Sukses

Penembakan Sekolah Rusia: 17 Orang Tewas, Pelaku Pakai Baju Nazi

Pelaku penembakan di Rusia bunuh diri usai beraksi.

Liputan6.com, Izhevsk - Insiden penembakan terjadi di sekolah Rusia. 11 anak menjadi korban, sementara pelaku penembakan bunuh diri.

Dilaporkan AP News, Selasa (27/9/2022), penembakan itu terjadi di School No. 88 di Izhevsk. Sekolah itu berada di wilayah Udmurtia yang jaraknya jauh dari Moskow.

Komisten Investigasi Rusia mengidentifikasi pelaku sebagai pria bernama Artyom Kazantsev yang berusia 34 tahun. Ia adalah alumni dari sekolah yang sama.

Pelaku juga diketahui menggunakan t-shirt yang menampilkan simbol-simbol Nazi. Belum jelas apa motif pelaku.

Pemerintah Udmurtia menyebut 17 orang tewas, dan 11 orang adalah anak-anak. Sebanyak 25 orang lainnya terluka, termasuk 22 anak kecil.

Sekolah itu mengajar anak-anak kelas satu hingga 11.

Gubernur Udmurtia Alexander Brechalov berkata pelaku penembakan adalah pasien di fasilitas psikiatri. Ia bunuh diri setelah menyerang.

Garda Nasional di Rusia berkata pelaku memakai dua non-lethal handgun, namun pistol itu diadaptasi agar bisa menembakan peluru asli. Senjata-senjata itu tidak terdaftar di pihak berwenang.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut serangan yang terjadi sebagai tindakan teror. Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan agar kasus ini dituntaskan.

"Presiden Putin sangat berduka atas kematian orang-orang dan anak-anak di sekolah tempat serangan teroris itu terjadi," ujr Dmitry Peskov.

Kasus penembakan sekolah jarang terjadi di Rusia. Namun, penembakan juga terjadi di Kazan pada 2021, dan sembilan orang meninggal. Pelaku yang saat itu berusia 19 tahun adalah mantan murid di sekolah tersebut. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Niat Rusia Mengklaim Wilayah Ukraina

Beralih ke kabar invasi Rusia, pemerintah Rusia bersiap secara resmi mengklaim wilayah-wilayah Ukraina. Proses pengangkatan (accession) itu rencananya dilakukan Rusia pada 30 September 2022.

Wilayah yang akan diklaim adalah Donetsk, Luhansk (Lugansk), Kherson dan Zaporozhye yang sudah menggelar referendum. Para pemimpin internasional menyebut referendum tersebut bersifat tipu-tipu.

Rusia tetap akan mengklaim wilayah-wilayah tersebut berdasarkan hasil referendum yang telah dilakukan pada Jumat (23/9).

"Menimbang hasil awal referendum-referendum dan kesiapan Rusia untuk mengakui mereka, pengangkatan wilayah-wilayah tersebut kemungkinan besar terjadi paling awal 30 September," ujar seorang anggota parlemen Rusia kepada media pemerintah Rusia, TASS, Minggu (25/9/2022).

Ada kemungkinan Presiden Rusia Vladimir Putin akan ikut serta, meski belum ada kepastian.

Deputi kepala faksi Partai Demokrat Liberal Rusia, Yaroslav Nilov, berkata bahwa anggota Duma (parlemen Rusia) belum diberitahu mengenai rencana-rencana tersebut. Namun, ia mengakui ada acara penting pada 30 September 2022. Anggota parlemen lantas diminta melakukan tes COVID-19.

"Para senator telah dibertahu untuk lolos tes PCR sebanyak tiga kali agar bisa ikut serta pada acara penting di 30 September," ujar Yaroslav Nilov.

Referendum di Donetsk, Luhansk (Lugansk), Kherson dan Zaporozhye terjadi di tengah invasi Rusia. Pemimpin dunia seperti Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Kanselir Jerman Olaf Scholz telah mengecam referendum tersebut.

Presiden Prancis Emmanuel Macron juga berkata referendum tersebut tidak akan memberikan dampak hukum apa-apa. 

Ini bukan pertama kalinya Rusia merebut wilayah Ukraina melalui "referendum". Pada 2014, Rusia juga melakukan hal yang sama pada Krimea, namun tidak diakui komunitas internasional.

3 dari 4 halaman

Menlu Rusia Salahkan AS dan Sekutu Soal Perang Ukraina

Rusia mengulangi serangkaian keluhan tentang Ukraina dan Barat dalam upaya untuk memberi tahu pertemuan para pemimpin Majelis Umum PBB bahwa Moskow "tidak punya pilihan" selain mengambil tindakan militer.

Setelah berhari-hari kecaman terhadap Rusia pada pertemuan diplomatik terkemuka itu, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov berusaha mengalihkan fokus ke apa yang dia katakan adalah Russophobia yang terus meningkat di Eropa dan Barat. 

"Russophobia resmi di Barat telah mencapai skala aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka tidak menghindar dari menyatakan niat mereka untuk menimbulkan kekalahan militer pada negara kita tetapi juga untuk menghancurkan dan menghancurkan Rusia," kata Lavrov, dikutip dari Euronews, Minggu (25/9).

Pidatonya berpusat pada klaim bahwa AS dan sekutunya — bukan Rusia, seperti yang dipertahankan Barat — secara agresif merusak sistem internasional yang diwakili PBB.

Memanggil sejarah mulai dari perang AS di Irak pada awal 2000-an hingga Perang Dingin abad ke-20 hingga kebijakan AS abad ke-19 yang pada dasarnya memproklamirkan pengaruh Amerika atas belahan bumi Barat.

Lavrov menggambarkan AS sebagai pengganggu yang mencoba memberi dirinya "hak suci untuk bertindak dengan impunitas di mana pun dan di mana pun mereka mau" dan tidak dapat menerima dunia di mana orang lain juga memajukan kepentingan nasional mereka.

"Amerika Serikat dan sekutu ingin menghentikan pawai sejarah," katanya.

AS dan Ukraina tidak membalas di majelis pada hari Sabtu tetapi masih dapat menawarkan tanggapan resmi nanti dalam pertemuan tersebut.

Presiden kedua negara telah memberikan pidato mereka sendiri yang menggambarkan Rusia sebagai agresor berbahaya yang harus dihentikan.

Lavrov, pada bagiannya, menuduh Barat bertujuan untuk "menghancurkan dan menghancurkan Rusia" untuk "menghapus dari peta global entitas geopolitik yang telah menjadi terlalu independen."

4 dari 4 halaman

China dan India Serukan Negosiasi untuk Akhiri Perang Rusia - Ukraina

Rusia mendapatkan sanksi dan terisolasi di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, tanpa ada negara besar yang berpihak padanya.

Tiongkok dan India telah menyerukan agar perang Ukraina dan Rusia diakhiri dengan negosiasi, dan tidak mendukung sekutu tradisional Rusia.

Setelah seminggu mendapat tekanan di sidang umum PBB, menteri luar negeri Rusia naik mimbar sidang umum untuk menyampaikan teguran keras kepada negara-negara Barat atas apa yang disebutnya sebagai kampanye "aneh" terhadap Rusia.

Tetapi tidak ada negara besar yang bersatu di belakang Rusia, termasuk Tiongkok, yang hanya beberapa hari sebelum invasi Februari ke Ukraina telah bersumpah akan menjalin ikatan yang "tak terpatahkan" dengan Presiden Vladimir Putin.

Mengutip dari laman The Guardian, Sabtu (24/9/2022) Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, meminta Rusia dan Ukraina untuk "menjaga agar krisis tidak meluas" dan tidak mempengaruhi negara-negara berkembang.

"Tiongkok mendukung semua upaya yang kondusif bagi penyelesaian damai krisis Ukraina. Prioritas yang mendesak adalah memfasilitasi pembicaraan untuk perdamaian," kata Wang pada hari Sabtu.

"Solusi mendasar adalah mengatasi masalah keamanan yang sah dari semua pihak dan membangun arsitektur keamanan yang seimbang, efektif, dan berkelanjutan."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.