Sukses

Jepang Alami Gelombang COVID-19 Terburuk, Turis Asing Masih Sulit Masuk

Wisatawan Jepang masih terbatas jika ingin mengunjungi negeri Sakura tersebut karena pembatasan COVID-19.

Liputan6.com, Tokyo - Jepang, yang selama ini mendapat pujian karena berhasil menjaga kasus Virus Corona dan kematiannya sebagian besar terkendali di awal pandemi, mengalami gelombang Virus Corona paling parah sejauh ini dan telah menjadi hotspot virus tersebut di Asia Timur.

Dilansir ABC, Kamis (1/9/2022), negara ini masih memiliki pembatasan jumlah turis asing yang diizinkan masuk. Meski baru saja mengumumkan akan melonggarkan aturan ketat yang membatasi pergerakan bagi mereka yang ingin berkunjung.

Ketika mencapai kasus sebanyak 1.476.374, Jepang melaporkan jumlah kasus mingguan tertinggi di dunia selama seminggu hingga 21 Agustus, menurut pembaruan epidemiologi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang pandemi COVID-19.

"Data itu juga mencatat jumlah kematian tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat yakni sebanyak 1.624, kata WHO dalam pembaruan mingguannya. 

Kentaro Iwata, seorang profesor penyakit menular di Universitas Kobe, mengatakan kepada ABC bahwa gelombang ketujuh telah didorong oleh varian BA.5 Omicron, kurangnya kekebalan dan rendahnya vaksinasi di kalangan anak muda. 

Profesor Iwata mengatakan Jepang berhasil mengendalikan wabah varian Omicron sebelumnya, tidak seperti AS dan banyak negara Eropa, yang berarti kekebalan di masyarakat kurang. 

"Kami melindungi diri dari infeksi sampai saat ini, yang berarti kami tidak memiliki kekebalan yang diberikan oleh infeksi alami. Oleh karena itu kami sangat rentan terhadap banyak infeksi," katanya.

Dia mengatakan sebagian besar kasus menyebar di antara orang dewasa muda yang umumnya lebih puas diri dan memiliki tingkat vaksinasi yang lebih rendah daripada kelompok usia lainnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Gagal Distribusi Obat

Mengenai tingkat kematian COVID-19 Jepang selama gelombang ini, Profesor Iwata mengatakan Jepang berjuang untuk mendistribusikan obat anti-virus yang cukup, seperti Paxlovid, kepada orang-orang yang rentan, yang menghasilkan tingkat kematian yang lebih tinggi. 

"Pemerintah Jepang gagal mendistribusikan obat ini dengan baik. Jadi kami menggunakan obat ini hanya untuk 60.000 orang, sedangkan di Korea lebih dari 300.000 menerima obat ini sekarang dengan sekitar setengah ukuran populasi dibandingkan dengan Jepang."

3 dari 4 halaman

Aturan untuk Turis Asing

Ketika negara itu mengalami gelombang lain kasus virus corona, pemerintah telah mengambil langkah hati-hati untuk melonggarkan pembatasan perbatasan yang diberlakukan pada awal pandemi.

Pada bulan Juni, Jepang mulai mengizinkan turis asing kembali tetapi membatasi jumlahnya menjadi 20.000 per hari.

Pengunjung hanya dapat melakukan perjalanan dalam tur kecil yang terorganisir, harus mengikuti pemandu mereka dengan ketat dan hanya dapat meninggalkan akomodasi mereka untuk tamasya yang direncanakan.

Namun semalam, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengumumkan batas tersebut akan dinaikkan menjadi 50.000 dan persyaratan untuk melakukan perjalanan hanya dengan tur terorganisir akan dibatalkan mulai 7 September.

Saat ini, semua pelancong yang masuk harus telah menerima tiga dosis vaksin COVID-19 dan menunjukkan tes PCR negatif yang diambil 72 jam sebelum kedatangan.

4 dari 4 halaman

Syarat PCR Akan Dicabut

Persyaratan untuk menunjukkan tes PCR negatif pada saat kedatangan juga akan dicabut mulai 7 September. 

Pemegang paspor Australia, tidak seperti sebelumnya, juga memerlukan visa yang valid untuk masuk.

Tetapi langkah untuk membuka diri secara perlahan tidak cukup untuk menarik kembali sekelompok besar orang, menurut salah satu bisnis lokal yang bergantung pada turis. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.