Sukses

11 Anak Sekolah Tewas dalam Penembakan di Sebuah Desa Myanmar

Serangan udara serta penembakan yang terjadi di Myanmar menewaskan 11 anak sekolah.

Liputan6.com, Yangon - Sedikitnya 11 anak sekolah tewas dalam serangan udara dan penembakan di sebuah desa Myanmar, menurut badan anak-anak PBB, serangan yang menurut junta negara itu menargetkan pemberontak yang bersembunyi di daerah itu.

Dilansir Channel News Asia, Rabu (21/9/2022), sekjen PBB Antonio Guterres pada Selasa (20 September) mengutuk serangan itu, menurut kantornya, yang menyatakan setidaknya 13 orang tewas, termasuk 11 siswa.

Negara Asia Tenggara itu berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari tahun lalu, dengan hampir 2.300 warga sipil tewas dalam tindakan keras terhadap perbedaan pendapat menurut kelompok pemantau lokal.

Wilayah Sagaing di barat laut negara itu telah mengalami beberapa pertempuran paling sengit , dan bentrokan antara pejuang anti-kudeta dan militer telah membuat seluruh desa terbakar.

Badan anak-anak PBB UNICEF mengutuk kekerasan hari Jumat di kotapraja Depeyin di Sagaing.

"Pada 16 September, setidaknya 11 anak tewas dalam serangan udara dan tembakan membabi buta di wilayah sipil," kata UNICEF dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Senin.

Dikatakan sekolah harus aman dan tidak pernah ditargetkan.

"Setidaknya 15 anak dari sekolah yang sama masih hilang," kata UNICEF, menyerukan pembebasan segera mereka dengan aman.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sekjen PBB Mengecam

Guterres, yang pada hari Selasa menjadi tuan rumah para pemimpin dunia di Majelis Umum PBB, "mengutuk keras serangan oleh angkatan bersenjata Myanmar di sebuah sekolah di Let Yet Kone" dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban, juru bicaranya Stéphane Dujarric mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Serangan-serangan semacam itu terhadap sekolah-sekolah yang bertentangan dengan hukum humaniter internasional merupakan "pelanggaran berat terhadap anak-anak pada masa konflik bersenjata yang dikecam keras oleh Dewan Keamanan," kata juru bicara Guterres, menyerukan agar para pelaku dimintai pertanggungjawaban.

3 dari 4 halaman

Korban Anak

Rekaman video yang diperoleh dari kelompok masyarakat setempat menunjukkan ruang kelas dengan darah di lantai, kerusakan pada atap dan seorang ibu menangisi jasad putranya.

Junta mengatakan mereka telah mengirim pasukan dengan helikopter ke Let Yet Kone setelah menerima petunjuk bahwa para pejuang dari Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) - sebuah kelompok pemberontak etnis - dan dari milisi anti-kudeta setempat sedang memindahkan senjata di daerah itu.

Militer menuduh pejuang pemberontak menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia, dan mengatakan telah menyita ranjau dan bahan peledak dari desa.

"Anggota keamanan memberikan perawatan medis yang diperlukan dan mengatur untuk mengirim pasien ke rumah sakit terdekat," kata militer dalam sebuah pernyataan.

4 dari 4 halaman

Penembakan Pasukan

Juru bicara Junta Zaw Min Tun pada hari Selasa menuduh KIA membawa penduduk desa ke sebuah biara dan kemudian menembaki pasukan dari sana.

Seorang penduduk desa yang dihubungi AFP menolak anggapan militer bahwa ada pejuang di daerah itu.

"Mereka baru saja menyerang sekolah. Mereka mengatakan seseorang menyerang mereka, kemudian mereka melawan tapi ini tidak benar," kata penduduk desa, yang berbicara tanpa menyebut nama demi keselamatan mereka sendiri.

Penduduk desa itu mengatakan militer telah mengambil beberapa jasad korban dan menahan banyak orang, termasuk anak-anak dan guru.

Direktur Regional Save the Children Asia Hassan Noor mengatakan sekolah harus dilarang selama konflik.

"Berapa banyak lagi insiden seperti ini yang perlu dilakukan sebelum tindakan diambil?" Kata Noor, mendesak Dewan Keamanan PBB dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk mengambil tindakan cepat.

ASEAN sejauh ini telah memimpin upaya diplomatik yang sia-sia untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Para pemimpin kelompok itu bertemu di Phnom Penh pada bulan November.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.