Sukses

PBB Tingkatkan Jumlah Bantuan Korban Banjir ke Pakistan

PBB dengan cepat meningkatkan operasi bantuan di Pakistan di tengah kekhawatiran memburuknya situasi di negara tersebut.

Liputan6.com, Islamabad - PBB dengan cepat meningkatkan operasi bantuan di Pakistan di tengah kekhawatiran memburuknya situasi di negara itu karena lebih banyak hujan yang diprediksi akan tiba pada bulan depan.

Hujan yang sangat deras dan banjir di Pakistan telah menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menimbulkan dampak pada lebih dari 33 juta jiwa, membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, serta meluasnya kerusakan dan kehancuran rumah dan sejumlah infrastruktur lainnya.

Perkiraan akan tibanya lebih banyak hujan pada bulan depan mendorong lembaga-lembaga bantuan untuk bertindak, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (8/9/2022).

Badan pengungsi PBB (UNHCR) melaporkan tiga dari sembilan penerbangan terjadwal pertama yang membawa tikar tidur, peralatan dapur, terpal dan perlengkapan lainnya telah tiba di Pakistan pada Senin (5/9) lalu.

Enam penerbangan lainnya, yang juga membawa bantuan, dijadwalkan meninggalkan Dubai pada Rabu (7/9) dan Kamis (8/9).

Direktur UNHCR untuk wilayah Asia dan Pasifik, Indrika Ratwatte, mengatakan tenda dan barang bantuan inti lainnya akan diangkut dengan truk dari Uzbekistan ke Pakistan.

Ia menambahkan bahwa sekitar 50.000 orang yang sudah lebih dulu mengungsi dari wilayah yang paling parah dilanda banjir telah diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan. Ia mengatakan kondisinya kini sangat mendesak untuk menjangkau masyarakat “di lokasi,” yang dekat dengan rumah mereka.

“Mereka tidak mau pergi dari daerah itu karena semua yang tersisa ada di sana. Kerawanan pangan akan menjadi masalah besar karena tanaman pangan telah hancur, dan hanya ada sedikit yang tersisa di pekarangan rumah mereka. Jadi yang kami harus lakukan sekarang adalah mendistribusikan bantuan ke lokasi-lokasi itu,” ujar Ratwatte.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bantuan Esensial

Ratwatte mengatakan UNHCR mengirim semua bantuan kemanusiaan yang ada di negara itu untuk membantu sekitar 420.000 pengungsi Afghanistan yang paling terpukul dan komunitas Pakistan yang menampung mereka. Diperkirakan terdapat sekitar 1,3 juta pengungsi Afghanistan yang saat ini terdaftar di Pakistan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengirimkan obat-obatan esensial, alat pemurnian air, tanki-tanki air, tenda, dan pasokan darurat lainnya. Juru bicara WHO, Tarik Jasarevic, mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pemantauan penyakit, memulihkan fasilitas kesehatan yang rusak dan menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan mental pada komunitas yang terdampak.

“Situasinya diperkirakan akan memburuk karena banjir masih terjadi di banyak tempat, dan terutama menimbulkan dampak pada kelompok yang paling rentan. Kami berupaya menanggapi dampak kesehatan akibat banjir saat ini, sambil mempersiapkan potensi risiko kesehatan tambahan karena tibanya hujan lebat lain dalam beberapa bulan mendatang,” kata Jasarevic.

WHO mengatakan banjir telah merusak lebih dari 1.000 fasilitas kesehatan dan menghancurkan lebih dari 430 di antaranya.Kondisi tersebut menyebabkan akses pada fasilitas kesehatan, obat-obatan esensial, dan peralatan medis, serta perawatan bagi penyakit, luka-luka dan trauma menjadi terbatas.

3 dari 4 halaman

Kota Terpanas di Pakistan Kini Terendam Banjir Dahsyat

Cuaca ekstrem yang terjadi dalam waktu singkat telah menyebabkan kerusakan di seluruh Jacobabad, Pakistan dan menyebabkan ratusan orang tewas, serta rumah-rumah dan infrastruktur pemerintah hancur.

Belum lama ini, Sara Khan, kepala sekolah di sekolah untuk anak perempuan yang kurang beruntung di Jacobabad, Pakistan Selatan, melihat beberapa siswa pingsan karena kepanasan di depan matanya sendiri, di kota terpanas di dunia, sekitar bulan Mei lalu.

Setelah hujan monsun yang lebat menenggelamkan sebagian besar wilayah Jacobabad, kali ini, ruang kelasnya terendam banjir dan sekitar 200 siswanya kehilangan tempat tinggal, berebutan makanan, dan harus merawat sanak saudara yang terluka.

Peristiwa tersebut dalam waktu singkat telah menyebabkan kekacauan di seluruh negeri, menewaskan ratusan orang, memutus hubungan antar kelompok masyarakat, merusak rumah dan infrastruktur, serta meningkatkan masalah kesehatan dan ketahanan pangan.

Dikutip dari France 24, Menteri Perubahan Iklim Sherry Rehman, yang pada hari Rabu menyebut banjir sebagai "bencana skala dahsyat", mengatakan bahwa pemerintah telah mengumumkan keadaan darurat, dan meminta bantuan internasional.

Pakistan berada di urutan kedelapan dalam Indeks Risiko Iklim Global, sebuah daftar yang disusun oleh LSM lingkungan Germanwatch tentang negara-negara yang dianggap paling rentan terhadap cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Dikutip dari Aljazeera, Kamis (1/9/22), Jacobabad adalah kota yang tidak luput dari bencana. Pada bulan Mei, suhu disana menyentuh 50C (122F), mengeringkan dasar kanal dan menyebabkan beberapa penduduk pingsan karena kepanasan. Saat ini, sebagian kota terendam air, meskipun banjir telah berangsur-angsur surut dari pusatnya.

4 dari 4 halaman

Korban Jiwa dan Kerusakan Parah

Di wilayah tempat tinggal Khan, di timur kota, rumah-rumah dilaporkan rusak parah. Khan juga mengatakan bahwa dia mendengar tangisan dari rumah tetangganya ketika atapnya runtuh karena kerusakan air, yang menewaskan putra mereka yang berusia sembilan tahun.

Banyak murid-muridnya yang tidak dapat kembali ke sekolah selama berbulan-bulan, yang menyebabkan mereka kehilangan waktu belajar selama gelombang musim panas yang ekstrem.

"Jacobabad adalah kota terpanas di dunia, ada begitu banyak masalah ... setelah masyarakat mengalami gelombang panas, sekarang mereka kehilangan rumah mereka yang hampir semuanya terendam banjir. Kini mereka telah menjadi tunawisma," kata Khan kepada kantor berita Reuters.

Menurut wakil komisaris kota, sembilan belas orang di kota berpenduduk sekitar 200.000 orang itu dipastikan tewas dalam banjir, termasuk anak-anak, sementara rumah sakit setempat melaporkan lebih banyak lagi yang sakit atau terluka.

Lebih dari 40.000 orang tinggal di tempat pengungsian sementara, sebagian besar mengungsi di sekolah-sekolah yang sesak dengan akses makanan yang terbatas.

Salah satu pengungsi, Dur Bibi yang berusia 40 tahun, duduk di bawah tenda di halaman sekolah dan mengenang saat dia melarikan diri ketika air melahap rumahnya dalam semalam.

"Saya menggendong anak-anak saya dan bergegas keluar rumah dengan kaki telanjang," katanya, seraya menambahkan bahwa satu-satunya hal yang sempat mereka bawa adalah salinan Al-Quran.

Empat hari kemudian, dia belum bisa mendapatkan obat untuk putrinya yang menderita demam.

"Saya tidak punya apa-apa, selain anak-anak. Semua barang di rumah saya telah tersapu bersih," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.