Sukses

Aktivis HAM di Penjara Belarusia Menang Nobel Perdamaian 2022

Aktivis HAM Ales Bialiatski dari Belarusia sedang dipenjara di Belarusia, tapi menang Nobel Perdamaian.

Liputan6.com, Oslo - Aktivis HAM Belarusia, Ales Bialiatski, dinobatkan sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2022. Ia menang bersama organisasi Memorial dari Rusia dan dan Center for Civil Liberties dari Ukraina. 

Ales Bialiatski sedang dipenjara di Belarusia. Ia merupakan tokoh yang vokal melawan rezim Presiden Aleksandr Lukashenko yang berkuasa sejak tahun 1994. 

Pihak Nobel menyebut Bialiatski ditangkap ketika ada demo besar-besaran di Belarusia pada 2020. Demo tersebut menentang kemenangan Presiden Aleksandr Lukashenko di pemilu yang dianggap tidak jujur.

Ini bukan pertama kalinya penerima Nobel Perdamaian berada di penjara ketika pengumuman kemenangan.

Pada 1991, Aung San Suu Kyi dari Myanmar juga menang ketika sedang berada dalam tahanan rumah. Kini, Suu Kyi mendekam di penjara usai dikudeta rezim militer. 

Aktivis Liu Xiaobo dari China sedang dipenjara oleh China ketika diumumkan mendapat Nobel Perdamaian 2010. Liu Xiaobo dipuji karena aksi damainya agar HAM dijamin di konstitusi China.

Ketua Komite Nobel, Berit Reiss-Andersen, lantas meminta agar Belarusia membebaskan aktivis berusia 60 tahun tersebut. 

"Pesan kami adalah dorongan pada pihak berwenang di Belarusia untuk melepaskan Tn. Bialiatski, dan kami harap itu terjadi, dan ia bisa datang ke Oslo untuk menerima penghargaan ini," ujeas Reiss-Andersen dalam konferensi pers yang tayang di YouTube, Jumat (7/10/2022). 

Namun, Reiss-Andersen mengakui hal itu sulit terjadi, sebab ada ribuan tahanan politik di Belarusia. 

"Ada ribuan tahanan politik di Belarusia. Dan saya khawatir bahwa mungkin keinginan saya tidak sangat realistis. Tapi saya mendorong agar ia dibebaskan," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Daftar Pemenang

Komite Nobel menghadiahkan Nobel Perdamaian 2022 kepada para pejuang HAM di Eropa Timur. Pemenang terdiri atas satu individu dan dua kelompok HAM. 

Uniknya, tiga pemenang ini berasal dari negara yang saling bertetangga, dan juga terlibat perang: Rusia, Ukraina, dan Belarusia. 

Mereka adalah Ales Bialiatski yang merupakan pejuang HAM di Belarusia, organisasi Memorial dari Rusia, dan Center for Civil Liberties di Ukraina. Para pemenang dinilai berhasil mewariskan semangat Alfred Nobel untuk mendukung perdamaian dunia.

Pihak Nobel berkata tiga orang itu adalah perwakilan masyarakat sipil dari negara masing-masing. Mereka disorot karena mendukung hak untuk mengkritisi penguasa dan hak fundamental masyarakat. 

"Mereka telah membuat usaha-usaha luar biasa untuk mendokumentasikan kejahatan perang, pelanggaran HAM, dan penyalahgunaan kekuasaan. Bersama-sama, mereka mendemonstrasikan signifikansi untuk masyarakat sipil demi perdamaian dan demokrasi," ujar Ketua Komite Nobel, Berit Reiss-Andersen, dalam tayangan live di YouTube, Jumat (7/10/2022). 

Ales Bialiatski adalah pendiri dari organisasi Viansa. Ia disebut menggunakan hidupnya untuk berjuang untuk demokrasi dan perdamaian di negaranya. 

"Pemerintah telah berkali-kali berusaha membungkam Bialiatski. Ia dipenjara dari 2011 ke 2014, setelah adanya demonstrasi besar melawan rezim di 2020, ia kembali ditahan. Ia masih ditahan tanpa pengadilan," ujar Reiss-Andersen. 

Rezim yang dilawan Bialiatski adalah rezim Presiden Alexander Lukashenko yang berkuasa sejak 1994, dan merupakan sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin. Belarusia juga merupakan salah satu rute yang digunakan Rusia untuk menjajah Ukraina pada Februari 2022.

3 dari 4 halaman

Memorial dan Center for Civil Liberties

Pihak Nobel memperkenalkan Memorial sebagai organisasi yang membantu mencari keadilan bagi korban rezim komunis Soviet. Salah satu pendiri memorial adalah pemenang Nobel Perdamaian, yakni Andrei Sakharov. 

Setelah rezim Uni Soviet runtuh, Memorial masih terus memantau masalah HAM di Rusia, dan menjadi sumber yang terpercaya. 

"Selain mendirikan pusat dokumentasi pada korban era Stalinis, Memorial mengumpulkan dan mensistemisasi informasi dari penindasan politik dan pelanggaran HAM di Rusia," ujar Reiss-Andersen. 

Selain itu, pihak Nobel juga menyorot bahwa aksi sipil di Rusia kerap diancam-ancam, hingga dihilangkan. Salah satu aktivis Memorial, Natalia Estemirova, juga pernah dibunuh saat melakukan investigasi di Chechnya.

Pemerintah Rusia menutup paksa Memorial di akhir 2021. Namun, pihak Nobel berkata aktivis Memorial masih belum menyerah. 

Sementara, Center for Civil Liberties dipuji karena mendukung perdamaian di Ukraina. Meski baru dibangun pada 2017, organisasi ini juga aktif di tengah invasi Rusia.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Center for Civil Liberties telah bertindak untuk mendokumentasi kejahatan-kejahatan perang Rusia kepada warga sipil Rusia.

4 dari 4 halaman

Sosok Presiden Belarusia

Presiden Belarusia Aleksandr Lukashenko pernah mendapat predikat Person of the Year dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada 2021. 

"Penghargaan" itu melibatkan enam orang juri yang terdiri atas jurnalis dan akademisi. Salah satu juri, Drew Sullivan, menyebut Lukashenko menonjol dalam korupsi. 

Dalam setahun terakhir, kondisi politik Lithuania sedang tidak stabil karena pemilu yang diduga curang. Pada pemillu itu, Lukashenko kembali mempertahankan kursi kekuasaan yang ia duduki sejak 1992. 

Berikut daftar "dosa" dari Presiden Lukashenko yang dicatat OOCRP.

Berdasarkan penjelasan OCCRP, Presiden Lukashenko disebut mengalirkan uang kepada oligarki-oligarki yang dekat dengan keluarganya.

Catatan negatif lainnya adalah upaya Lukashenko dalam memakasa Ryanair untuk mendarat di ibu kota Minsk. Pasalnya, ada pengkhianat negara di pesawat tersebut. Tindakan Lukashenko itu melanggar hukum international penerbangan.

Hubungan Lukashenko juga bermasalah karena ia dianggap membuat krisis perbatasan dengan cara memancing ribuan pengungsi ke perbatasan Uni Eropa.

Menurut laporan AP News, pihak Uni Eropa berkata Lukashenko sengaja memakai pengungsi sebagai alat politik untuk destabilisasi. Lukashenko dituding ingin membalas sanksi-sanksi terhadap pemerintahannya.

Terakhir, Presiden Lukashenko disebut menyebarkan misinformasi dan obat palsu untuk COVID-19.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.