Sukses

Taliban Klaim Telah Reformasi Media di Afghanistan

Para pemimpin Taliban menggembar-gemborkan keberhasilan atas apa yang mereka sebut sebagai reformasi media

Liputan6.com, Kabul - Para pemimpin Taliban menggembar-gemborkan keberhasilan atas apa yang mereka sebut sebagai reformasi media, dengan melarang saluran televisi pemerintah dan swasta menayangkan program-program yang dinilai tidak senonoh – seperti film-film asing dan lagu-lagu yang dilantunkan penyanyi perempuan – atau konten-konten yang kritis terhadap Islam maupun Taliban sendiri.

“Sembilan puluh lima persen kanal media visual maupun audio di negara ini telah direformasi,” kata Hayatullah Mohajir Farahi, wakil menteri informasi dan budaya di kabinet sementara Taliban, dalam konferensi pers di Kabul pada Selasa (6/9).

Untuk menerapkan aturan itu, kepemimpinan Taliban telah mendirikan kantor pemantauan media yang menyaring setiap program siaran agar mematuhi preferensi Islam dan politik yang ketat, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (9/9/2022).

Pada praktiknya, kata pengamat, reformasi yang dimaksud Taliban adalah penyensoran ekstensif terhadap media Afghanistan yang semakin lemah. Salah satu batasan yang diberlakukan adalah perintah mengenakan penutup wajah dan kerudung bagi penyiar perempuan saat membawakan program televisi.

Selama setahun terakhir, sedikitnya 245 kasus penyensoran, penahanan dan kekerasan terhadap personel media telah dilaporkan, menurut Pusat Jurnalis Afghanistan (AFCJ), salah satu kelompok pendukung media yang tersisa di sana.

Taliban mengklaim tidak ada jurnalis yang tewas di negara itu semenjak kelompok tersebut kembali berkuasa pada Agustus 2021. Setidaknya 10 wartawan tewas di Afghanistan pada tahun 2020 dan 2021, menurut data yang dihimpun oleh lembaga Committee to Protect Journalists, di mana Taliban bertanggung jawab atas sebagian kematian tersebut.

“Sungguh kabar yang baik bahwa tidak ada wartawan yang dibunuh setahun terakhir, namun kita juga harus tahu bahwa lebih dari 130 wartawan dan personel media ditahan dan sebagiannya disiksa Taliban pada saat yang sama,” kata perwakilan AFCJ yang meminta identitasnya disembunyikan karena takut akan tindakan pembalasan.

Setidaknya ada tiga wartawan, beberapa blogger video dan seorang sineas asal Amerika Serikat dan produsernya yang kini sedang ditahan Taliban.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Taliban Dianggap Tak Buktikan Komitmen pada Kebebasan Pers

Satu tahun setelah Taliban merebut kekuasaan, media Afghanistan menghadapi sensor, kekerasan dan kesulitan ekonomi, dan suara perempuan sebagian besar dibungkam.

Ketika peringatan pengambilalihann kekuasaan semakin dekat, para jurnalis dan kelompok kebebasan media termasuk Wartawan Tanpa Batas atau Reporters Without Borders (RSF) dan Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) memberikan penilaian tentang situasi media yang pernah berkembang pesat di negara itu.

Secara terpisah, wartawan yang berbicara dengan VOA menggambarkan arahan yang membatasi. Sedangkan mereka yang berada di provinsi terpencil mengatakan kondisinya lebih keras, termasuk media harus meminta izin sebelum menerbitkan berita, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (14/8/2022).

Jurnalis perempuan dilarang bekerja di outlet media yang dikelola pemerintah. Mereka yang berada di sektor swasta dapat muncul di TV hanya jika wajah mereka ditutupi. Yang lain mengatakan mereka diintimidasi agar berhenti bekerja.

Karena media tidak lagi dapat menyiarkan musik atau sinetron populer dan program hiburan, dan sumber pendapatan iklan terputus, banyak outlet terpaksa berhenti beroperasi.

Aturan Taliban membatasi kebebasan pers dan membuka jalan bagi “penindasan dan penganiayaan,” kata pemantau media RSF dalam sebuah laporan baru.

Taliban “tidak menunjukkan komitmen sama sekali pada kebebasan pers,” kata Pauline Ades-Mevel, juru bicara RSF yang berbasis di Paris, kepada VOA.

3 dari 4 halaman

Wartawan Berjuang Hidup

“Mereka telah mengambil beberapa tindakan yang sangat keras terhadap jurnalis.”

CPJ yang berbasis di New York secara terpisah mendapati wartawan Afghanistan “berjuang untuk bertahan hidup” di bawah sensor, penangkapan, serangan dan pembatasan terhadap perempuan.

Hasilnya adalah ketakutan dan penyensoran diri, kata pemantau lokal di Afghanistan.

Wartawan “takut akan konsekuensi meliput berita,” kata seorang anggota pengawas media Afghanistan kepada VOA.

Dia menambahkan bahwa jurnalis “tidak merasa aman” bekerja di bawah Taliban. “Media tidak dapat beroperasi secara bebas jika tidak ada kebebasan berpendapat.”

Aktivis yang berbasis di Kabul itu meminta agar nama dia maupun organisasinya tidak disebut karena takut akan pembalasan.

4 dari 4 halaman

Kisah Wartawan Kabur Terkuak

Tanggal 15 Agustus adalah peringatan satu tahun kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 2021. Kisah ini mencakup laporan saksi mata pada hari jatuhnya Kabul, kisah-kisah pengungsi Afghanistan di seluruh dunia, dan analisis yang berdasarkan data tentang catatan pemerintahan dan hak azasi manusia di pemerintahan Taliban, di antara topik-topik lain.

Ketika sebuah stasiun berita televisi lokal di negara bagian New York menampilkan kisah seorang wartawan Afghanistan yang melarikan diri dari kekuasaan Taliban, wartawan itu - Esmatullah Bilal Ahmadzai tidak hanya sekadar mendapat liputan, namun juga pekerjaan di kantor berita televisi.

“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya tidak percaya pada akhirnya saya akan menjadi wartawan lagi,” katanya. 

Pada waktu yang sama tahun lalu, Esmatullah menjadi pembawa berita untuk TV Shamshad, Afghanistan.

Ia selamat dari serangan terhadapnya dan stasiun TV tempatnya bekerja. Ia bahkan pernah melompat dari jendela lantai dua, untuk melarikan diri dari orang-orang bersenjata. Namun ia tetap berencana tinggal di negaranya, bahkan ketika Taliban sedikit demi sedikit merebut bagian-bagian Afghanistan tahun lalu.

Tetapi ketika para militan mencapai Kabul, ia dengan enggan memutuskan untuk pergi.

“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya meneteskan air mata. Saya membayangkan hal-hal yang mengerikan. Saya tahu ketika saya masuk pesawat, Afghanistan memasuki zaman kegelapan,” ujar Ahmadzai.

Ratusan wartawan telah melarikan diri dari Afghanistan, tetapi banyak yang merasa kesulitan mendapat pekerjaan di media.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.