Sukses

Mengenal Pitohui dari Papua Nugini, Burung Beracun Pertama dan Satu-satunya di Dunia

Pitohui burung kecil endemik Papua Nugini, adalah burung beracun pertama dan satu-satunya yang dikonfirmasi secara ilmiah di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Pitohui burung kecil endemik Papua Nugini, adalah burung beracun pertama dan satu-satunya yang dikonfirmasi secara ilmiah di dunia.

Orang-orang Melanesia di Papua Nugini telah lama mengetahui dan berupaya menjauhkan tangan mereka dari pitohui lantaran potensi racun burung tersebut.

Potensi racun pada burung jenis ini ditemukan secara kebetulan lebih dari tiga dekade yang lalu. Pada tahun 1990, ahli burung Jack Dumbacher berada di kepulauan Pasifik mencari burung cendrawasih.

Dia telah memasang jaring halus di antara pepohonan untuk menangkap target dan berakhir dengan beberapa burung pitohui di dalamnya juga.

Saat dia mencoba mengeluarkan burung-burung dari perangkap, burung itu mematuk jarinya, dan dia secara naluriah memasukkan jarinya ke mulutnya untuk meredakan rasa sakit.

Hampir seketika, Dumbacher merasakan bibir dan lidahnya mati rasa.

Lantaran curiga bahwa gejala itu disebabkan oleh burung tersebut, ia mengambil bulu pitohui dan memasukkannya ke dalam mulutnya lagi.

Mati rasa dan rasa sakit berikutnya kembali ia rasakan. Dia tanpa sadar telah menemukan burung beracun pertama di dunia.

Sebagian besar sumber memuji Dumbacher karena menemukan sifat beracun pada burung itu. Dia bertanya kepada penduduk asli New Guinea tentang pitohui dan mereka semua tampaknya tahu tentang toksisitasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kandungan Racun

Mereka menyebutnya “burung sampah”, karena mengeluarkan bau busuk saat dimasak, dan hanya dikonsumsi sebagai pilihan terakhir, ketika tidak ada sumber makanan lain yang tersedia.

Ingin mempelajari lebih lanjut tentang pitohuis dan racunnya, Jack Dumbacher mengirim beberapa bulu burung tersebut ke John W. Daly di National Institutes of Health, yang merupakan ilmuwan terkemuka dunia tentang racun alami.

Selama tahun 1960-an, ia telah mengidentifikasi batrachotoxin sebagai racun pada katak beracun Kolombia, dan, seperti yang diharapkan, ia menemukan keluarga racun yang sama di bulu pitohui.

Senyawa yang dikenal sebagai batrachotoxins (BTXs) adalah alkaloid steroid neurotoksik yang bekerja dengan mengganggu aliran ion natrium melalui saluran di saraf dan membran otot.

Racun ini menyebabkan mati rasa dan terbakar dalam konsentrasi rendah, dan kelumpuhan, diikuti oleh serangan jantung dan kematian, jika diterima dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Mereka diakui sebagai senyawa paling beracun menurut beratnya di seluruh alam (250 kali lebih beracun daripada strychnine).

 

3 dari 3 halaman

Menyimpan Racun di Tubuh

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pitohuis menyimpan racun baik di kulit dan bulu mereka, tetapi juga di tulang dan organ internal -- meskipun dalam konsentrasi yang jauh lebih rendah.

Fakta bahwa racun ini ditemukan dalam sistem internal burung menunjukkan bahwa mereka tidak peka terhadapnya. Menariknya, konsentrasi batrachotoxin sangat bervariasi menurut individu, serta secara geografis.

Sumber racun dalam pitohuis telah menjadi topik perdebatan besar di antara para ilmuwan, tetapi konsensus umumnya adalah bahwa burung ini tidak menghasilkan racun itu sendiri, tetapi mendapatkannya dari makanan mereka, khususnya kumbang Choresine yang juga mengandung racun.

Alasan mengapa pitohui beracun juga belum ditentukan. Beberapa ilmuwan percaya itu adalah pencegah predator, tetapi ada sedikit bukti untuk mendukung teori ini.

Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa racun pada kulit dan bulu mereka dirancang untuk menjauhkan parasit. Eksperimen telah menunjukkan bahwa kutu cenderung menghindari bulu beracun dari pitohui dan mereka yang menginfeksinya hidup lebih pendek daripada kutu kontrol. Namun, batrachotoxins tampaknya tidak berpengaruh pada parasit internal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.