Sukses

PM Baru Israel Desak Barat Beri Tekanan pada Iran Atas Program Nuklirnya

Perdana Menteri sementara Israel Yair Lapid didesak beri tekanan terhadap program nuklir Iran.

Liputan6.com, Teheran - Perdana Menteri sementara Israel Yair Lapid pada Selasa (5/7) menggunakan perjalanan pertamanya ke luar negeri sejak menjabat untuk mendesak negara-negara adidaya untuk meningkatkan tekanan pada Iran atas kegiatan nuklirnya.

Dia menyebut republik Islam itu sebagai ancaman bagi stabilitas regional, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, (7/7/2022).

Lapid bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris pada Selasa. Macron meminta Lapid untuk menghidupkan kembali pembicaraan menuju perdamaian dengan Palestina dan mengatakan Israel “beruntung” memiliki Lapid sebagai perdana menteri yang bertanggung jawab.

Lapid, yang mulai menjabat sejak Jumat (1/7) lalu, fokus pada kekhawatiran Israel tentang ambisi nuklir Iran dan kesepakatan global yang macet. Kesepakatan itu bertujuan untuk mengekang program nuklir Iran.

Israel menuduh Iran berusaha mengembangkan senjata nuklir – tuduhan yang dibantah Iran – dan mengatakan kesepakatan nuklir itu tidak mencakup perlindungan yang cukup untuk menghentikan kemajuan Iran dalam membuat bom.

“Situasi saat ini tidak dapat berlanjut seperti ini. (Hal) ini akan mengarah pada perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah, yang akan mengancam perdamaian dunia. Kita semua harus bekerja sama untuk menghentikan hal itu terjadi,” kata Lapid kepada para wartawan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kesepakatan 2015 Diminta Dihidupkan Kembali

Lapid dan Macron, di mana keduanya merupakan politisi berhaluan tengah, menyebut satu sama lain sebagai teman, tetapi tidak setuju atas kesepakatan nuklir Iran.

Macron menyerukan dihidupkannya kembali kesepakatan 2015, yang disebut sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), tetapi mengakui bahwa itu “tidak akan cukup.”

Prancis membantu merundingkan kesepakatan itu dan merupakan salah satu pihak dalam pembicaraan yang bertujuan untuk menghidupkannya kembali. Israel mengatakan bahwa jika perjanjian itu dihidupkan kembali, maka perjanjian itu harus mencakup pembatasan yang lebih ketat dan menangani kegiatan militer non-nuklir Iran di seluruh kawasan.

Lapid menyebut JCPOA sebagai “kesepakatan berbahaya,” dengan mengatakan bahwa perjanjian itu tidak cukup keras dan tidak memiliki jangkauan yang cukup luas.

3 dari 4 halaman

Menlu Iran: Kesepakatan Nuklir Akan Tercapai Jika AS Realistis

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian pada hari Senin mendesak Amerika Serikat untuk menjadi "realistis" untuk membantu mencapai kesepakatan dalam pembicaraan Wina yang bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

Diplomat Iran mengatakan dalam sebuah tweet bahwa "tuntutan berlebihan" dari Amerika Serikat dapat menyebabkan jeda dalam negosiasi Wina karena Iran "tidak akan pernah menyerah" pada tuntutan tersebut.

Amir-Abdollahian juga menunjukkan bahwa "kesepakatan dapat dicapai jika Amerika Serikat realistis."

Sebelumnya pada hari itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas penundaan pembicaraan di Wina.

Iran menandatangani JCPOA dengan kekuatan dunia pada Juli 2015. Namun, mantan Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi sepihak terhadap Teheran, mendorong republik Islam itu untuk mengurangi beberapa komitmen nuklirnya di bawah kesepakatan sebagai pembalasan.

4 dari 4 halaman

AS Yakin Kesepakatan Nuklir dengan Iran Akan Tercapai

Washington mengatakan, pada Rabu (16/3), bahwa pihaknya “sudah hampir mencapai” kesepakatan dengan Iran untuk menghidupkan kembali perjanjian tahun 2015 yang memungkinkan negara-negara Barat melonggarkan sanksi terhadap Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklir Teheran.

Hal itu merupakan tanda kemajuan terbaru menyusul kebuntuan yang berkepanjangan yang selama ini terjadi.

Berhari-hari setelah Rusia memyampaikan tuntutan yang tampaknya akan membahayakan pembicaraan di Wina mengenai pemulihan perjanjian tersebut, Sinyal positif terlihat pada minggu ini yang menandakan bahwa kesepakatan nuklir akhirnya dapat tercapai.

Kesepakatan tersebut termasuk pembebasan dua warga negara Inggris keturunan Iran pada Rabu (16/3) setelah sebelumnya ditahan selama bertahun-tahun di Iran, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (18/3/2022).

Selain itu, beberapa masalah yang masih harus diselesaikan sebagai bagian dari menghidupkan kembali perjanjian tahun 2015 itu, kini telah menyempit menjadi hanya dua.

Upaya Negosiasi

Negosiasi dimulai pada April lalu antara Inggris, China, Prancis, Jerman, Iran dan Rusia, dengan Amerika Serikat yang menjadi pihak yang tidak langsung terlibat dalam negosiasi.

“Kami hampir mencapai kesepakatan, tapi kami belum sampai di sana,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price. “Kami pikir masalah yang tersisa dapat dijembatani,” tambahnya.

Berbicara kepada para wartawan, Price menolak untuk mengkonfirmasi klaim Teheran bahwa hanya ada dua masalah akhir yang harus diselesaikan, turun dari sebelumnya empat masalah, sebelum negara itu setuju untuk memulihkan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) enam pihak yang bertujuan untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.