 dari 1,1 juta — tidak bersekolah," ungkap laporan itu.

PBB menyebut larangan Taliban pada pendidikan menengah "memalukan" dan meminta kelompok itu agar membuka kembali sekolah perempuan.

Abdul Qadir Khamosh, kepala ujian universitas Taliban, mengakui bahwa beberapa jurusan tidak termasuk dalam pilihan bagi calon mahasiswi.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC divisi bahasa Pashto, Khamosh mengklaim bahwa "di sejumlah wilayah, para siswa perempuan tidak menunjukkan ketertarikan pada jurusan-jurusan (yang dihilangkan itu), sehingga keputusan tersebut lalu diambil."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Taliban Kembali Buka Sekolah Coding Bagi Remaja Perempuan Afghanistan

Sebelumnya, pihak berwenang Taliban telah mengizinkan kembali sebuah sekolah non-pemerintah beroperasi di provinsi Herat, di mana anak-anak perempuan dapat mempelajari sistem pengkodean komputer atau coding.

Sekolah itu sempat ditutup setelah Taliban mengambil alih Afghanistan pada Agustus tahun lalu, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (23/9/2022).

Menurut pendiri dan CEO Code to Inspir, Fereshteh Forough, lebih dari 350 siswa telah mendaftar di sekolah itu, tetapi hanya 200 orang yang akan diterima dalam program desain grafis selama satu tahun yang akan dimulai pada akhir September mendatang.

Code to Inspire adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengelola sekolah coding perempuan pertama di Afghanistan.

“Rata-rata siswa kami berusia 18-25 tahun,” ujar Forough pada VOA, seraya menambahkan bahwa biaya bulanan yang mencapai US$ 60 per siswa akan dibayar oleh Code to Inspire.

Meskipun sudah aktif di Afghanistan sejak tahun 2015, lembaga tersebut harus memperbarui pendaftaran LSM itu pada rezim baru Taliban agar dapat terus beroperasi.

Dalam proses pembaruan izin tersebut, Forough mengatakan bahwa lembaganya banyak mengalami hambatan birokrasi, tetapi akhirnya berhasil mendapatkan izin kerja dan lisensi untuk membuka kembali fasilitas tersebut.

Pembukaan kembali sebuah sekolah adalah suatu perkembangan signifikan di negara di mana aksed pendidikan di kalangan anak perempuan mengalami kemunduran besar dalam setahun terakhir ini. Tetapi, pembukaan sekolah coding tersebut tidak menunjukkan perubahan kebijakan Taliban terhadap pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan.

3 dari 4 halaman

Dikuasai Taliban, PBB Sebut 6 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan

Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa ada sekitar 6 juta warga Afghanistan berisiko kelaparan saat negara itu terus menghadapi kesulitan ekstrem dan ketidakpastian di bawah kepemimpinan Taliban.

Pernyataan ini dikeluarkan oleh Kepala Bidang Kemanusiaan PBB Martin Griffiths, Senin (29/08) malam, dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB mengenai situasi kemanusiaan di Afghanistan. Lebih dari separuh penduduk negara itu membutuhkan bantuan kemanusiaan, ungkap Griffiths.

Berkuasanya kembali Taliban pada Agustus 2021 telah memperburuk situasi negara itu. Pengangguran dan kemiskinan ekstrem memaksa puluhan ribu warga Afghanistan meninggalkan negara mereka. Keadaan bertambah buruk setelah negara itu juga dilanda gempa bumi dahsyat dan banjir bandang.

Konflik, kemiskinan, perubahan iklim, dan kerawanan pangan memang telah lama menjadi kenyataan yang menyedihkan di Afghanistan. Namun, Griffiths mengatakan apa yang membuat situasi saat ini sangat kritis adalah penghentian bantuan pembangunan skala besar sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban tahun lalu.

Lebih dari setengah penduduk Afghanistan, yakni sekitar 24 juta orang, membutuhkan bantuan dan hampir 19 juta dari mereka menghadapi tingkat kerawanan pangan yang akut, kata Griffiths.

"Dan kami khawatir angka tersebut akan segera menjadi lebih buruk karena cuaca musim dingin akan membuat harga bahan bakar semakin tinggi dan harga pangan meroket."

Dia mengatakan bahwa dana sebesar 614 juta dolar AS sangat dibutuhkan untuk persiapan musim dingin, termasuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tempat penampungan dan menyediakan pakaian hangat dan selimut. Selain itu, perlu juga dana bantuan tambahan sebesar US$154 juta untuk menyiapkan bahan makanan dan persediaan lainnya sebelum cuaca musim dingin memotong akses ke daerah-daerah tertentu.  

 

4 dari 4 halaman

Krisis HAM Masih Jadi Masalah Besar di Afghanistan

Pelapor khusus situasi hak asasi manusia di Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan kondisi di Afghanistan memburuk dalam setahun ini.

Taliban, kata Bennett, telah menjadi semakin otoriter, menekan kebebasan berpendapat, dan menolak hak-hak sipil dan politik rakyat, VOA Indonesia, Rabu (15/9/2022).

Walaupun semua orang Afghanistan mengalami masa-masa sulit, Bennett menilai, kemunduran hak-hak yang dulu dinikmati anak perempuan dan perempuan, khususnya sangat menyedihkan.

“Saya sangat prihatin akan kemunduran yang mengejutkan di mana perempuan dan anak perempuan tidak lagi menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak Taliban menguasai negara itu. Tidak ada negara di dunia di mana perempuan dan anak perempuan begitu cepat kehilangan hak asasi hanya karena jenis kelamin mereka,” ujarnya.

Menurut Bennett, apa yang terjadi di Afghanistan itu adalah keprihatinan internasional. Ia memperingatkan bahwa diperlukan tindakan mendesak untuk membuat penguasa de facto Taliban mengubah kebijakan yang diskriminatif.

Pakar PBB tersebut menggambarkan Afghanistan sebagai negara yang berada di ambang kehancuran ekonomi, dengan hampir 19 juta orang, setengah dari populasi, menghadapi kelaparan akut.

Bahkan keamanan, yang membaik setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, kembali memburuk, kata Bennett.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.