Sukses

Peringati Setahun Berkuasa, Taliban Umumkan Libur Nasional 15 Agustus

Taliban Afghanistan menyatakan hari Senin (15/8) sebagai “hari libur nasional” untuk menandai satu tahun pengambilalihan kekuasaan.

Liputan6.com, Kabul - Taliban Afghanistan menyatakan hari Senin (15/8) sebagai “hari libur nasional” untuk menandai satu tahun pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang didukung internasional tahun lalu, di tengah penarikan mendadak pasukan Amerika dan NATO.

Pengambilalihan Taliban berlangsung cepat dan hampir tidak menghadapi perlawanan apapun dari pasukan keamanan Afghanistan yang sebelumnya dilatih Amerika sehingga memungkinkan mereka memasuki ibu kota Kabul dan kemudian menguasai seluruh negara itu.

Pengumuman singkat Taliban hari Minggu (14/8) menyatakan, “Tanggal 15 Agustus adalah hari libur nasional untuk menandai ulang tahun pertama kemenangan jihad Afghanistan melawan pendudukan Amerika dan sekutunya.”

Pasukan asing pimpinan Amerika menarik diri dari negara itu setelah hampir 20 tahun berperang melawan Taliban, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (15/8/2022).

Kelompok Islamis itu setuju untuk tidak mengizinkan Afghanistan digunakan oleh teroris transnasional, termasuk Al Qaeda, untuk menarget Amerika dan sekutunya. Taliban juga berjanji mereka akan menghormati hak-hak semua warga Afghanistan, termasuk perempuan dan tidak memberlakukan kembali kebijakan keras yang pernah diterapkan pada era 1996-2001.

Tetapi sejak merebut kekuasaan, pemerintahan kelompok garis keras yang khusus diisi oleh laki-laki itu telah secara signifikan membatalkan hak-hak perempuan untuk bekerja dan menempuh pendidikan, serta memberlakukan pembatasan kebebasan sipil dengan mengatakan hal itu sejalan dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.

Pembunuhan pemimpin Al Qaeda Ayman Al Zawahiri dalam serangan pesawat nirawak Amerika bulan lalu terhadap rumah persembunyiannya di jantung ibu kota Afghanistan telah menimbulkan pertanyaan tentang jaminan kontra-terorisme Taliban.

Taliban mengutuk serangan itu, dan menggarisbawahi bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan Al Zawahiri di Kabul. Taliban juga berjanji akan melakukan penyelidikan “serius” dan “komprehensif” atas masalah tersebut.

Kekhawatiran terkait hak asasi manusia dan terorisme sejauh ini telah membuat masyarakat internasional tidak mengakui pemerintahan Taliban dan tidak mencabut sanksi-sanksi ekonomi terhadap kelompok itu.

Menurut kelompok-kelompok bantuan, pembatasan yang diberlakukan Taliban telah semakin memperdalam krisis kemanusiaan yang sudah buruk di Afghanistan akibat perang selama bertahun-tahun dan musim kering yang parah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Taliban Dianggap Tak Buktikan Komitmen pada Kebebasan Pers

Satu tahun setelah Taliban merebut kekuasaan, media Afghanistan menghadapi sensor, kekerasan dan kesulitan ekonomi, dan suara perempuan sebagian besar dibungkam.

Ketika peringatan pengambilalihann kekuasaan semakin dekat, para jurnalis dan kelompok kebebasan media termasuk Wartawan Tanpa Batas atau Reporters Without Borders (RSF) dan Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) memberikan penilaian tentang situasi media yang pernah berkembang pesat di negara itu.

Secara terpisah, wartawan yang berbicara dengan VOA menggambarkan arahan yang membatasi. Sedangkan mereka yang berada di provinsi terpencil mengatakan kondisinya lebih keras, termasuk media harus meminta izin sebelum menerbitkan berita, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (14/8/2022).

Jurnalis perempuan dilarang bekerja di outlet media yang dikelola pemerintah. Mereka yang berada di sektor swasta dapat muncul di TV hanya jika wajah mereka ditutupi. Yang lain mengatakan mereka diintimidasi agar berhenti bekerja.

Karena media tidak lagi dapat menyiarkan musik atau sinetron populer dan program hiburan, dan sumber pendapatan iklan terputus, banyak outlet terpaksa berhenti beroperasi.

Aturan Taliban membatasi kebebasan pers dan membuka jalan bagi “penindasan dan penganiayaan,” kata pemantau media RSF dalam sebuah laporan baru.

Taliban “tidak menunjukkan komitmen sama sekali pada kebebasan pers,” kata Pauline Ades-Mevel, juru bicara RSF yang berbasis di Paris, kepada VOA.

3 dari 4 halaman

Wartawan Berjuang Hidup

“Mereka telah mengambil beberapa tindakan yang sangat keras terhadap jurnalis.”

CPJ yang berbasis di New York secara terpisah mendapati wartawan Afghanistan “berjuang untuk bertahan hidup” di bawah sensor, penangkapan, serangan dan pembatasan terhadap perempuan.

Hasilnya adalah ketakutan dan penyensoran diri, kata pemantau lokal di Afghanistan.

Wartawan “takut akan konsekuensi meliput berita,” kata seorang anggota pengawas media Afghanistan kepada VOA.

Dia menambahkan bahwa jurnalis “tidak merasa aman” bekerja di bawah Taliban. “Media tidak dapat beroperasi secara bebas jika tidak ada kebebasan berpendapat.”

Aktivis yang berbasis di Kabul itu meminta agar nama dia maupun organisasinya tidak disebut karena takut akan pembalasan.

4 dari 4 halaman

Jelang 1 Tahun Taliban Berkuasa di Afghanistan, Kisah Wartawan Kabur Terkuak

Tanggal 15 Agustus adalah peringatan satu tahun kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 2021. Kisah ini mencakup laporan saksi mata pada hari jatuhnya Kabul, kisah-kisah pengungsi Afghanistan di seluruh dunia, dan analisis yang berdasarkan data tentang catatan pemerintahan dan hak azasi manusia di pemerintahan Taliban, di antara topik-topik lain.

Ketika sebuah stasiun berita televisi lokal di negara bagian New York menampilkan kisah seorang wartawan Afghanistan yang melarikan diri dari kekuasaan Taliban, wartawan itu - Esmatullah Bilal Ahmadzai tidak hanya sekadar mendapat liputan, namun juga pekerjaan di kantor berita televisi.

“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya tidak percaya pada akhirnya saya akan menjadi wartawan lagi,” katanya. 

Pada waktu yang sama tahun lalu, Esmatullah menjadi pembawa berita untuk TV Shamshad, Afghanistan.

Ia selamat dari serangan terhadapnya dan stasiun TV tempatnya bekerja. Ia bahkan pernah melompat dari jendela lantai dua, untuk melarikan diri dari orang-orang bersenjata. Namun ia tetap berencana tinggal di negaranya, bahkan ketika Taliban sedikit demi sedikit merebut bagian-bagian Afghanistan tahun lalu.

Tetapi ketika para militan mencapai Kabul, ia dengan enggan memutuskan untuk pergi.

“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya meneteskan air mata. Saya membayangkan hal-hal yang mengerikan. Saya tahu ketika saya masuk pesawat, Afghanistan memasuki zaman kegelapan,” ujar Ahmadzai.

Ratusan wartawan telah melarikan diri dari Afghanistan, tetapi banyak yang merasa kesulitan mendapat pekerjaan di media.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.